Setelah 3 tahun bercerai dengan Dimas Anggara. Anna Adiwangsa harus kembali ke kota yang menorehkan banyak luka. Anna dan Dimas bercerai karena sebuah kesalah pahaman. Tanpa di sadari, ke duanya bercerai saat Anna tengah hamil. Anna pergi meninggalkan kota tempat tinggalnya dan bertekad membesarkan anaknya dan Dimas sendirian tanpa ingin memberitahukan Dimas tentang kehamilannya.
Mereka kembali di pertemukan oleh takdir. Anna di pindah tugaskan ke perusahaan pusat untuk menjadi sekertaris sang Presdir yang ternyata adalah Dimas Anggara.
Dimas juga tak menyangka jika pilihannya untuk menggantikan sang ayah menduduki kursi Presdir merupakan kebetulan yang membuatnya bisa bertemu kembali dengan sang mantan istrinya yang sampai saat ini masih menempati seluruh ruang di hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Waktu menunjukan pukul 7 malam. Aku telah menyelesaikan pekerjaanku, langsung ku matikan komputer dan bersiap untuk pulang. Sebelumnya aku harus mendatangi ruangan Presdir untuk pamit.
Tok
Tok
"Masuk!"
Ceklek.
"Tuan, pekerjaan saya sudah selesai. Saya harus pulang." kataku, aku berdiri di ambang pintu enggan masuk.
Terdengar helaan nafas dari bibir Dimas. Ia menatapku dengan tatapan dalam. Namun aku sungguh tidak perduli.
"Kemarilah." titahnya. Mau tak mau aku masuk dan berdiri di depan meja nya.
"Duduk!" perintahnya lagi.
Setelah duduk aku memberanikan menatap wajahnya. Wajah yang sangat ku rindukan, terlebih saat aku mengandung Yessa.
"Ada apa tuan? Saya harus segera pulang."
"Kau sudah makan?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Saya ingin makan di rumah bersama,-" Aku menghentikan perkataanku yang akan mengatakan 'Anakku' karena tidak ingin Dimas tau jika kami memiliki anak selama ini. Aku takut dia akan mengambil Yessa dariku. Hanya Yessa yang ku miliki di dunia ini. Aku bertahan selama ini hanya untuk Yessa.
Untunglah aku tidak memberitahukan jika aku memiliki anak dalam CV lamaran pekerjaanku.
"Ingin makan bersama siapa?"
Tanyanya. Aku melihatnya yang menanti jawabanku.
Aku memasang senyum. "Dengan suami saya tuan." bohongku. Aku tidak menuliskan status pernikahan dalam CV. Jadi aku bisa membohonginya jika aku telah menikah.
Di luar dugaanku, aku pikir setelah mengatakan hal itu, Dimas akan memintaku pulang. Tapi ia justru terkekeh dan menyandarkan punggungnya di kursi.
"Ha ha ha ha! Suami?"
Aku mengangguk ragu.
"Jangan membohongiku Anna, aku tau kau belum menikah lagi." katanya tanpa ragu.
Aku mendelikkan mataku dan meneguk liur susah payah. "Maaf Tuan, anda tidak tau apapun tentang saya. Saya sudah bahagia dengan pernikahan saya kali ini. Jika tidak ada yang ingin di katakan lagi, saya pamit pulang." aku memberanikan diri menatap matanya dan berdiri setelah mengatakan hal itu. Menunduk hormat dan keluar dari dalam ruangannya.
Setelah berada di luar aku berlari ke toilet. Airmata yang sejak tadi ku tahan akhirnya jebol juga.
Aku mengumpat hatiku, karena masih saja mencintai pria yang sudah menorehkan luka di hatiku. Butuh waktu lama untukku bisa mengobati luka ku.
Aku duduk di atas closet dan menumpahkan airmataku, entah sampai berapa lama. Aku teringat kembali pertanyaan Yessa beberapa hari lalu. Saat aku mengajaknya bermain di taman komplek.
"Mommy, kenapa aku tidak punya Daddy. Aku ingin seperti dia, aku ingin bermain dengan Daddy seperti itu." katanya, lalu menunjuk seorang anak perempuan yang sedang duduk di punggung ayahnya, bermain kuda-kudaan.
Mendengar pertanyaannya, hatiku sangat sakit. Aku pikir hanya aku saja sudah cukup untuk Yessa. Ternyata dia membutuhkan sosok ayah untuk mendampinginya bertumbuh.
Setelah puas meluapkan emosiku. Aku keluar dan bercermin. Aku mencuci wajahku untuk menghapus sisa-sisa air mata. Setelah itu kembali ke mejaku.
Aku berpapasan dengannya yang baru keluar dari ruangannya. Ku tundukkan kepalaku sebagai tanda hormat, aku tak berani menampakkan wajahku yang baru saja menangis.
Aku segera mengambil tas ku dan bergegas meninggalkan kantor. Saat berbalik badan aku di kejutkan dengan Dimas yang sudah berdiri di belakangku.
"Astaga!" aku berteriak karena terkejut.
"Anda mengagetkan saya Tuan." kataku sambil menepuk-nepuk dada.
"Maaf, kamu belum pulang?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan menunduk. Karena benar-benar takut ia melihat jejak sisa tangisanku.
"Mari saya antar pulang."
Aku menggeleng. "Tak perlu tuan, saya membawa motor sendiri. Kalau begitu, saya pulang. Permisi." aku menunduk hormat sekali, dan meninggalkannya yang masih membeku di tempatnya. Aku berlari menuju lift karyawan.
Aku lihat lift masih berada di lantai 1. Entah kenapa lama sekali liftnya naik. Mungkin saja ada banyak karyawan yang akan turun. meskipun ini sudah malam, tapi masih banyak pekerja yang berada di kantor ini. Mereka biasa bekerja sampai lewat tengah malam.
Aku menggeser tubuhku dan menekan lift di sebelahnya. Ternyata sama saja, lift di sebelah juga berhenti di lantai 15. Aku menghela nafas kasar.
"Pakai lift di sini saja."
Aku mendengar suara Dimas dan menoleh kearahnya. Ia sedang berdiri di depan lift bersama asisten Leo. pintu lift sudah terbuka tapi mereka belum masuk.
"Tidak apa tuan, saya menunggu saja."
"Cepatlah, Lift itu sedang penuh, kau bilang suamimu sedang menunggu." katanya.
Aku menghembuskan nafas pelan dan mengangguk, mau tak mau aku menerima tawarannya.
Saat berada di dalam lift, kami bertiga terdiam. Tidak ada obrolan apapun, suasana sangat canggung. Berbeda dengan siang tadi saat bekerja. Karena ada pembahasan pekerjaan saat kami berada di dalam lift.
"Leo, aku ingin penambahan 2 lift di gedung ini. Sangat tidak efisien jika karyawan sedang terburu-buru tapi harus menunggu."
"Baik tuan, besok akan langsung di mulai." jawab asisten Leo. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atiknya. Aku yakin ia memerintahkan anak buah nya, untuk mengerjakan perintah Dimas.
Aku tidak mengatakan apapun, hanya mengangguk menyetujui permintaan sang Presdir. Bagaimana bisa hanya memiliki 2 lift karyawan, dengan karyawan lebih dari seribu orang. memang sangat tidak efisien, jika karyawan harus saling menunggu.
Tiba-tiba Dimas mundur dan mendekatiku. aku menjadi tidak nyaman dan menggeser posisiku. "Anna, aku tau kamu belum menikah. Aku ingin mengajakmu makan malam. Jangan tolak permintaan ku, aku ingin mengatakan sesuatu padamu!" katanya. Aku langsung menoleh dan pandangan kami langsung bertemu.
Saat aku akan mengatakan sesuatu. Dimas sudah lebih dulu menyela.
"Tolong!" pintanya dengan memohon.
Aku menghembuskan nafas pelan dan mengangguk setuju. Lalu ku alihkan atensiku pada asisten Leo di sebelahnya.
Ekspresinya terlihat sangat datar, seolah tak mendengar apapun.
Dimas dan aku keluar dari lift dan berjalan menuju depan gedung, sementara asisten Leo menuju basement untuk mengambil mobil.
Saat akan menuju parkiran untuk mengambil motorku, Dimas mencekal tanganku.
"Mau kemana?" tanya nya dengan raut cemas.
"Saya mau ambil motor tuan. Nanti aku akan mengikuti mobil anda dari belakang."
"Sebaiknya kita pergi bersama dengan mobilku."
"Tapi motorku!"
"Nanti anak buah Leo yang mengurusnya."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Aku menarik tanganku dari cekalan tangannya. "Saya hubungi orang rumah dulu." kataku, setelah melihatnya mengangguk. Aku langsung mengambil ponselku.
Berkali-kali menghubungi ponsel Dewi dan bik Mar namun belum juga ada jawaban. Sampai mobil milik Dimas berada di depan kami, aku belum bisa menghubungi mereka.
"Leo, antarkan motor Anna ke rumahnya. Nanti aku yang akan mengantar Anna pulang."
"Baik tuan!"
Aku kembali menghembuskan nafas karena panggilanku tak ada satupun yang menjawab. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Dimas. Malam ini Dimas mengendarai sendiri mobilnya.
Aku melihat motorku di naiki salah satu security kantor. Mungkin akan mengantarkannya ke rumah.
ada ada aj kau dim
good job Leo,.maklum lah Dimas kan CEO amatir..
Leo dikerjain bos yang lagi nyidam...