NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:971
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦱꦼꦩꦶꦭꦤ꧀ꦮꦼꦭꦱ

Langit malam Mataram menyala merah, seakan turut menangisi perang yang tak terhindarkan. Di kejauhan, gemuruh meriam dan jeritan pasukan bergema, memecah keheningan yang dulu menjadi ciri khas tanah ini. Di dalam keraton yang megah, Amangkurat II duduk gelisah di atas singgasananya. Tubuhnya tenggelam dalam balutan kain kebesaran, namun wajahnya memancarkan ketakutan yang nyata.

“Lapor, Gusti!” seorang prajurit setia masuk terburu-buru, darah mengalir dari luka di lengannya. “Benteng utama kita di barat telah jatuh. Pasukan Belanda semakin dekat ke keraton.”

Amangkurat II terdiam, bibirnya gemetar. Ia tahu hari ini akan tiba, namun ia tidak menyangka akan secepat ini. “Kita sudah mengirim utusan untuk perdamaian, bukan? Apa balasan mereka?”

Prajurit itu menunduk, ragu untuk menjawab. “Mereka... menolak, Gusti. Wiliam menuntut agar Mataram menyerah tanpa syarat.”

“William...” Amangkurat berbisik, nama itu seperti racun di lidahnya. Ia pernah mendengar tentang pria itu, seorang perwira Belanda yang terkenal licik dan tak kenal ampun. Namun, di balik ketegasan William, tersembunyi ambisi pribadi yang membakar setiap langkahnya.

Sementara itu, di kemah besar yang berdiri megah di tepi hutan, William memandang peta Mataram yang terbentang di hadapannya. Lilin-lilin menerangi ruang itu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di wajahnya yang tajam dan penuh percaya diri.

“Keraton sudah di depan mata,” ujar William dengan nada puas. “Amangkurat tidak punya pilihan lagi. Malam ini, Mataram akan menjadi milik kita.”

Seorang perwira Belanda yang lebih tua, Pieter, melangkah maju dengan ragu. “Tuan William, apakah tidak lebih baik jika kita menerima tawaran perdamaian mereka? Dengan begitu, kita bisa menghindari kerusakan lebih lanjut pada Mataram.”

William menatap Pieter dengan tajam, seperti elang yang mengamati mangsanya. “Pieter, ini bukan hanya soal perang. Ini soal menunjukkan kekuatan. Jika kita menerima perdamaian sekarang, mereka akan melihat kita lemah. Kita harus menaklukkan Mataram sepenuhnya.”

Pieter hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.

Di dalam keraton, Amangkurat II berjalan mondar-mandir, pikirannya dipenuhi ketakutan dan kebingungan. Ia memanggil penasihat setianya, Tumenggung Wiranata, yang segera datang dengan wajah serius.

“Tumenggung,” ujar Amangkurat, suaranya bergetar. “Apakah ada jalan keluar dari semua ini? Aku tidak ingin Mataram jatuh ke tangan mereka.”

Tumenggung Wiranata menghela napas panjang. “Gusti, pasukan kita terlalu lemah. Mereka kelelahan dan persenjataan kita kalah jauh dari Belanda. Namun, masih ada satu jalan...”

“Jalan apa?” Amangkurat menatapnya dengan harapan yang nyaris putus.

“Kita menyerah... dengan syarat,” jawab Tumenggung. “Setidaknya, kita bisa menyelamatkan rakyat dan mempertahankan sedikit kehormatan.”

Amangkurat terdiam lama. Menyerah berarti mengakui kekalahan, tetapi melanjutkan perang hanya akan membawa kehancuran total.

Malam itu, utusan Amangkurat dikirim lagi ke kemah William. Pria itu membawa kain putih tanda perdamaian dan pesan langsung dari sang raja. Namun, ketika ia tiba, William sudah siap dengan rencana liciknya.

“Tuanku William,” kata utusan itu, menunduk hormat. “Gusti Amangkurat bersedia menyerahkan keraton dan tanah Mataram, asalkan rakyatnya dilindungi dan keluarga kerajaan diberi tempat untuk menetap.”

William tersenyum tipis, senyum yang tidak menyimpan kebaikan. “Katakan kepada rajamu, aku menerima. Namun, besok pagi, aku ingin melihat bendera VOC berkibar di atas keraton Mataram. Jika tidak, keraton itu akan menjadi abu.”

Utusan itu pergi dengan hati penuh keraguan. Ia tidak yakin William akan menepati janjinya.

Keesokan paginya, keraton Mataram berubah menjadi lautan manusia. Rakyat berkumpul di alun-alun, menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah. Amangkurat II keluar dari keraton, wajahnya pucat namun berusaha mempertahankan martabatnya. Di hadapannya, William berdiri dengan gagah, mengenakan seragam lengkapnya, sementara bendera VOC berkibar di belakangnya.

