Jatuh cinta pada pria yang tak dikenal, itulah yang dirasakan Khanza.
Hanya dengan melihatnya dari kejauhan.
Setelah lima tahun tak pernah melihat sosok Cinta pertamanya, mereka kembali di pertemukan.
Khanza tak menyangka jika mereka akan dipertemukan kembali sebagai atasannya.
"Maukah kau menikah denganku," kalimat yang keluar dari mulut pria yang menjadi cinta pertamanya itu seolah membuat Khanza melayang.
Apakah mereka akan bahagia bahagia? Tentu saja, apalagi mengetahui ada janin yang sedang berkembang di rahimnya, bulan kedua pernikahannya.
Bermaksud ingin memberi kejutan, justru dialah yang mendapat kejutan dari suaminya.
"Kau boleh meminta apa saja, tapi jangan memintaku meninggalkannya. Aku mencintai dirimu dan dirinya."
'HANCUR' saat suaminya mengatakan jika ia telah menikah sebelum menikahinya.
Istri Keduanya, itulah kedudukannya.
Mampukah Khanza berbagi cinta dengan wanita lain ...?
Akankah ia menerima atau justru harus pergi dari cinta pertamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akulah orang Ketiga
Hancur sudah harapan Khanza memiliki keluarga yang bahagia dengan calon anak yang ada di rahimnya. Perkataan Abizar mampu meruntuhkan harapan yang selama ini di susunya satu demi satu.
Khanza mendengar suara Abizar yang terus memanggilnya, memintanya untuk menghentikan langkahnya. Namun, Khanza seolah mendengar panggilan itu sebagai sebuah ejekan untuknya.
Prasangka jika selama ini ia hanya jadi bahan tertawaan di rumah itu, di rumah yang dianggapnya adalah surga dunianya, ternyata adalah pintu ke sengsaranya yang tanpa ia ketahui, ia melangkah masuk dengan bahagia.
Sebuah tempat singgah dimana semua orang merahasiakan jika ia adalah istri kedua dari suaminya, ia membayangkan jika mereka saling bekerja sama membohongi dirinya. Sungguh sangat memuakkan. Pikir Khanza terus berlari menghentikan sebuah taksi.
Begitu Khanza masuk ke dalam taksi dan menutup pintunya, dengan cepat ia meminta supir taksi untuk melajukan mobilnya.
Tak mempedulikan Abizar yang terus menggedor-gedor pintu taksi meminta agar ia keluar dari taksi itu.
"Bapak Kenapa belum jalan, ayo jalan. Jalankan mobilnya, Pak!" pinta Khanza pada supir taksi dengan lelehan air mata yang terus jatuh dipipinya. Sang supir taksi merasa tersentak mendengar bentakan Khanza dan refleks langsung menancap gas meninggalkan Abizar yang hanya bisa menatap taksi itu pergi menjauh darinya.
Begitu taksi melaju Khanza berbalik melihat Abizar, hatinya terasa sakit melihat sosok yang selama ini menjadi idola di hatinya kini menjadi orang yang sangat dibencinya. Khanza tak pernah menyangka Abizar yang begitu lembut dan menyayanginya tega membohonginya kebohongan yang sungguh sangat menyayat hati. Istri kedua, ya itulah julukannya sekarang. Apakah ia juga bisa disebut sebagai seorang pelakor? Kata-kata yang sangat dibenci oleh Khanza dan sekarang kata-kata itu menempel pada namanya.
Isakan mengeras keluar dari mulut Khanza, isakan yang sejak tadi ditahannya di dalam restoran karena tak ingin menambah malu dirinya kini dikeluarkan sudah di dalam taksi.
Supir taksi yang mendengar tangisan pilu dari Khanza hanya bisa diam dia juga merasa sakit mendengar.
Tanpa kata sopir taksi memberikan tisu yang ada di hadapannya, dengan segera Khanza mengambilnya membuang ingusnya yang sudah menyumbat saluran pernafasannya kemudian membuangnya ke segala arah dalam taksi begitu.
Ia melakukannya berulang-ulang, mengusap air mata dan membuang sesuatu dari hidungnya. Supir taksi itu antara marah dan juga kasihan melihat ulah Khanza, bagaimana tidak, Khanza melempar kesal bekas tissuenya, ia melampiaskan kesedihannya dengan melemparkan ke segala arah, ada juga yang melayang di jok depan di samping sang supir..
"Kita mau ke mana Bu?" tanya sang sopir yang belum mendapat alamat tujuan.
Khanza menyebut alamatnya di sela-sela tangisnya.
"Yang tadi pacarnya ya, Bu?" tanya sopir taksi memberanikan diri menanyakan apa yang terjadi yang membuat Khanza menangis seperti itu.
"Bukan, Pak! Dia itu suami saya, tapi selama ini dia membohongi saya. Ternyata dia sudah menikah dan mengatakan jika istri pertamanya itu adalah adik sepupunya. Kami tinggal serumah dan hanya saya yang tak mengetahui semua itu. Bapak bisa bayangkan 'kan, apa yang mereka pikirkan selama ini 2 bulan aku tinggal di rumah itu, aku menganggap semua baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Mereka semua membohongiku," Khanza kembali membuang cairan yang menyumbat pernafasannya, supir taksi hanya bergidik mendengar nya. "Bapak bisa merasakan rasa sakit yang aku rasakan? Tidak bapak pasti tidak bisa merasakannya," menjawab sendiri pertanyaan.
