Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rivendale Kota Kacau
Pagi itu dikota Rivendale berubah drastis. Pasar yang biasanya menjadi jantung kehidupan kota kini seperti tempat yang kehilangan nyawanya. Suara tawa dan obrolan para pedagang yang biasa terdengar riuh kini digantikan oleh bisikan penuh ketakutan dan langkah-langkah terburu-buru. Desas-desus tentang wabah menyebar seperti api, membakar rasa percaya di antara warga.
Di sudut pasar, seorang pedagang daging berdiri dengan wajah merah padam. Tangannya mengacung ke udara, mencoba membela diri dari tuduhan yang dilemparkan padanya.
“Dagingku segar! Aku selalu memastikan semuanya bersih!” teriaknya dengan nada putus asa. Beberapa warga yang masih berani melintas di dekat lapaknya menjauh dengan tatapan curiga.
Seorang ibu yang sedang membawa anak kecil menoleh ke arah pedagang itu dengan wajah penuh kemarahan. “Lalu kenapa banyak orang jatuh sakit setelah makan daging? Jangan bilang kau tidak tahu apa-apa!”
Pedagang itu terdiam sejenak, lalu menggeleng keras. “Aku tidak tahu apa yang terjadi! Jangan salahkan aku tanpa bukti!”
Di sisi lain pasar, sekelompok pedagang berkumpul, berbicara dengan suara pelan tetapi penuh ketegangan. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan wajah keriput, berbisik, “Ini pasti ada hubungannya dengan barang-barang dari luar kota. Mereka membawa penyakit ke sini.”
“Kalau begitu, kita harus menghentikan pedagang luar memasuki Rivendale,” sahut seorang pedagang wanita dengan nada tegas. “Kalau tidak, kita semua akan mati!”
Namun, tidak semua warga mendukung ide itu. Beberapa pedagang yang memiliki hubungan dagang dengan kota lain mulai menyuarakan keberatan mereka. “Kita tidak bisa memutuskan hubungan dagang begitu saja! Tanpa barang dari luar, kita tidak akan bertahan lama,” kata seorang pria berbadan besar yang menjual rempah-rempah.
Sementara itu, di klinik kota, suasana jauh lebih parah. Pasien yang menderita gejala wabah terus berdatangan, hingga tempat tidur di klinik hampir penuh. Magnus, tabib utama Rivendale, berusaha keras mengatasi situasi. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia terus memeriksa satu pasien ke pasien lain dengan cermat.
“Siapkan ramuan penenang untuk pasien ini,” katanya kepada salah satu asistennya sambil menunjuk seorang pria yang tergeletak dengan tubuh gemetar. “Dan pastikan mereka tetap terhidrasi.”
Rea memasuki klinik dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia menatap para pasien yang terbaring di ranjang darurat, beberapa dari mereka menggeliat kesakitan. Rea menghampiri Magnus yang sedang mencatat gejala pasien di sebuah buku besar.
“Magnus, bagaimana situasinya?” tanya Rea.
Magnus menghela napas panjang. “Buruk. Kasus ini terus bertambah, dan kita belum menemukan sumber pasti wabah ini. Tapi dari gejalanya, aku yakin ini terkait dengan makanan yang terkontaminasi.”
Rea mengangguk. “Apakah kamu punya petunjuk tentang jenis makanan apa yang menjadi penyebabnya?”
Magnus mengangkat bahu. “Masih terlalu awal untuk memastikan. Tapi aku menemukan pola yaitu sebagian besar pasien mengaku makan daging dalam dua hari terakhir. Itu petunjuk awal, tapi kita butuh bukti lebih kuat.”
Di benteng Rivendale, Lord Adric mengadakan pertemuan darurat. Di ruangan itu hadir Lady Eleanor, Kaelan, Rea, Magnus, dan beberapa bangsawan serta kepala bagian kota. Wajah mereka menunjukkan ekspresi tegang, menyadari situasi yang semakin memburuk.
“Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama,” ujar Lord Adric dengan suara tegas. “Jika kita tidak bertindak cepat, kota ini akan kehilangan kendali.”
Lady Eleanor menatap Magnus. “Apakah kita tahu pasti apa yang menyebabkan wabah ini?”
Magnus mengangguk pelan. “Dugaan sementara adalah daging yang terkontaminasi. Tapi kita masih menyelidiki bagaimana itu bisa terjadi.”
“Kalau begitu, kita harus segera menutup pasar,” usul Kaelan. “Itu satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran sementara kita mencari solusi.”
Namun, Duke Alaric, salah satu bangsawan berpengaruh, langsung menyela. “Menutup pasar? Itu gila! Pasar adalah sumber utama kehidupan kota ini. Tanpa pasar, perekonomian kita akan hancur!”
Lord Adric menatapnya dengan tajam. “Apa artinya ekonomi jika rakyat kita mati, Alaric? Kita harus memprioritaskan nyawa mereka.”
Rea angkat bicara. “Saya setuju. Kita perlu menutup pasar sementara, tapi kita juga harus memastikan kebutuhan warga tetap terpenuhi. Kita bisa memanfaatkan lumbung kota untuk memberi makan warga selama masa krisis.”
Lady Eleanor menambahkan, “Dan kita harus memisahkan yang sakit dari yang sehat. Jika tidak, wabah ini akan menyebar lebih cepat.”
Lord Adric mengangguk. “Baik. Mulai hari ini, Rivendale akan ditutup. Pasar akan dihentikan sementara, dan kita akan mendirikan klinik darurat di luar pusat kota untuk merawat pasien. Kaelan, pastikan para prajurit berjaga di setiap gerbang kota.”