“William,” ujar Amangkurat dengan suara yang berusaha terdengar tegas. “Aku telah memenuhi permintaanmu. Sekarang, tepati janjimu.”

William tersenyum, lalu melangkah mendekat. “Tentu saja, Gusti Amangkurat. Namun, ada satu hal lagi.”

“Hal apa lagi?” tanya Amangkurat, curiga.

William berhenti di depannya, menatap langsung ke matanya. “Aku ingin seluruh keluarga kerajaan meninggalkan keraton hari ini. Keraton ini, mulai saat ini, adalah milik Belanda.”

Amangkurat terkejut. “Itu tidak pernah menjadi bagian dari kesepakatan!”

“Kesepakatan bisa berubah, Gusti,” jawab William dengan nada dingin. “Ini adalah harga untuk melindungi rakyatmu.”

Amangkurat tidak punya pilihan. Dengan berat hati, ia mengangguk. Hari itu, keraton Mataram resmi jatuh ke tangan Belanda, dan William mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pria yang menaklukkan Mataram.

Di tengah keramaian rakyat yang menangis dan bersedih, William berdiri di balkon keraton yang baru saja ia rebut. Ia memandang ke arah ladang-ladang yang terbentang luas, matahari pagi menyinari wajahnya yang penuh kemenangan.

“Ini baru awal,” gumamnya pelan. “Indonesia akan menjadi milik kami. Seluruhnya.”

Para punggawa istana, para prajurit yang tersisa, dan rakyat Mataram menyaksikan transformasi keraton menjadi markas besar Belanda. Di bawah kendali William, VOC mulai menanamkan cengkeramannya dengan lebih dalam. Namun, satu nama muncul dalam bayangan: William seorang pejabat tinggi VOC yang ambisius dan haus kekuasaan.

***

“Pieter,” panggil William dengan nada tegas.

Pieter, yang sejak awal meragukan ambisi besar William, segera mendekat. “Ya, Tuan?”

“Keraton ini harus segera diubah menjadi pusat administrasi VOC. Kirim pesan ke Batavia, aku membutuhkan pasokan tambahan tentara, senjata, dan perlengkapan. Aku ingin kekuatan kita di sini tidak terbantahkan.”

“Tentu, Tuan,” jawab Pieter. Namun, ia tak bisa menyembunyikan keraguan di matanya.

Ketika Pieter pergi, William memandang ke arah desa-desa yang terbentang di kejauhan. “Jika mereka tidak tunduk dengan sukarela, mereka akan tunduk dengan kekerasan,” gumamnya pelan.

Di sisi lain, jauh dari pusat kekuasaan yang baru saja dikuasai Belanda, Tumenggung Wiranata bergerak cepat. Ia tahu kejatuhan keraton hanyalah permulaan dari penindasan yang lebih besar. Dengan kelompok kecil pasukan yang masih setia, ia menyusuri hutan untuk menyusun strategi perlawanan.

“Tumenggung,” panggil seorang prajurit muda, Kartono, yang matanya menyala dengan semangat juang. “Apa kita tidak akan melawan Belanda sekarang juga? Mereka telah merebut segalanya!”

Tumenggung Wiranata menatap Kartono dengan tegas. “Perlawanan butuh strategi, bukan sekadar keberanian. Kita tidak bisa melawan mereka secara langsung. Tapi kita bisa melemahkan mereka perlahan-lahan. Kita akan memulai dari desa-desa. Tanamkan keberanian di hati rakyat.”

Malam itu, Tumenggung mengumpulkan pemimpin-pemimpin lokal di sebuah gubuk sederhana. Ia berbicara dengan penuh keyakinan. “Mataram mungkin telah jatuh, tapi semangat kita tidak boleh mati. Kita akan berjuang untuk tanah ini, untuk anak cucu kita. Mulai sekarang, kita bergerak dalam senyap. Kita tidak menyerang mereka secara frontal, tapi kita akan membuat mereka kelelahan dengan perang kecil di setiap sudut.”

“Tuan William,” kata seorang prajurit Belanda sambil menundukkan kepala. “Kami diserang saat mengirim pasokan ke barat. Pasukan kecil, tapi mereka menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga. Banyak barang kami yang dirampas.”

Wajah William berubah gelap. “Siapa yang melakukannya?”

“Kami tidak yakin, Tuan. Tapi kami menemukan tanda-tanda bahwa ini adalah sisa-sisa pasukan Mataram.”

William mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi. Perkuat penjagaan di semua pos, dan tangkap siapa pun yang terlihat mencurigakan.”

Namun, Tumenggung Wiranata dan kelompoknya telah mempelajari pergerakan Belanda dengan baik. Mereka tahu bagaimana dan kapan menyerang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!