"Karena bapak seorang laki-laki, laki-laki itu sama saja mereka semua hanya pura-pura baik dan semua pembohong, semua hanya mementingkan nafsu tak pernah memikirkan wanita. Laki-laki itu penjahat, dia tidak pantas hidup di dunia ini. Dia pantasnya mati dibuang ke laut dimakan oleh hiu, seharusnya tak ada laki-laki di dunia ini," Khanza kembali menangis.
Khanza terus menggerutu memaki dan mengeluarkan sumpah serapahnya pada makhluk bernama laki-laki, tanpa ia sadari jika ialah sedang bercerita pada seorang laki-laki. Membuat laki-laki yang sedang menyetir hanya bisa menelan ludahnya sendiri, ia ingin membela laki-laki. Namun, melihat lelehan air mata Khanza membuat Ia hanya bisa mengelus dada.
"Asal bapak tahu, sekarang aku sedang mengandung anaknya, tadinya aku ingin memberi kejutan mengatakan jika aku sedang mengandung buah cinta kita, tapi apa yang aku dapatkan, Pak! pengkhianatan, kebenaran dari kebohongan," ucap Khanza kembali membuang sesuatu yang memenuhi tisu kemudian dengan santainya ia memberikannya kepada sang supir yang diajaknya bicara.
Dengan ragu bercampur jijik sang sopir mengambil kemudian membuangnya ke jok samping yang di mana di sana sudah penuh dengan tisu.
"Aku ini yatim piatu, Pak! nggak tahu harus kemana lagi, nggak mungkin kan aku kembali malam ini ke kampung. Kampung Nenekku sangat jauh juga tidak punya uang," ucapnya menjeda kalimatnya membiarkan isakan tangisnya keluar agar sakit di hatinya sedikit berkurang. Sang sopir memberikan air pada Khanza.
Khanza yang memang sudah merasa tenggorokannya yang sangat kering dengan sigap mengambil air tersebut dan meminumnya hingga tandas. Kemudian ia melihat botol itu, " Pak, apa memberikan air sisa minum bapak."
"Bapak cuma punya minuman itu saja nggak ada yang lain lagi."
"Tapi. Bapak sudah vaksin kan? Bapak tidak punya penyakit Corona kan? Aku sedang hamil lho Pak!" tanya Khanza dengan wajah serius walau masih terdengar isakan disana.
"Nggak kok, Bapak aman, Bu!"
"Jangan panggil Ibu dong, Pak! Aku ini masih muda walau sudah jadi istri kedua," lirih nya bergumam pelan.
Mengucapkan kata istri kedua membuatkan ia kembali merasa semakin sakit hati, ia kembali mengeraskan isakan tangisnya.
Khanza merasa sedikit lebih tenang saat berbicara dengan supir taksi. Itulah Khanza, ia tidak bisa menyimpan beban sendiri ia menceritakan bebannya kepada temannya. Saat ini bebannya itu sudah sangat menyesakkan dadanya hanya sang sopir yang bisa diajak untuk menumpahkan semua keluh kesahnya.
Sang sopir menghentikan mobilnya saat telah sampai di depan rumah Abizar.
Farah yang kebetulan lewat mendengar suara mobil, Ia pun mengintip keluar dari balik jendela. Farah mengernyit menautkan kedua alisnya saat melihat itu bukan mobil Abizar, tapi taksi dan melihat Khanza turun sambil berlinang air mata.
Farah langsung membuka pintu dan menghampiri Khanza.
"Apa itu istri pertama dari suaminya," batin sang sopir melihat seorang wanita keluar menyambut Khanza di teras.
"Ah! sudahlah ini bukan urusanku, biar mereka urus urusan mereka sendiri." gumam sendiri sangat supir kemudian melajukan taksinya keluar dari gerbang Abizar.
"Khanza kamu kenapa?" tanya Farah khawatir melihat penampilan Khanza .
Khanza tak menjawab, hatinya semakin sakit saat melihat orang yang selama ini sudah dianggapnya sebagai kakak, tempatnya bercerita bagaimana kehangatan cinta yang didapatkan dari seorang Abizar ternyata adalah madunya, istri pertama dari abidzar bukankah itu sangat memalukan pikir Khanza.
Khanza hanya menatap tajam pada Farah kemudian ini ingin masuk.
Khanza Kenapa kamu pulang tanpa Mas Abizar? Dimana Abizar? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Farah yang melihat lelehan air mata Madunya itu..
"Kak, aku mau masuk," ucapkan Khanza menepis tangan Farah dengan suara bergetar bahkan isakan pelan berhasil lolos dari bibirnya, hatinya benar-benar sakit saat melihat kepura-puraan yang yang ditunjukkan Farah padanya.
Melihat itu semakin membuat Farah khawatir, ia kembali menahan lengan Khanza yang sudah akan masuk, Khanza sudah tak bisa mengendalikan emosinya dan langsung melayangkan tamparan nya ke wajah Farah dengan tatapan berapi-api.
"Kamu dan Abizar sama saja, kalian sama-sama pembohong, Membohongiku. Apa kalian tak punya perasaan membohongiku dalam ikatan yang sangat sakral seperti ini. Kamu juga seorang wanita apa kamu tak bisa mengerti perasaanku, rasa sakit yang aku dapatkan karena kebohongan kalian," ingin rasanya Khanza mengatakan semua itu kepada Farah. Namun, mulutnya terasa keluh, berteriak tanpa suara dan hanya bisa mengutarakan di dalam hatinya, itu semua semakin menambah rasa sakitnya.
Khanza menatap tajam pada Farah dan membiarkan air matanya terus menetes di pipinya, dia berusaha menahan rasa sesak di dadanya.
"Khanza," teriakan Abizar menggelegar, dia baru saja sampai dan melihat Khanza melayangkan tangannya di pipi Farah.
Khanza yang selama ini hanya mendengar ucapan lembut dari Abizar seketika tersentak kaget mendengar teriakan Abizar. Bagaikan anak panah yang menembus menusuk jantungnya menimbulkan rasa sakit yang begitu menyesakkan dada.
Khanza berbalik menatap tajam pada Abizar dengan nafas yang sudah naik-turun berusaha menetralkan amarah yang semakin membuatnya menderita.
Khanza bisa melihat kilatan kemarahan dari mata Abizar
"Apa yang kau lakukan, beraninya Kau menampar Farah." Bentak Abizar pada Khanza saat telah mendekati mereka.
"Kamu sangat marah aku menampar Farah, apa kau tak sedikitpun merasa bersalah setelah membohongiku? Saat orang-orang tersenyum membohongiku, apa tak ada sedikitpun rasa sayangmu padaku? Membiarkan aku masuk dalam kebohongan ini, kebohongan yang bisa membunuhku," batin Khanza. Saat ini ia hanya bisa meluapkan segala emosinya di dalam hati. Menelan sendiri apa yang ingin di lontarkan ya.
Khansa berdiri mematung memandang Abizar, hanya air mata yang bisa menggambarkan betapa sakitnya dirinya.
Khanza sudah tak tahan lagi, ia tak menghiraukan Abizar yang keneriakinya memilih untuk pergi ke kamarnya..
Ia berlari menaiki tangga, menaiki anak tangga satu demi satu yang terasa begitu berat baginya malam ini, di mana ia menaiki anak tangga tersebut dengan teriakan Abizar yang terus menyalahkannya dan memintanya untuk minta maaf pada Farah, karena telah menamparnya.
Khanza menutup pintu dengan sangat keras, meluapkan segala emosinya."Seharusnya malam ini menjadi malam bahagia untuk kita," ucapnya mengambil kotak yang ada di dalam tasnya, mengusap benda pipih tersebut kemudian mengusap perutnya.
"Mama tidak akan membiarkanmu hidup dalam kebohongan ini, tapi aku harus membawamu kemana." Kembali terisak pilu. "Aku tak punya siapa-siapa, aku tak bisa membebani kakek dan nenek . Tuhan apa yang harus aku lakukan, ini sungguh sangat sakit." Khanza terus menangis sambil terus membekap hasil testpack nya, menepuk-nepuk dadanya pelan mencoba untuk mengusir rasa sesak yang semakin menyerangnya.
"Khanza buka pintunya!" Teriak Abizar dari balik pintu. Abizar berteriak memanggil nama Khanza dari balik pintu bukan untuk minta maaf padanya setelah berbuat kesalahan membohongi dirinya, tapi itu teriakan memintanya untuk meminta maaf pada Farah.
"Khanza menutup telinganya dengan keras walau suara Abizar masih bisa di dengarnya.
Khanza hanya bisa merintih di dalam kamar yang ia yakini kamar itu dulunya adalah milik Farah.
Setelah lama mengetuk dan meneriakkan nama Khansa dibalik pintu suara Abizar saat kini tak terdengar lagi.
Khanza mencoba menguatkan dirinya ia berjalan pelan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air mencoba merasakan dinginnya air itu. Berharap bisa mendinginkan hatinya. Khanza menatap wajahnya di cermin "Apa aku tak bisa bahagia, apa harapanku untuk memiliki keluarga itu terlalu berlebihan," tanya pada dirinya sendiri.
"Khanza kamu wanita yang kuat, kamu bukan wanita yang manja. Ini tak bisa menggoyahkan mu, ini hanya sebuah kebohongan, ya kebohongan. Baiklah kalau kalian membohongiku aku juga bisa membohongi kalian," pikirnya saat melihat benda pipi di tangannya.
💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖
Terima kasih sudah membaca 🙏
Mohon dukungannya, dengan memberi like, vote, dan komennya 🙏
salam dari ku Author m anha ❤️
💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖
agak gemesh sma visual karakternya. realitanya gk ada yg 100 mw d madu wlau mlut brkata iya n brkata akn adil