DIA YANG KU KAGUMI

Beberapa bulan setelah malam itu, kehidupan Yana berubah. Ia kini duduk di kelas 12, tahun terakhir di sekolah menengah, yang penuh dengan tantangan baru. Tugas semakin banyak, ujian semakin dekat, dan di tengah semua itu, perasaan tentang Nabil masih tersisa, meski jauh di dalam hatinya.

Setiap pagi, ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran dan persiapan ujian. Tapi terkadang, saat berjalan melewati taman kecil yang dulu mereka sering kunjungi, ia merasa sesak di dada. Begitu banyak kenangan yang tersisa, kenangan yang dulu terasa indah, namun kini hanya meninggalkan rasa kosong. Meski begitu, Yana mencoba untuk tidak membiarkan hal itu mengganggunya.

Di sekolah, teman-temannya mulai menyadari bahwa Yana lebih pendiam. Mereka tahu ia sedang berjuang dengan banyak hal, tapi Yana tak pernah banyak bercerita. Satu-satunya yang tetap setia mendampingi adalah Rani, sahabat baiknya. Rani selalu hadir untuk mendengarkan setiap keluh kesah, memberikan dukungan saat Yana merasa lelah, dan kadang-kadang mengingatkannya untuk tidak melupakan dirinya sendiri.

Suatu sore, setelah pelajaran selesai, Rani mengajak Yana untuk berjalan-jalan. Mereka duduk di bangku taman sekolah, menikmati udara sore yang sejuk. Rani memandang Yana dengan prihatin. “Yana, aku tahu kamu masih belum sepenuhnya baik-baik saja. Jangan takut buat bicara, ya.”

Yana tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Hanya, semuanya terasa berbeda sekarang. Aku harus fokus pada ujian, nggak ada waktu untuk hal lain.”

“Tapi kamu nggak harus menahan semuanya sendirian, Yana. Kita teman. Aku di sini buat kamu,” kata Rani, dengan nada penuh perhatian.

Yana menarik napas dalam-dalam. “Kadang, aku cuma merasa kesepian. Meski aku dikelilingi banyak orang, ada bagian dari diriku yang masih terasa hilang. Aku nggak tahu gimana harus mulai lagi.”

Rani mengangguk paham. “Itu wajar. Kamu sudah melalui banyak hal, Yan. Tapi ingat, hidup itu berjalan terus, dan kamu masih punya banyak kesempatan untuk meraih kebahagiaan. Jangan biarkan masa lalu menghalangi langkahmu.”

Kata-kata Rani menyentuh hati Yana. Meskipun masih ada luka, ia tahu bahwa hidup tak bisa berhenti hanya karena sebuah hubungan berakhir. Ia harus belajar untuk menerima dan melanjutkan perjalanan.

Pada suatu hari, saat sedang belajar di perpustakaan, Yana menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Dengan hati-hati, ia membuka pesan itu. Ternyata itu dari Nabil.

“Hai, Yan. Aku tahu ini mungkin nggak pada waktunya, tapi aku cuma mau bilang, aku nggak pernah berhenti mikirin kamu. Aku ingin kamu tahu, aku menyesal banget. Aku berharap kita bisa tetap berteman, meski semuanya sudah berubah. Semoga kamu baik-baik saja.”

Yana terdiam membaca pesan itu. Perasaan yang dulu ia coba sembunyikan kembali muncul, namun kali ini ia merasa lebih kuat. Ia tahu, apa yang mereka punya sudah berakhir, dan meskipun Nabil meminta untuk tetap berteman, Yana merasa belum siap. Ia menatap layar ponselnya sejenak, lalu menulis balasan.

“Terima kasih, Nabil. Aku juga berharap kamu baik-baik saja. Tapi untuk sekarang, aku rasa kita butuh ruang untuk masing-masing. Aku perlu fokus pada diri sendiri dan masa depanku.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Yana merasakan beban di dadanya sedikit terangkat. Ia tahu, meskipun perasaan itu tidak mudah hilang begitu saja, ia telah mengambil langkah yang tepat. Kini, ia harus melangkah maju, menghadap ujian dan hidup yang menantinya.

Waktu terus berjalan, dan Yana mulai merasa lebih damai. Ia menyadari bahwa cinta bukan hanya soal memiliki, tapi juga soal belajar melepaskan. Dan dengan itu, ia siap untuk menghadapi apa yang akan datang, baik di kehidupan pribadinya maupun di masa depannya yang penuh harapan.