Dilahirkan sebagai salah satu tokoh yang ditakdirkan mati muda dan hanya namanya yang muncul dalam prologue sebuah novel, Axillion memutuskan untuk mengubah hidupnya.
Dunia ini memiliki sihir?—oh, luar biasa.
Dunia ini luas dan indah?—bagus sekali.
Dunia ini punya Gate dan monster?—wah, berbahaya juga.
Dia adalah Pangeran Pertama Kekaisaran terbesar di dunia ini?—Ini masalahnya!! Dia tidak ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang Kaisar yang bertangung jawab akan hidup semua orang, menghadapi para rubah. licik dalam politik berbahaya serta tidak bisa ke mana-mana.
Axillion hanya ingin menjadi seorang Pangeran yang hidup santai, mewah dan bebas. Tapi, kenapa itu begitu sulit??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razux Tian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
"Ahhhhh!!"
Teriakan kesakitan Lucius membuat semua yang ada menatapnya dan Axillion terkejut. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi, tapi mereka tahu, Pangeran Pertama telah melakukan sesuatu terhadap Lucius.
Lucius sendiri tidak tahu apa-apa lagi kecuali rasa sakit luar biasa yang menyelimuti dirinya. Tidak pernah dia merasakan rasa sakit seperti ini selama ini, rasa sakit saat dia mencoba menggunakan Aura pun tidak sesakit ini. Seluruh tubuhnya terasa bagaikan tercabik-cabik dan terbakar dalam api. Namun, tidak hanya itu, kepalanya juga terasa sangat sakit seperti ditusuk ribuan jarum hingga ingin pecah.
Keringat membasahi seluruh badannya, tidak dapat bertahan, Lucius jatuh berlutut ke bawah. Antara sadar dan tidak sadar, dia mengigit bibir kuat untuk menahan suaranya.
Axillion terus menatap Lucius yang kesakitan tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang tersenyum. Tidak seperti menutup Gate Kosong di mana dia memanipulasi dan mengendalikan Mana terkoyak untuk tertutup, pada kasus Lucius, dia mencampurkan Mananya sendiri pada Mana Lucius untuk menutup bagian Mana yang terputus.
Lucius yang berusaha keras menahan rasa sakit dapat merasa bahwa rasa sakit yang ada semakin kuat dan kuat. Dia tidak bisa berpikir apapun lagi, pandangan matanya menjadi gelap. Dia ingin mati saja, daripada terus tersiksa dalam kesakitan ini—dia ingin mati!
"Bertahanlah."
Suara pelan seorang laki-laki ditangkap oleh Lucius. Suara yang jernih dan damai. Mengandah kepala dengan susah payah ke atas, matanya yang tidak fokus berusaha menatap pemilik suara.
Matahari siang jatuh menyinari rambut pirang bagaikan emas seorang pemuda. Wajah cantiknya tersenyum, sedangkan sepasang mata hijaunya menatap Lucius penuh—kekaguman.
"Anda sungguh luar biasa, Sir Lucius."
Ucapan pemuda itu membuat Lucius tertegun. Ucapan itu adalah pujian yang selalu didengarnya saat kecil, namun menghilang bersamaan dengan saat dia kehilangan segalanya. Lalu, pandangan mata itu. Bukan hinaan maupun kasihan, bukan simpati maupun olokan, pandangan mata itu adalah pandangan mata di mana dirinya memang luar biasa—diakui. Berapa lama sudah dia tidak melihat mata seperti ini terarah padanya?
Rasa sakit yang ada masih dirasakan, tapi melihat pemuda yang tersenyum dan menatapnya, Lucius merasakan bahwa rasa sakit yang ada tidaklah begitu menyakitkan.
Matahari.
Lucius tidak mengerti, tapi saat dia melihat pemuda yang menatapnya sambil tersenyum, dia merasa pemuda itu persis seperti matahari. Matahari di mana dia mengayunkan pedang kayu untuk pertama kali saat kecil. Dia merasa benar-benar kembali pada saat dia memegang pedang untuk pertama kali—saat semuanya masih ada dalam genggaman tangan.
Matahari—tidak. Pemuda itu jauh lebih bersinar daripada matahari. Sosok yang sangat menyilaukan dan tidak tersentuh. Ah, dia ingat siapa pemuda itu, beliau adalah Pangeran Pertama Kekaisaran Agung alexandria; Axillion Vie Astra Alexandria.
Axillion tersenyum semakin lebar melihat ekspresi wajah Lucius. Sungguh seorang pria yang mengagumkan. Mencampurkan Mananya ke dalam Mana pria tersebut, lalu, memperbaiki dan menarik Mana yang terputus untuk menutup—kesakitan yang dirasakannya pasti sungguh luar biasa. Tapi, dia bisa mempertahankan kesadarannya dan pandangannya—pria ini pasti akan menjadi sosok yang menggemparkan Kekaisaran kelak.
Rasa sakit yang semakin menguat dirasakan Lucius, namun, rasa sakit itu dapat ditahannya. Matahari yang lebih dari matahari semasa kecilnya ada di depan mata—tidak ada lagi yang dapat mengalahkan dirinya. Lalu, pada satu titik, rasa sakit tersebut tiba-tiba mereda. Perlahan-lahan, rasa sakit yang ada semakin berkurang dan berkurang hingga menghilang sepenuhnya.
Lingkaran sihir di bawah Axillion dan Lucius berhenti berputar dan bersinar. Melangkah mundur beberapa langkah ke belakang, Axillion menatap Lucius sekali lagi penuh kekaguman.
Sungguh luar biasa.
Mana Lucius yang kini telah sempurna tanpa terputus benar-benar sungguh luar biasa. Tidak pernah Axiilion melihat seorang individu memiliki mana seluar biasa ini, bahkan Auro, sang pemilik Magic Tower saja tidak bisa mengalahkannya. Mana Lucius itu seperti api. Berkobar liar dan kuat tidak pernah padam. Tinggi dan besar, solid tanpa celah—api abadi.
Lucius yang masih menatap Axillion tidak bergerak sedikitpun meski rasa sakit tidak dirasakannya lagi. Berlutut, dia terlihat bagaikan orang buta yang baru pertama kali melihat cahaya.
Cliff, Erick dan yang lainnya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi juga tidak bergerak. Terlebih lagi, ekspresi wajah Axillion dan Lucius benar-benar membuat mereka kebingungan.
"Sir Lucius," panggil Axillion kemudian. Dia yang tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya berada tersenyum lebar. "Bisakah anda mencoba menggunakan Aura?"
"Yang Mulia Pangeran Axillion," Cliff yang tidak mengerti kenapa Axillion sangat tertarik dengan Lucius berusaha menyela. "Lucius bukan seorang Aura User—dia tidak bisa menggunakan Mana."
Erick tidak mengatakan apapun kali ini, dia diam membisu karena apa yang dikatakan Cliff memang benar—Lucius bukan seorang Mana User.
Lucius yang mendengar perkataan Axillion kemudian berdiri. Menutup mata, dia menarik napas menenangkan diri. Dia tidak peduli sedikitpun dengan ucapan Cliff ataupun pandangan mata orang lain, karena yang penting baginya adalah ucapan pemuda bagaikan matahari yang ada di depannya.
Membuka mata, Lucius yang sudah berhasil mengendalikan ekspresi wajah segera mencabut pedangnya. Dia tahu teori dan juga caranya, dia telah mempelajarinya belasan tahun, hanya saja dia tidak pernah berhasil. Tapi, dia tidak peduli, jika matahari di depannya memintanya, dia akan melakukannya.
Memusatkan semua konsentrasi pada pedang yang digenggamnya erat, Lucius menyalurkan Mananya. Namun, tidak seperti dulu, di mana rasa sakit luar biasa akan dirasakannya, dia justru merasakan sensasi panas dan kekuatan menyelimuti seluruh tubuhnya, dan sedetik kemudian—pedangnya berbunyi keras dan bersinar terang.
Biru.
Aura biru yang terang dan kuat menyelimuti seluruh pedang Lucius. Sangat kuat dan besar, berkobar bagaikan api yang liar—pedang aura.
Cliff, Erick dan semua Blue Royal Knight yang ada tercengang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Bukankah Lucius tidak bisa menggunakan Aura? Bukankah dia adalah penderita Mana Clog? Dan yang paling penting, pedang Aura sebesar dan sekuat itu—bagaimana mungkin bisa?
Lucius sendiri juga tidak percaya akan pedang Auranya. Menatap pedang Auranya, dia berpikir, apakah ini adalah mimpi? Tidak ada lagi rasa sakit luar biasa dirasakannya saat berusaha menggunkan Aura seperti dulu—dia bisa menggunakan Aura sekarang.
Plok-plok-plok.
Suara tepuk tangan terdengar. Saat Lucius dan semuanya menoleh menatap sumber suara, mereka melihat Axillion yang bertepuk tangan sambil tertawa. "Luar biasa—anda bisa menjadi pedang terkuat di Kekaisaran kelak, Sir Lucius."
...****************...