Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANYA REKAN KERJA
Pagi itu suasana rumah terasa sunyi. Btari sudah selesai mandi dan sedang duduk di meja makan, menyesap teh hangat sambil mengecek ulang jadwal keberangkatannya. Barra masuk dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan kaos dan celana santai. Ia terlihat canggung tapi mencoba bersikap santai. Hari ini ia berencana mengantarkan Btari pergi dan meminta Ryan menghandel pekerjaannya sementara.
Barra duduk di sebelah Btari. Lelaki itu mengambil teh hangat yang sudah dibuatkan Btari sebelumnya, "Pagi, Bi." Sapanya santai melirik sekilas pada Btari.
"Pagi." Jawab Btari tanpa menoleh pada Barra.
Hening sesaat. Hanya terdengar suara sendok yang menyentuh cangkir Btari. Gadis itu tampak begitu menikmati tehnya. Masih dengan raut wajah datarnya.
"Persiapan udah selesai semua?" Tanya Barra basa-basi memecah keheningan.
"Sudah. Tinggal berangkat nanti siang." Jawab Btari. Nada suaranya tidak sedingin yang pertama.
"Kamu masih marah soal semalam?"
Btari menggeleng pelan. "Nggak. Aku hanya mengingatkan kamu untuk selalu ingat bahwa hubungan kita tidak seperti suami-istri pada umumnya. Kita hanya hubungan kerjasama, Bar. Jadi jangan melewati batas itu." Ujar Btari tenang namun Barra tahu ada kesan tegas disana.
"Aku ngerti. Tapi… aku merasa masih kewajibanku untuk peduli padamu. Aku terlalu khawatir kalau kamu pergi jauh naik kereta seperti itu."
Btari menatap Barra dengan serius. Ia tidak mengerti mengapa sikap lelaki ini berubah berlagak suami yang baik seperti ini. Lagipula Btari tidak mau Barra melewati batas hubungan mereka yang hanya pura-pura dan hanya sementara seperti ini.
"Berhenti khawatir seperti itu, Bar. Sikap kamu akan membuat banyak orang salah paham. Kalau pacarmu dengar, dia juga mungkin protes. Jangan berlagak menjadi suami yang baik seperti ini."
Barra menghela napasnya. Gadis di depannya ini memang keras kepala. Ia kira sikap tenang Btari beberapa minggu ini seolah sebagai sinyal bahwa keduanya bisa hidup menjadi teman. Namun tidak, Btari masih membatasi dirinya setinggi ini.
"Aku peduli sebagai teman, Bi. Walaupun hubungan kita tidak menjadi suami-istri pada umumnya, tapi kita masih bisa jadi teman."
Btari tersenyum sinis mendengar perkataan Barra. "Teman? Sejak kapan kontrak kita jadi teman? Kamu pikir dengan aku setuju tinggal disini berarti aku mau jadi temanmu?" Btari berhenti sejenak. Lalu menatap Barra dengan seksama. "Sampai kapanpun hubungan kita nggak akan berubah, Bar. Bahkan menjadi teman pun tidak. Kita hanya rekan kerja. Ingat itu." Kata Btari lalu pergi menuju kamarnya.
"Dasar keras kepala." Desis Barra pelan.
Ia masih tidak mengerti mengapa Btari begitu menjaga jarak darinya. Padahal selama disini Barra sudah berusaha bersikap baik dan lembut pada gadis itu.
Lagipula apa salah dirinya? Ia hanya tidak ingin Btari kelelahan dalam perjalanan. Mengapa reaksi Btari harus berlebihan seperti ini?
Tiba-tiba ia tahu apa yang harus ia lakukan agar Btari menerima tawarannya. Biarkan saja Btari mengamuk atau bahkan memarahinya. Namun ini ia lakukan agar gadis itu selamat dan tidak terlalu kelelahan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Barra mengetik sesuatu di ponselnya. Tinggal butuh waktu sepuluh menit, Btari akan keluar dari kamar.
Tepat perhitungan Barra. Kini ia sudah duduk santai di depan televisi dan Btari muncul dengan kesal.
"Pasti kamu ngadu sama Mama kamu, kan?!"
Barra mengangkat bahu. Seolah tidak melakukan apapun.
"Aku cuma bilang doang kalau kamu nggak bisa datang ke acara keluarga besok malam karena kamu ada proyek ke Malang." Jawab Barra santai.
Btari melipat tangannya sambil menatap tajam Barra.
"Terus kenapa Mama kamu sampai telepon aku bilang kalau tiket pesawat dan hotel sudah disiapkan disana? Pasti ini ulah kamu, kan?"
"Nggak. Itu ide Mamaku sendiri." Elak Barra. Namun tatapan tajam Btari seakan menghunusnya. Ia lalu berdiri mendekat ke Btari.
"Itu ide Mama sendiri, Bi. Aku nggak minta Mama melakukan itu. Itu dari Mama sendiri. Khusus untuk kamu, seseorang yang Mama tahu menantu pertamanya." Ujar Barra sambil tersenyum lembut.
Btari menghela napas panjang. Jika begini artinya ia harus menerima tawaran mama mertuanya. Mana bisa ia menolak. Membayangkan wajah kecewa mama mertuanya saja Btari tidak sanggup.
"Kamu yakin nggak mau terima?" Barra pura-pura bertanya.
Wajah Btari jelas menunjukkan betapa bingungnya dia. Bingung bercampur jengkel lebih tepatnya.
"Aku akan menerima tiket pesawatnya. Tapi kamu bilang ke Mama kalau aku menolak nginep di hotel." Setelah mengatakan itu, gadis itu pergi masuk kamar lagi
Sementara itu, Barra tersenyum puas. Idenya berjalan dengan baik.
...****************...
"Disananya hati-hati. Ingat, sekarang kamu udah tanggung jawab aku. Ada nama keluargaku di belakang namamu. Ada Abang kamu yang selalu peduli sama kamu." Barra berkata dengan serius menatap Btari yang hanya menatapnya diam.
Sekarang mereka sudah di bandara. Tepat saat Btari akan pergi, Barra memberikan banyak nasehat. Sebenarnya sudah sedari di mobil Barra memberikan banyak petuah layaknya orang tua ke anaknya yang akan pergi jauh dan waktu yang lama.
"Kamu dengar aku ngomong nggak sih?" Tanya Barra dengan nada khawatir.
"Dika sama Ryan aja udah nahan ketawa karena kamu, Bar." Kata Btari lalu melihat dua sahabat Barra yang kini cekikikan melihat Barra.
"Nggak usah peduliin mereka." Ucap Barra kesal.
"Nggak usah sok peduli juga. Kamu hanya rekan kerjaku. Semua nasehatmu justru bikin aku tambah pusing. Aku jadi heran kenapa pacarmu itu bisa tahan sama sikap kamu yang lebay gini."
"Dia sangat mengerti aku, Bi. Jadi dia nggak pernah bikin aku sekhawatir ini. Tanpa aku minta, dia tahu apa yang aku mau."
Btari tersenyum sinis. "Iya. Terserah kamu deh. Semoga aja kamu nggak sia-sia jagain jodoh orang, ya." Kata Btari lalu segera bersiap pergi. Meninggalkan Barra yang masih menatapnya masam. Sementara itu, Dika dan Ryan sudah tertawa.
"Saya berangkat dulu, ya." Pamit Btari pada Ryan dan Dika.
"Kamu nggak pamitan sama aku?" Suara Barra membuat Btari berhenti lalu menoleh ke Barra.
" Aku sudah pamitan sejak kita di rumah."
Tawa Ryan dan Dika benar-benar pecah melihat perdebatan kecil mereka. Apalagi wajah Barra yang kecut.
"Nggak sekalian lo peluk dia?" Tanya Dika bercanda.
"Atau lo cium keningnya lama-lama. Biar dia terharu karena lo sepeduli itu sama dia." Ryan menambahkan.
Keduanya lagi-lagi tertawa melihat reaksi kesal Barra.
"Lagian lo aneh, istri pergi jauh malah lo biarin sendiri. Harusnya temenin dong."
"Iya, habis itu gue diputusin Nadea."
Ryan berdecih. " Aelah. Nadea doang. Lo nggak ingat apa yang dibilang, Btari, tadi?"
"Apaan?" Tanya Barra heran.
"Otak encer lo seketika mampet, ya, Bar." Cibir Ryan.
"Emang Btari ngomong apaan? Dia itu sibuk debat sama gue mulu."
Dika dan Ryan saling pandang. Lalu tersenyum mengejek. "Semoga nanti kamu nggak sia-sia jagain jodoh orang." Ucap mereka berdua menirukan gaya Btari. Lagi, setelah itu mereka tertawa lagi.
"Terserah lo berdua. Pokoknya kalian nggak boleh pulang bareng gue." Kata Barra yang kesal lalu segera pergi.
Hal itu semakin membuat Ryan dan Dika semakin tertawa keras.
"Malah ngambek. Padahal yang dibilang Btari ada benarnya."
"Biasalah, Dik. Palingan nanti nyamperin kita kalau kesepian di rumah."
Barra berusaha mengalihkan pikirannya dari ocehan dua sahabat laknatnya itu. Lagipula tanpa mereka, Barra bisa bertemu Nadea jika ia bosan di rumah. Ah, Barra sangat merindukan kekasihnya yang cantik itu.
Sudah hampir dua minggu mereka tidak berjumpa. Nadea ada pekerjaan yang mengharuskannya ke Paris. Seharusnya sore ini adalah jadwal pulangnya. Hingga tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dan nama Nadea tertera sebagai pengirim pesan.
"Lo berdua nggak usah kaget. Gue nggak akan ke apartemen lo berdua. Karena gue punya Nadea yang selalu ada buat gue. " Kata Barra sambil memperlihatkan pesan Nadea yang belum ia buka.
Ryan dan Dika saling pandang lalu bersikap tidak peduli dengan kebodohan dan kebucinan Barra yang akut. Hingga mereka berdua menangkap wajah Barra tidak secerah tadi.
Pasti ada sesuatu yang terjadi.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri