Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah
"Bi Eli yakin semua ini adalah yang disuka dan yang tidak disukai Mas Dimas?" tanya Amara yang tengah mengamati tulisannya sendiri pada sebuah buku. Ia memang sudah mencatat apapun informasi yang Eli berikan mengenai Dimas secara lengkap.
"Iya Amara, Bibi yakin seratus persen."
Siang itu, Amara, Eli dan Euis tengah duduk bersantai di dapur dengan posisi mengelilingi meja berbentuk lingkaran. Dengan bertopang dagu, Amara membaca tulisan itu lagi dengan teliti sambil mencatatnya kedalam ingatan.
Sudah tiga kali Amara bolak-balik ke kamar Dimas untuk memastikan keadaan lelaki itu, namun tampaknya Dimas sedang dikuasai rasa kantuk yang teramat hingga masih saja terlelap dengan pulas.
Ada sedikit kekhawatiran di hati Amara, sebab Dimas tidur tanpa mengisi perutnya terlebih dulu dengan menu sarapan, pun dengan obat yang seharusnya diminum secara rutin. Sembari mendesah pelan, Amara berharap Dimas baik-baik saja begitu dia bangun nanti.
Eli dan Euis hanya diam sambil memandang gadis yang sedang serius itu. Keduanya menahan diri untuk tidak bicara. Mereka berusaha untuk tidak mengganggu Amara yang sedang fokus dengan tulisannya.
Diam beberapa saat untuk membaca, Amara lantas mendesah pelan. Ia mengangkat pandangannya dan menatap Eli penuh keraguan. "Tapi Mas Dimas bukanlah orang yang plin-plan kan, Bi? Dia juga tidak mudah berubah pikiran, kan?"
Bukan tanpa alasan Amara menanyakan hal itu. Ia hanya mencoba memastikan. Entah mengapa ia merasa aneh dengan sikap Dimas yang semena-mena. Ia hanya curiga jika Dimas melakukan semua itu hanya untuk mengerjainya saja.
Eli menyimpul senyum mendengar pertanyaan Amara. "Bibi yakin Amara, karena bukan baru kemarin Bibi merawat Mas Dimas, melainkan sejak ia masih belia. Bibi hafal betul bagaimana dia. Tapi kalau seleranya berubah, Bibi yakin pasti ada masalah dengan Mas Dimas."
"Mas Dimas sebenarnya orang baik atuh, Teh. Jujur, perubahan sikap Mas Dimas ini bikin Euis jadi sedih." Dengan mimik wajah sendu, Euis pun menimpali.
Melihat Euis yang benar-benar terlihat sedih, Amara lantas membelai jemari gadis itu dengan lembut. "Euis, jangan sedih begitu. Kamu harus yakin kalau Mas Dimas pasti sembuh. Sebut dia selalu dalam doamu, ya," Sambil tersenyum Amara mencoba menenangkan Euis.
Sedangkan Bi Eli tampak menyebik seolah tengah mencemooh sikap gadis mungil itu. "Euis, Euis. Jangan mulai deh, dramanya."
"Drama apa si Mak, Euis teh benar-benar sedih ini." Euis menunjukkan wajah yang menyebik seperti menahan air mata pada Eli, untuk meyakinkan bahwa ia sedang benar-brenar sedih.
Bukannya trenyuh, Eli justru menggodanya. "Lah, malah ketawa lagi," ucapnya sambil terkekeh dan menunjuk wajah Euis yang memberengut.
"Ini nangis atuh Mak, bukan ketawa!" protes Euis dengan nada kesal sembari menyeka air matanya.
"Bi Eli." Amara menegur Eli dengan halus sambil menatap wanita itu seolah sedang memberi peringatan. Namun wanita itu hanya mendesah pasrah. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Euis sebelum kemudian mencebik.
"Euis," Amara menggeser kursinya supaya lebih dekat dengan Euis. Tangannya bergerak mengusap pundak Euis dengan kasih sayang layaknya kakak pada adiknya. "Euis sangat sayang sama Mas Dimas, ya?"
"Ya iya atuh Teh, Euis teh sayang pisan sama Mas Dimas," jawab Euis sambil menghisap ingusnya yang tidak ada seperti sedang menangis. Ia pun menunduk, menatap meja, di mana jari-jarinya sedang bermain-main di sana.
"Kebaikan apa yang sudah diperbuat Mas Dimas hingga membuat Euis sayang?" Dengan antusias Amara pun bertanya.
