"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab empat-Putriku, ditawan preman satu Milliar.
Sejauh ini, menurut kalian gimana gengs?! Ada yang greget sama tokoh ayah Ahmad yang malah mentingin diri sendiri? Atau kesel sama Rara karena ga bisa diem? Jawab di kolom komentar ya...
(*^^*)//
Bab 4
"Tadi Kiya lihat kok Rara baru aja pulang, " seru Kiya lagi sambil ngucek matanya, mba Winda langsung nyaut omongan anaknya yang selalu sayang sama tuh anak gadis. "Ck, Kiya! Kamu gak usah beritahu... Biar dia cari aja sendiri dimana keberadaan anaknya, ngapain kamu urus Kiya! Itu bukan urusanmu, "
"Ma! Kok mama gitu lagi?!! " geger Kiya tak suka. Ahmad langsung menjauhkan diri dari gerbang dan akan bergegas pulang ke rumahnya, "Benar katamu Kiya, Rara sudah ada di rumah? "
"InsyaAllah... " jawab anak cowok itu. Ahmad berpaling kesamping, dan membuang ludahnya ke tanah. Pria itu berlari dengan pakaian acak-acakan, rambut tak normal lagi, dan dasi berterbangan di tangannya. Berlari, ia bawa semua kekesalan dalam diri, dan merasa sebentar lagi ada sesuatu yang harus meredam kemarahannya ini.
Winda menatap tajam kepergian pria itu, yang di anggap sangat meresahkan sama persis dengan teman sepermainan anaknya yang Winda benci sangat. "Kiya! Sana masuk lagi! Jangan keluar-keluar kamu! "
"Gak mau... "
"Aku mau disini aja, kenapa om Ahmad nyari Rara? "
"Bukan urusanmu Kiya! Itu bukan urusan kita berdua, ihhh... Ayo cepet masuk, habis ini ayahmu pulang, "
"Ayo cepet masuk!! " dorong Winda ke tubuh kecil anaknya tuk dibawa masuk ke dalam. Kiya tak bisa melawan, seluruh tatapannya menuju jalan ke rumah temannya. Apakah sang teman baik-baik saja, atau keputusan anak itu telah memberitahu ayahnya dimana keberadaan Rara itu benar?
***
Rara berjalan setelah ia jajan di warung mak Asri, untung saja masih dibuka. Dirinya membawa sekantong kresek, dan boneka pororo saja yang ia bawa sebagai teman bicara sepanjang jalan. Dirinya berjalan masuk tanpa alas kaki, bahkan dirinya keluar pun tanpa alas kaki. Nyeker jadi nih anak, Rara gak peduli deh besok juga, sebelum sekolah mandi.
"Oh ya... "
"Udah ada mobil ayah, ".
" Um, ayah dimana yah? "
"Mobilnya udah ada, tapi... "
"Apa ayah ada di kamar? "
Gumam Rara berpikir sejenak, lalu langkah kecilnya berlari terbirit-birit menuju ke lantai atas dan berhadapan dengan kamar ayahnya. Kedua matanya memandang lebar, dirinya masuk kedalam, kantong kreseknya jatuh di lantai. Dirinya masuk, dan melihat rupa ruangan ini begitu mengenaskan, Rara tak bisa menutup matanya kembali.
"Ke-"
"Kenapa kamar ayah, berantakan seperti ini? "
"Siapa yang berantakin? "
"Apa ayah? Tapi ayah gak ada... "
"Terus siapa... Kenapa kamar nya berantakan kayak gini? "
"Apa kamu tahu pororo? Siapa? "
Tanya Rara masih menjadi kebiasaan bicara sendiri, bertanya pada benda mati itu yang sebenarnya tak menjawab sama sekali, Rara saja yang merasa mendengar nya. Ia mengangguk paham, "Oh hm. Aku setuju pororo, kita harus bantu ayah... "
"Pasti ayah lelah kan? Kalau bersihin kamar dia sendiri? "
"Benar katamu! Ayo kita bantu pororo!! "
Seru gadis itu senang, ia berjalan ke arah sofa merah panjang di pinggir dan ia ambil bantal sofa untuk ia susun rapi ke tempat semula. Tak hanya itu juga, kasur spring bed milik ayahnya juga ikut berantakan, antusias tinggi Rara mulai merapikan, ia tata, selimutnya ia lempit dan bantal, guling itu Rara rapihkan. Rara mengusap keringat, bak orang yang habis kerja kuli seharian tanpa istirahat.
"Huh, capek... "
"Tapi, kalau ayah melihat ini... Setelah ini dia pasti makin sayang denganku kan?! "
Rara mengangguk setelah mendengar jawaban memuaskan dari pororo. Ia mulai melangkah ke meja kerja ayahnya yang ada di ujung sana, dan mulai menata, memasukkan file-file ke dalam laci ataupun benda-benda patung hiasan di atas meja. Rara menghela napas sejenak, "Huh... Setelah ini pekerjaan Rara selesai! "
Katanya sambil mengangkat pecahan pot yang dikira aman baginya, tapi saat di taruh di meja, kakinya tak sengaja terinjak beling pot tajam, yang membuatnya menyenggol barang-barang besar ayahnya di atas meja, menimpa kepalanya bergantian.
Dug-Dug-Dug- suara keras itu bergantian, bak irama. Rara merasa pusing sendiri, ia seperti dikelilingi burung. "Aduh... Aduh... Kepala Rara sakitt... "
"Uh.. "
Rintihnya kecil, ia berusaha berdiri dan akan menata meja lagi. Namun saat itulah ia terjatuh kembali, dan dirinya baru merasa kesakitan mendalam dibagian telapak kakinya. "Auh... Auh... "
"Hiks... Hiks... Sakit... "
Seru Rara, suara tangisannya terdengar sampai keluar. Saat itulah Ahmad mulai mengeluarkan sabuk ikat di pinggang celananya, dan ia keluarkan. Langkahnya cepat memasuki kamar, "RARA!!! "
"Hiks! Ayah!!! Kaki Rara sakit!!! "
"Kaki Rara sakit ayah!! " seru Rara dibalik meja kerja, Ahmad tak mengubris keluhan anaknya, ia terus berjalan dengan tatapan tajam, kedua matanya seolah sudah tak sabar akan menghukum gadis itu.
Rara meniup kaki kirinya, dan berusaha mengambil pecahan didalam kakinya. "Ayah... "
"Sakit... "
"Ayah? "
Tanya Rara saat ayahnya diam saja melihat dirinya, padahal sudah dihadapan gadis itu. Anak itu mengusap pileknya, berhenti menangis, merasakan perasaan buruk. Rara terpaksa berdiri, mengangkat satu kaki. "Ayah kenapa? Apa ayah capek? "
" Akhirnya ketemu juga kau! "
"Apa? Ayah mencariku? " tanya Rara tak mengerti, Ahmad tanpa bertele-tele langsung menyambuk sabuk di samping anak itu, untuk sentakan.
Cplash- suara sabuk miliknya sangat nyaring, di dalam ruang kamar kedap suaranya. Ahmad mengencangkan sabuk hitam miliknya dengan kedua tangan, Brugh- Rara terjatuh kebawah saking kaget. Ia menutup kedua telinga, dan matanya bersamaan saat sang ayah melontarkan sabuk hitamnya kedua kali.
Cplash- kini lebih keras dari yang di duga. Suaranya memekakkan telinga Rara, ia gemetar ketakutan saat ayahnya lama tak melakukan itu padanya, kini membuat Rara mengingat masa lalu. "Ayah sudah... Sudah ayah.. " seru Rara membela diri sendiri, saat cambukan mengenai paha nya, dirinya langsung memegang sabuk itu berani. Rara tak bisa menangis karena tangisannya berhenti akan luka di kakinya. Ayahnya yang memperlakukan dirinya seperti ini lagi, Rara sungguh ketakutan. Gadis itu memegang kepala, "Jawab ayah, APA YANG KAU LAKUKAN DARI TADI HAH!! "
"A--aku... Aku gak ngapa-ngapain ayah... Aku cuma.... dikamar, "
Cplash- kini cambukan ke lima menghampiri gendang telinga kecil gadis itu. Rara berteriak kaget, "AAAA! " dan mundur ketakutan, "Aku tidak tahu ayah... Aku tadi di kamar, Rara ma-main sama pororo... "
"Rara."
