NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Ragna duduk di dekat Verio, memperhatikan pria itu yang sedang sibuk mengutak-atik sebuah Ferrari merah milik seorang polisi dari luar kota. Tangannya cekatan memeriksa mesin sambil memberi arahan pada beberapa karyawan yang bekerja bersamanya. Sesekali, Ragna ikut membantu, meski lebih sering terlihat hanya mengamati dengan penuh rasa ingin tahu.

"Pa," panggil Ragna sambil menopang dagu, matanya menyipit bosan. "Kapan kita liburan? Aku butuh refreshing. Otakku sudah berkarat."

Verio menjawab santai tanpa mengalihkan pandangannya dari mesin mobil, "Liburan? Di kota penuh gangster ini? Kau mau ke taman kota, atau langsung ke kuburan?"

Ragna mendengus, tak mau kalah. "Eh, boleh juga ke kuburan. Siapa tahu aku bisa bawa oleh-oleh yang seram."

Verio akhirnya menoleh sebentar, bibirnya melengkung dengan senyum sarkastis. "Oh, tentu. Jangan lupa bawa sekop, siapa tahu kita menemukan yang masih hidup."

Para karyawan yang mendengar percakapan absurd itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menahan tawa. Mereka sudah terbiasa dengan obrolan konyol antara Verio dan Ragna.

"Kalau serius mau liburan, nanti cari tempat yang nggak terlalu jauh. Aku masih punya kerjaan segunung," lanjut Verio, kembali fokus pada pekerjaannya.

"Baiklah, Pa. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku stres dan mulai nyanyi-nyanyi di tengah bengkel," balas Ragna sambil terkikik, membuat beberapa karyawan di sekitarnya tersenyum geli.

Verio hanya mendesah pelan. "Ya ampun, aku ini montir bukan psikolog. Tapi kalau kau mulai nyanyi, aku pasang earplug saja."

Setelah beberapa jam berkutat dengan mesin, Verio akhirnya berdiri dan mengusap keringat di dahinya. Mobil Ferrari itu sudah hampir selesai diperbaiki, dan para karyawan mulai beristirahat sambil bercengkerama di sudut bengkel.

"Ragna," panggil Verio, menepuk kap mobil dengan puas. "Bantu aku uji mesin sebentar."

Gadis itu melompat turun dari meja tempatnya duduk, wajahnya berbinar antusias. "Boleh aku yang nyetir, Pa?" tanyanya penuh harap.

Verio melipat tangan di dada, menatapnya tajam. "Kau baru belajar nyetir tiga bulan lalu dan sudah hampir menabrak gerobak bakso. Apa kau yakin aku mau menyerahkan mobil polisi ini padamu?"

Ragna meringis, tapi tak kehilangan semangat. "Tapi aku sudah banyak latihan! Lagipula, kapan lagi aku bisa nyetir Ferrari?"

Verio menghela napas panjang lalu menunjuk kursi penumpang. "Oke, kau boleh duduk di situ dan lihat aku nyetir. Itu sudah cukup mewah untukmu."

"Aku rasa ini bentuk ketidakpercayaan, Pa," gumam Ragna sambil memutar bola matanya, tapi tetap mengikuti arahan Verio.

Mobil meluncur keluar dari bengkel diiringi deru mesinnya terdengar mulus. Verio memutar setir dengan terampil, memastikan semua komponen bekerja dengan baik. Di sebelahnya, Ragna tampak terpukau.

"Jadi, Pa, kapan kau akan membiarkanku belajar nyetir mobil sport?" tanyanya sambil mengamati setiap gerakan ayah angkatnya.

"Kalau kau bisa nyetir motor tanpa teriak-teriak seperti orang dikejar anjing, mungkin aku akan mempertimbangkannya," balas Verio datar, tapi terselip nada bercanda di suaranya.

Ragna mendengus kesal. "Padahal aku sudah mulai bisa bawa motor manual, lho! Itu perkembangan besar!"

"Kau hampir menabrak pintu bengkelku minggu lalu. Itu bukan perkembangan, itu ancaman," balas Verio sambil tersenyum tipis.

Setelah memastikan mobil dalam kondisi prima, mereka kembali ke bengkel. Verio mematikan mesin dan keluar dari mobil, sementara Ragna mengikuti di belakangnya.

"Kerja selesai," ucap Verio sambil merentangkan tubuhnya, mencoba mengusir rasa pegal. "Kita makan malam di luar saja. Aku terlalu malas masak malam ini."

"Benar-benar penawaran yang tidak bisa ditolak!" sahut Ragna senang. "Aku yang pilih tempatnya, ya?"

"Tidak ada restoran mahal," Verio mengingatkan dengan cepat, membuat Ragna tertawa kecil.

"Tenang saja, Pa. Aku tahu tempat murah, enak, dan yang penting ada es krimnya!" balas Ragna sambil berjalan mendahului, meninggalkan Verio yang hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecil.

"Pa, Papa. Pa." Ragna memanggil Verio yang berjalan di sebelahnya dengan nada manja, sengaja memancing perhatian.

"Hn," gumam Verio tanpa menoleh.

"Papa~" Ragna menyeret nada, membuat Verio menghela napas pendek.

"Ck. Ada apa, Ragna," sahut Verio akhirnya, nada suaranya setengah kesal, tapi dia tahu persis gadis itu sedang menggoda.

Ragna terkikik. "Kita nyari kedai pinggir jalan, yuk? Malam ini aku mau makan di pinggir jalan, biar estetik."

Verio tersenyum tipis, mengalah. "Baiklah."

Mereka berjalan menyusuri trotoar, menikmati suasana sore yang perlahan berubah menjadi malam. Udara terasa sejuk, dengan langit mulai dihiasi semburat jingga yang memudar. Beberapa pejalan kaki lewat, sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sementara suara kereta api dan kendaraan bermotor sesekali memecah keheningan.

Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh suara yang familiar namun tidak diinginkan. "Oh, ya ampun, Ragna. Kau jalan-jalan dengan ayahmu, ya?"

Ragna dan Verio serempak menoleh ke asal suara dan mendapati Silvi bersama empat teman laki-lakinya yang mengenakan seragam sekolah. Wajah mereka menyiratkan niat mengejek.

"Saking tidak lakunya, kau bahkan berkencan dengan ayahmu? Oh, aku lupa. Kau hanyalah anak angkat," Raymond menyindir dengan nada sinis.

Ragna memutar matanya, lalu menyunggingkan senyum sinis. "Oh? Apa urusannya denganmu? Kalau nggak suka, abaikan saja," balasnya dengan nada sarkas yang tajam.

Raymond mendecak kesal, tapi Silvi segera meraih lengannya, berusaha menenangkan. "Kak, cukup. Sebaiknya kita pergi. Aku takut Ragna akan memarahiku," ucapnya dengan suara lirih, berpura-pura cemas.

"Dia tidak akan marah, Silvi. Percayalah, dia. hanya iri padamu." Raymond berkata lembut, seolah menenangkan adiknya.

"Benar, Silvi. Kau aman bersama kami," sahut salah satu pemuda lainnya dengan nada serius, seakan sedang memerankan adegan pahlawan penyelamat.

Namun, alih-alih merasa terganggu, Verio dan Ragna malah memasang ekspresi jijik yang begitu kentara.

"Pa," Ragna menoleh pada Verio dengan nada datar, "sepertinya kita sedang menonton drama picisan live. Tapi nggak bikin perutku kenyang."

Verio, dengan ekspresi malas, menjawab tanpa ragu, "Ah, benar. Adegan yang tidak bermutu." Dia melirik ke arah Ragna, "Kau mau tetap di sini atau ikut aku cari makan?"

Ragna mengangkat bahu dengan santai. "Aku lapar, Pa. Tentu saja aku ikut."

Mereka berdua berbalik, meninggalkan kelompok itu tanpa memberi kesempatan untuk membalas. Sementara Silvi dan teman-temannya hanya bisa terdiam, merasa seperti lawakan yang gagal.

Ragna dan Verio terus melangkah menjauh, meninggalkan keramaian trotoar yang semakin padat. Mereka akhirnya menemukan sebuah kedai kecil di sudut jalan, dengan kursi-kursi plastik yang berjejer dan lampu kuning temaram. Aroma sedap dari masakan khas jalanan menyeruak, membuat perut Ragna semakin lapar.

Ragna segera duduk di salah satu bangku, menatap daftar menu yang ditempel di dinding dengan antusias. "Pa, aku mau nasi goreng spesial plus sate ayam. Oh, dan teh manis panas."

Verio mengangguk tanpa komentar, lalu memesan menu yang sama untuk dirinya. Setelah pelayan berlalu, Ragna menyandarkan tubuhnya di kursi, mengusap perutnya yang mulai berbunyi.

"Pa, kau tahu nggak? Raymond itu benar-benar norak. Dia pikir dia pahlawan atau semacamnya."

Verio hanya mendengus sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Biarkan saja. Kalau dia terus-terusan bersikap seperti itu, dia akan jadi bahan tertawaan orang lain, bukan hanya kita."

Ragna tertawa kecil. "Kau benar. Dia seperti karakter figuran di film, yang muncul hanya untuk memancing simpati tapi malah menyebalkan."

"Atau mungkin dia ingin jadi antagonis," gumam Verio, suaranya sarkastik.

Obrolan mereka terhenti saat pelayan datang membawa makanan. Piring nasi goreng mengepul di depan mereka, dihiasi telur mata sapi dan sate ayam yang tampak menggiurkan. Ragna segera mengambil sendok dan garpu, matanya berbinar.

"Aku benar-benar lapar! Ini terlihat enak," katanya sebelum mulai makan.

Verio hanya mengangguk sambil menikmati makanannya dengan tenang. Di tengah-tengah suapannya, dia menatap Ragna dengan lembut. "Kau tidak perlu terlalu memikirkan apa yang dikatakan orang-orang seperti mereka. Fokus saja pada apa yang membuatmu bahagia. Aku di sini untuk membantumu, selalu."

Ragna berhenti sejenak, menatap Verio. "Aku tahu, Pa. Terima kasih. Kadang aku hanya merasa capek harus menghadapi orang-orang seperti mereka."

"Kau kuat, Ragna," kata Verio sambil tersenyum tipis. "Dan aku yakin, mereka yang seperti itu hanya iri karena kau lebih baik dari mereka."

Ragna tersenyum kecil, melanjutkan makannya dengan semangat baru. Bagi gadis itu, momen sederhana seperti ini—makan bersama ayah angkatnya sambil bercanda—adalah salah satu hal yang membuat hidupnya terasa istimewa, di tengah semua kekacauan yang terjadi di sekitarnya.

Verio dan Ragna duduk di bangku taman kota, dikelilingi oleh suasana tenang malam. Lampu taman yang temaram memberikan kesan damai, sementara suara dedaunan yang diterpa angin menambah harmoni pada malam itu. Ragna sibuk menikmati es krim di tangannya, sesekali menyendok dengan semangat, sementara Verio menatapnya sekilas sebelum menarik napas dalam-dalam.

“Ragna,” panggilnya, suaranya terdengar berat tapi lembut.

“Hm?” Gadis itu menoleh, masih dengan sedikit sisa es krim di sudut bibirnya.

Verio menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Jangan pernah mengemis perhatian atau cinta dari orang lain sampai kau lupa betapa berharganya dirimu. Kau itu berharga. Jangan habiskan waktumu berharap seseorang mencintaimu. Sebaliknya, ingatlah, kau layak dicintai oleh orang yang benar-benar pantas mencintaimu. Kita tidak hidup untuk menyenangkan orang lain.”

Ragna terdiam, memandang ayah angkatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ucapan Verio terasa seperti tamparan lembut, namun menguatkan. “Ya, Pa. Terima kasih,” ucapnya dengan senyuman kecil yang tulus.

Verio memiringkan kepalanya sedikit, matanya menatap Ragna penuh arti. “Apa kau ingin menjadi seperti gadis tadi? Yang dikelilingi pria hanya untuk mendapatkan validasi?” tanyanya, nadanya agak tajam tapi tidak menghakimi.

Ragna tersenyum simpul, lalu menggeleng. “Tidak. Aku percaya pada diriku sendiri. Papa tidak bisa selalu bersamaku setiap saat, begitu juga sebaliknya. Kita punya kehidupan masing-masing. Karena itu, aku belajar untuk mengandalkan diriku sendiri.”

Mendengar itu, ekspresi Verio berubah murung, meski hanya sesaat. Dia menunduk sedikit, seolah mencoba menyembunyikan kesedihannya.

Ragna, yang memperhatikan perubahan ekspresi itu, hanya terkekeh kecil. “Tapi, Pa…” dia mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Verio dengan senyum lebar. “Semua pria bisa menjadi seorang ayah, tapi hanya sedikit yang benar-benar pantas menyandang gelar itu. Papa adalah salah satu dari sedikit itu. Papa adalah ayah yang luar biasa.”

Verio tertegun sejenak sebelum sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala Ragna, sebuah gestur sederhana tapi penuh kasih sayang.

Di bawah langit malam yang cerah, keduanya duduk dalam keheningan yang nyaman. Bagi Ragna, kata-kata Verio adalah bekal yang akan selalu dia ingat. Bagi Verio, kebahagiaan gadis itu adalah segalanya.

Setelah beberapa saat menikmati keheningan malam, Ragna bersandar di bangku dengan santai, menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Es krimnya sudah habis, dan kini ia hanya bermain dengan sendok plastik di tangannya.

“Pa,” panggilnya tiba-tiba.

“Hm?” Verio menoleh sambil menyilangkan tangannya di dada, tubuhnya tetap tegap meskipun sedang duduk.

“Papa percaya nggak sama takdir?” tanyanya sambil menatap langit, matanya memantulkan cahaya bintang.

Verio terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan itu. “Takdir, ya?” gumamnya, suaranya dalam. “Aku percaya setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Tapi, aku juga percaya kita yang menentukan arah jalan itu.”

Ragna mengangguk pelan, seolah puas dengan jawaban itu. “Aku juga berpikir begitu. Kadang aku merasa, kalau aku nggak pernah bertemu Papa, mungkin hidupku akan berbeda. Mungkin aku nggak akan tahu apa artinya punya keluarga.”

Ucapan itu membuat Verio menoleh lebih tajam. Ekspresinya tetap tenang, tapi ada kehangatan yang perlahan muncul di matanya. “Ragna, kau tahu kenapa aku selalu menjagamu?”

Gadis itu menoleh padanya, penasaran. “Kenapa?”

“Karena sejak pertama kali aku melihatmu, aku tahu kau adalah bagian dari takdirku. Aku tahu aku harus menjagamu, mendidikmu, memastikan kau tumbuh menjadi seseorang yang tahu betapa berharganya dirimu.” Verio menatap Ragna dalam-dalam, seolah memastikan setiap kata itu tertanam di hatinya.

Ragna terdiam. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi kali ini ia tersenyum lebar. “Terima kasih, Pa. Aku beruntung sekali punya Papa seperti Papa.”

Verio hanya tersenyum kecil. “Dan aku beruntung punya putri seperti kau.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini tidak canggung. Suasana malam yang sejuk di taman itu menjadi saksi kehangatan antara ayah dan anak yang saling mendukung.

Setelah beberapa saat, Verio berdiri sambil meregangkan tubuhnya. “Ayo, kita pulang. Sudah malam. Besok Papa masih harus bekerja.”

Ragna mengangguk, lalu mengikuti Verio yang berjalan mendahului. “Eh, Pa.”

“Hm?”

“Kalau aku berhasil jadi orang sukses, Papa mau aku kasih apa?” tanyanya sambil menyeringai.

Verio menoleh sambil menaikkan satu alis. “Aku nggak butuh apa-apa. Tapi kalau kau benar-benar sukses, aku mau satu hal.”

“Apa itu?”

“Pastikan kau tetap jadi dirimu sendiri. Jangan pernah berubah hanya karena dunia menginginkannya.”

Ragna tersenyum lebar. “Siap, Pa! Itu janji!”

Keduanya berjalan pulang menyusuri trotoar, obrolan ringan terus mengisi malam yang mulai dingin. Dalam hati, Ragna bertekad untuk selalu mengingat nasihat Verio, sementara pria itu merasa puas karena tahu putrinya akan baik-baik saja, apa pun yang terjadi.

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!