"Sebelum sakit, Mas Dimas teh selalu kasih Euis uang jajan. Tapi setelah sakit enggak pernah lagi, gimana Euis tidak sedih atuh Neng!"
"Astagfirullah Euis! Jadi kamu sedih karena tidak mendapat uang jajan dari Mas Dimas?! Aku kira karena kamu khawatir, Euis." Amara menatap kesal pada Euis yang kini tampak tersipu malu sambil mengulum senyum.
"Euis khawatir kok sama Mas Dimas! Suer," sahut Euis sembari menunjukkan dua jarinya.
"Bibi sudah bilang, kan tadi," sahut Eli yang membuat Amara dan Euis menoleh ke arahnya. "Ini bocah suka main drama Amara, ngeselinnya luar biasa."
"Hilih," Euis mencebik sambil melirik Eli. "Tiap hari ngomongnya Euis ngeselin, tapi buktinya teh Emak tetep sayang sama Euis."
"Siapa yang ngomong sayang?"
"Emak, lah!" jawab Euis setengah berteriak. Lalu bangkit kemudian berhambur memeluk Eli yang berada tak jauh dari tempatnya dengan erat. "Makasih udah sayang Euis seperti putri sendiri, ya Mak."
Pelukan mendadak Euis membuat wanita paruh baya itu terkejut dan berjingkat. Namun sedetik kemudian Eli tersenyum sembari mengusap puncak kepala Euis dengan kasih sayang.
"Tuh kan, Emak teh sebenarnya sayang sama Euis." gadis imut itu tersenyum bangga sembari membenamkan sisi wajahnya di dada Eli.
"Tapi kamu nya juga jangan bandel, jangan suka memanfaatkan kebaikan Mas Dimas. Keluarga ini sudah menggaji kita lebih dari cukup, loh." Sambil membelai rambut Euis, Eli pun memberikan wejangan layaknya pada anak sendiri.
"Ish Emak, yang namanya duit teh nggak pernah cukup, apalagi lebih. Yang ada teh, kurang terus."
"Itu namanya nggak bersyukur!" sergah Eli sembari menonyol dahi Euis dengan telunjuknya.
"Benar Euis, besar dan kecinya pendapat kita, itu lah hak kita. Kita harus pandai bersyukur atas rezeki yang telah Allah SWT beri. Berarti sebesar itulah Allah mempercayakan receki pada kita. Ingat Euis, semakin banyak harta yang kita miliki, semakin besar pula pertanggung jawaban kita yang akan Allah pertanyaan nanti," tutur Amara memberikan penjelasan.
Membelalak, Euis yang penasaran pun segera melepaskan pelukannya pada Eli. Ia mendekati Amara lantas bertanya. "Kalau yang hartanya sedikit berarti pertanggung jawabannya kecil dong, Teh?"
Melihat Euis yang tampak antusias Amara pun tersenyum. "Sepertinya begitu."
Saat ketiganya sedang asik dengan obrolan mereka, tiba-tiba terdengar suara Dimas yang berteriak-teriak memanggil Amara. Tiga orang itu seketika saling memandang sebelum akhirnya Amara bangkit dan berlari menuju arah suara.
Amara terkejut mendapati Dimas tengah berjongkok bersandar pada tembok sembari memegangi kepalanya. Dengan wajah panik gadis itu segera berlari menghampiri Dimas dan menyentuh bahu lelaki itu pelan.
"Mas Dimas. Mas Dimas kenapa?" tanya Amara dengan penuh kekhawatiran. Gadis itu berjongkok lalu menangkup wajah Dimas dan memperhatikan wajah pucat itu dengan seksama.
Dimas menepis tangan Amara dan menatap gadis itu dengan nyalang tajam. "Lo kemana aja si! Gue panggil-panggil nggak dengar! Kepala gue pusing! Perut gue juga sakit. Apa lo sudah ngeracunin gue!" tuduh Dimas dengan suara yang meninggi. Wajahnya juga memerah menahan sakit.
"Astagfirullah Mas, itu nggak benar!"
"Nggak ngaku lo? Terus kenapa coba bangun-bangun gue jadi sakit begini! Sakit banget, Amara! Kepala gue sakit banget!" Dimas berteriak sambil memijat kepalanya. Giginya menggemertak sambil meringis menahan sakit.
Inilah yang Amara takutkan. Dimas akan kembali merasakan sakit jika sampai terlewat mengkonsumsi obatnya.
Amara mendesah pelan untuk menetralkan perasaan dari kepanikan. Ia lantas menatap Dimas dengan ekspresi yang lembut. "Mas Dimas harus minum obat. Saya bantu kembali ke kamar, ya. Kita periksa dulu keadaan Mas Dimas."
Dimas hanya diam dan pasrah saat Amara membantunya bangkit dan dengan susah payah memapahnya untuk masuk ke kamar.
Dengan tergesa Amara mengambil peralatan medisnya yang berada di kamarnya. Melihat Dimas yang kelimpungan dan mengerang kesakitan membuatnya semakin merasa panik.
Amara berusaha menenangkan dirinya dengan menghela napas dalam. Tangannya yang gemetar mulai memeriksa kondisi Dimas.
Dengan cekatan Amara meracik obat pereda nyeri untuk di suntikan pada Dimas usai melakukan pemeriksaan. Sebab dari hasil pemeriksaan yang Amara lakukan asam lambung Dimas naik akibat lelaki itu terlambat makan sehingga tidak mampu mencerna obat dengan baik.
"Tahan ya Mas, ini akan terasa sedikit sakit." Amara menahan tangan Dimas dan menyuntiknya di bagian lengan atas.
Terkejut, Dimas berjingkat saat Amara menyuntiknya. "Aow sakit! Kurang ajar lo Amara. Lo bius gue lagi!" maki Dimas sembari meringis.
"Bukan Mas, ini cuma pereda nyeri. Sebentar lagi sakit kepala Mas Dimas akan sembuh." jelas Amara sembari menggosok permukaan kulit Dimas bekas jarum tadi dengan kapas yang mengandung alkohol. Lantas dengan cepat tangannya membuka kemasan obat yang berupa tablet sebelum kemudian menyuapkannya ke mulut Dimas.
"Apaan ni?" Dimas terkejut saat sesuatu masuk ke mulutnya. Ia berniat memuntahkannya namun jemari Amara buru-buru membungkam mulut Dimas.
"Di kunyah Mas, jangan dibuang! Itu cuma obat untuk asam lambung. Karena tadi Mas Dimas nggak sarapan, asam lambungnya jadi naik sekarang."
Dimas menepis tangan Amara. "Lo gila! Obat pahit disuruh ngunyah!" Mengabaikan larangan Amara, Dimas dengan sengaja melempar obat itu ke sembarang arah.
"Mas! Kenapa dibuang?" Amara menggeram kesal menatap Dimas yang seolah dengan sengaja mempersulit dirinya. "Kalau obatnya dibuang terus, bagaimana Mas Dimas mau sembuh! Apa Mas senang setiap hari merasakan sakit! Mas Dimas suka, setiap hari hanya berada di kamar tanpa bisa beraktifitas seperti sedia kala? Mas Dimas nggak lelah! Aku saja lelah kalau setiap hari melakukan hal tanpa ada perkembangan. Puas Mas Dimas mempersulit aku? Aku cuma manusia biasa, Mas. Aku bukanlah robot yang tak punya perasaan. Aku juga bisa kesal! Semua yang kulakukan bukan untukku sendiri, Mas, tapi untuk kebaikan Mas Dimas!" Untuk pertama kalinya Amara menumpahkan kekesalannya pada Dimas. Meluapkan isi hati yang selama ini ia tahan.
Sudah cukup ia bersabar dengan kegilaan Dimas. Bagaimanapun ia harus memberi pengertian agar Dimas sadar dan mudah diajak kerja sama untuk kesembuhannya.
Dimas yang semula terbaring mendadak bangun setelah mendengar kemarahan Amara. Namun bukannya sadar, lelaki itu justru naik pitam dan menatap Amara penuh kemarahan.
"Ngapain masih di sini kalau lo merasa lelah! Pergi sana! Nggak ada yang menginginkan lo di sini! Gue nggak butuh lo! Gue nggak butuh perawat!"
Dimas langsung bangkit dari tempatnya. Sedangkan Amara segera menarik langkahnya mundur perlahan seiring langkah Dimas yang mendekat. Tatapan lelaki itu terarah penuh ancaman.
Amara meneguk salivanya berat. Ia memaksa membujuk dengan bibirnya yang bergetar. "Mas Dimas, maafkan saya, bukan begitu maksud saya." Amara mengisyaratkan agar Dimas berhenti di tempat dengan tangannya.
"Keluar lo dari sini!" bentak Dimas sembari menunjuk pintu. Namun Amara tak juga bergerak dari tempatnya hingga membuat Dimas semakin kesal.
Tanpa perasaan lelaki itu mendorong tubuh Amara dengan kasar hingga tubuh ramping itu terhuyung ke belakang dengan kepala membentur tembok dengan keras
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