Ahmad berjongkok, memegang kepala anaknya dengan sekali kepalan erat sampai membuat gadis itu tak bisa mengalihkan pandangan ke mana-mana. "Suka sekali ya berbohong pada ayah sendiri? "
"Tak tahu syukur? "
"Cuma saya yang mengadopsimu saat itu cacat. "
"Jelek sepertimu hanya aku saja. "
"Ada orang lain yang mengambilmu? "
"Ku tanya, apa ada? "
Rara dengan umbel beler nya, menggeleng kecil. Ia merasa tak bisa memandang ayahnya karena kedua matanya yang berair. "Maaf... Ayah... Maaf... Maafkan Rara... "
"Hiks. . Rara... Rara tak akan berbuat nakal lagi, Rara janji akan selalu di rumah. Rara gak akan pulang malam-malam... "
"Rara... Tadi keluar... Ke rumah Kiya, Rara diajari ngaji sama dia... Jangan marahin Kiya ya, ini salah Rara... "
Cplash! Ahmad berani menarik rambut kepala gadis itu ke atas, dia tarik sampai ujung kepala Rara merintih kesakitan luar biasa. Dirinya tak bisa bernafas karena jambakan ayahnya, "Kamu anak perempuan hm. Kenapa gak becus jaga rumah! "
"Lihat umurmu!! Lihat!! Malu ayah, ayah di cerca sana sini sama tetangga karena perlakuanmu! "
"Ra."
"Tolong berpikir dewasa, kamu itu perempuan.... Jangan kayak laki-laki... "
"Ampun yah... Ampun... "
"Rara ga bakal ulangi lagi, hiks... " tangis Rara mulai pecah, ia tak bisa menyeka air matanya dengan apapun karena dirinya sendiri sedang dalam posisi mendapat kekerasan dari orangtua angkatnya. Rara menarik pileknya yang mampet, "Maafin Rara yahh... Maafin Rara, hiks-hiks... "
Ahmad semakin memajukan kepala, kedua matanya melotot keluar bak orang di masuki setan. "Siapa tadi yang masuk ke ruang kantor kerja ayah?! Kamu!? "
"Atau ada orang lain yang kau biarkan masuk!?! "
"Ayo bangsat! Jawab! "
"Bisu kau? Hah!! "
Cuih- bahkan sampai ludah Ahmad keluar mengenai wajah buruk rupa milik putrinya yang malang. Rara terus mengusap wajahnya pelan, "Hiks.. Maaf... Maaf... "
"JAWAB ANJING! MAAF-MAAF MULU! "
"CEPET JAWAB!! "
"CEPET RA!! "
Seru Ahmad keras, suara kerasnya di hampirkan ke telinga anak itu. Membuat telinga Rara sedikit berdengung, suaranya sangat mengganggu Rara hingga membuatnya tak fokus dengan apa yang dipertanyakan ayahnya.
"Tadi.. Rara... Main... Ke rumah Kiya, "
"Bukan itu. "
"Ck, ngerepotin. "
"Tinggal jawab apa susahnya, "
"Stress nih anak. " sindir Ahmad pada anaknya, yang dia adopsi tak bisa dijaga kata-katanya. Padahal kalau perbuatan Ahmad ini sampai tercium pihak luar, atau pihak yayasan, Ahmad telah melanggar undang-undang hak dan kewajiban adopsi anak. Kalau itupun orang tahu, kalau tidak? Ataupun cuma tak peduli? Ahmad tetap saja bisa bebas sampai sekarang.
Rara bersedekap diri di samping tembok, kedua matanya terus berair hingga salah satunya jatuh, dan salah satunya tetap bertahan di kekungan mata. Rara berpegangan pada tembok yang ia sandari, dirinya merasa ayahnya lelah bukan karena capek bekerja tapi karena marah padanya yang bandel keluyuran ke mana-mana. Gadis itu gemetar sendiri, "Dimana laptop ayah? "
"Hm? "
"Kenapa bisa hilang!! "
"Siapa yang menghilangkan laptop ayah!! "
"Kau tahu kan? "
"Hm, jawab, tahu kan... "
Ahmad berjongkok lagi, kini lebih mendekat dari persembunyian anaknya yang mencoba untuk menenangkan diri, seperti biasa tatapan mata Ahmad membola mata malas melihat anak itu tak menjawab malah sibuk ketakutan. Ahmad mungkin terlalu kasar, tapi itulah sifat aslinya bila ia marah, atau kehilangan sesuatu.
Sabuk yang dipegang pria itu, di buang begitu saja ke lantai karpet, dirinya mengacak rambut frustasi, stress sendiri. "Sialan... Sialan... "
"Anak bedebah, tak tahu syukur. Bisanya, cuma makan minum main aja. "
"Apa pernah kau belajar hah? "
"APA PERNAH! "
"Nilaimu anjlok Ra, kau masih kelas dua tapi... Memalukan ayah saja, tahu bagaimana mereka sok tahu tentang pekerjaan ayah? Ya karena semula dari dirimu! "
"Kau bodoh! "
"Tolol, bisamu cuma main aja! "
Ahmad memncingkan kedua mata, mengangkat alis tebalnya sebelah ke atas. Menatapkan tangan ke dinding yang di sandari anaknya, "Dimana tanggung jawabmu... Dimana.... Dimana?!! "
"Kau membiarkan orang masuk seenaknya, iya!? "
"Sial, nih anak diem aja. Bisu beneran kau?! "
"Jawab aku bangsat! "
Tangan besar Ahmad menarik kencang kedua pipi anaknya, untuk melihat wajahnya yang sudah memerah tomat, butuh kepastian. Gadis itu menggeleng kecil, tak tahu apa-apa. Dan dari tadi kalimat yang Rara lontarkan hanya kata maaf dan maaf.
"Maaf yah... Rara salah.. "
Jujur Rara tak mengerti apa yang diucapkan pria itu dari tadi, ia tahu ayahnya marah padanya tapi setiap ucapan sang ayah angkat serasa asing baginya. Justru Rara tahu bahasa Indonesia yang benar dan baik, tapi bila semua umpatan dan kata kasar atau ejekan dari ayahnya, Rara rasa itulah cara ayahnya marah padanya.
Rara melihat bonekanya pororo, yang diam saja tak mau membantu. Tatapan gadis itu terus kebawah, "Kenapa ayah marah-marah? Memang Rara salah apa... "
"Rara salah apa sampai membuat ayah marah? "
" Kenapa ayah harus marah sama Rara? "
"Apa Rara telah membuat ayah kecewa? "
"Jawab yang benar, apa susahnya!?! "
Rara dibentak lagi, dirinya menutup mata takut. "Ayah... Aku sudah membantu ayah tadi... Kenapa ayah marah, aku... Aku sudah membersihkan, menata rapi kamar ayah, aku juga sudah membantu ayah tadi siang.... "
"Hiks.... Hiks... Kenapa ayah harus marah pada Rara... " serunya sedikit terpotek-potek, hati manisnya dibelit dengan belati. Dirinya menangis tersedu-sedu atas perilaku ayahnya yang jarang dikeluarkan selama ini, setelah mendapat amukan ayahnya kembali, Rara menyesal dengan semua sikapnya, yang telah membuat ayahnya risih.
"Tadi siang? "
"Tadi siang apa Ra!? "
"Apa??? Apa ayahmu ini minta bantuan?? "
"Tadi siang apa Raa!! "
Guncang Ahmad kepada kedua lengan gadis itu, dia guncang-guncang sampai mendapat jawaban dari anaknya yang terlihat malang.
Bersambung...