Revisi dan Perbaikan Cerita
Keputusan untuk menutup pasar dan kota membuat suasana Rivendale semakin tegang. Para pedagang yang kehilangan mata pencaharian mulai berkumpul di depan gerbang benteng, melontarkan keluhan dengan suara lantang. Kerumunan warga yang marah menjadi semakin besar, memunculkan ketegangan yang sulit diabaikan.
“Kami tidak bisa hidup tanpa pasar!” teriak seorang pedagang sayur tua yang biasanya berdagang di sudut pasar utama. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya penuh dengan rasa frustrasi. “Apa yang harus kami makan jika kami tidak bisa berdagang?”
“Anak-anak kami butuh makanan! Kami tidak bisa hanya mengandalkan bantuan pemerintah!” sahut pedagang lain, seorang wanita yang membawa keranjang kosong di lengannya.
Di tengah kerumunan, Kaelan berdiri di depan pintu gerbang benteng, menjaga ketenangannya meskipun tekanan terasa semakin besar. Ia menatap massa dengan tatapan tegas, mencoba menenangkan kekacauan.
“Kami memahami kekhawatiran kalian,” katanya, suaranya naik untuk mengatasi keributan. “Tapi ini demi keselamatan semua orang. Jika kita tidak bertindak sekarang, wabah ini akan membunuh lebih banyak orang.”
Namun, kata-katanya tidak langsung meredakan kerumunan. Beberapa warga yang marah mulai berteriak lebih keras, bahkan ada yang mencoba mendekati gerbang untuk menerobos barisan prajurit yang berjaga.
“Tunggu!” suara lantang Rea tiba-tiba memecah keributan. Ia melangkah maju, berdiri di samping Kaelan. Wajahnya memancarkan ketenangan, meskipun matanya menunjukkan keseriusan.
“Kami sedang bekerja keras untuk menemukan penyebab wabah ini,” katanya dengan suara yang tenang tetapi penuh otoritas. “Kami butuh kerja sama kalian untuk memastikan Rivendale tetap aman. Percayalah, ini hanya sementara.”
Kerumunan mulai tenang. Beberapa orang saling memandang dengan ragu, tetapi tidak ada yang berbicara. Di antara mereka, seorang ibu dengan anak kecil di gendongannya melangkah maju. Wajahnya penuh dengan kelelahan, tetapi ada harapan dalam matanya.
“Tolong, Lady Rea,” katanya dengan suara bergetar. “Kami hanya ingin bertahan. Jangan biarkan kami kelaparan.”
Rea meraih tangan wanita itu dengan lembut. “Kami tidak akan membiarkan itu terjadi. Bantuan makanan akan segera dikirimkan ke setiap rumah. Tolong percayalah pada kami.”
Di Klinik Darurat
Sementara itu, di klinik darurat yang didirikan di luar kota, suasana tidak kalah mencekam. Magnus dan tim tabibnya bekerja tanpa henti, memeriksa pasien dan mencoba menemukan pola penyebaran wabah. Tempat tidur darurat yang terbuat dari balok kayu dipenuhi pasien yang terbaring lemah, sementara suara batuk dan rintihan kesakitan memenuhi udara.
Magnus berdiri di meja kecil yang dipenuhi botol-botol ramuan dan alat-alat medis sederhana. Dengan cermat, ia mencatat gejala-gejala yang dialami pasien, mencoba mencari petunjuk tentang penyebab penyakit ini.
“Gejalanya konsisten,” katanya kepada salah satu asistennya. “Muntah, diare, demam tinggi, dan pusing. Tapi kita belum tahu bagaimana racun ini masuk ke tubuh mereka.”
Di sudut lain klinik, Rea dan Kaelan membantu mendistribusikan makanan dan air bersih kepada pasien. Meski kelelahan, mereka tetap berusaha tersenyum, memberikan semangat kepada warga yang sakit.
“Kaelan,” kata Rea sambil menyeka keringat di dahinya. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang sumber wabah ini. Kita tidak bisa hanya mengandalkan dugaan.”
Kaelan mengangguk. “Aku akan berbicara dengan Magnus lagi. Jika kita bisa memastikan bahwa ini berasal dari daging, kita bisa mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.”
Namun, keputusan untuk menutup pasar dan kota tidak diterima semua orang. Beberapa pedagang mulai memprotes kebijakan itu dengan lebih keras. Di depan gerbang kota, sekelompok pedagang yang ingin masuk membawa barang dagangan mereka mulai berteriak, menuntut agar diizinkan masuk.
“Buka gerbang ini! Kami harus berdagang untuk bertahan hidup!” teriak salah satu pedagang, wajahnya memerah karena marah.
“Kalian tidak punya hak untuk menahan kami di sini!” sahut pedagang lain. “Kami punya keluarga yang harus diberi makan!”
Kaelan berdiri di depan gerbang, menghadapi kerumunan dengan keberanian. “Kami memahami kebutuhan kalian, tapi wabah ini bisa membahayakan seluruh kota. Kami harus memastikan bahwa Rivendale tetap aman.”
Seorang pria bertubuh besar maju, melangkah ke arah Kaelan. “Kalau begitu, beri kami jaminan! Bagaimana kami tahu kalian tidak hanya menyalahkan kami untuk sesuatu yang bukan kesalahan kami?”
Sebelum Kaelan bisa menjawab, Rea melangkah maju. “Kami sedang bekerja keras untuk mencari solusi. Jika kalian membantu kami dengan bersabar, kami bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa. Ini bukan soal menyalahkan, ini soal melindungi semua orang.”
Kata-kata Rea tampaknya meredakan ketegangan, meskipun beberapa pedagang masih tampak tidak puas. Mereka mundur dengan enggan, tetapi tatapan mereka menunjukkan bahwa masalah ini belum selesai.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih