Nur Azizah gadis biasa yang telah dijual oleh tantenya sendiri untuk menebus rumah yang akan disita. Nur tidak menyangka, nasibnya akan tragis. Saat orang yang membeli tubuhnya berusaha menodai gadis itu, dengan susah payah Nur berusaha kabur dan lari jauh.
Dalam aksi pelariannya, Nur justru dipertemukan dengan seorang pria kaya raya. Seorang pria tajir yang katanya tidak menyukai wanita.
Begitu banyak yang mengatakan bahwa Arya menyukai pria, apa benar begitu?
Rama & Irna
Masih seputar pria-pria menyimpang yang menuju jalan lurus. Kisah Rama, si pria dingin psiko dan keras. Bagaimana kisah Irna hidup di sisi pria yang mulanya menyukai pria?
Jangan lupa baca novel Sept yang lain, sudah Tamat.
Rahim Bayaran
Istri Gelap Presdir
Dea I Love You
Menikahi Majikan
Instagram Sept_September2020
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERROR
Suamiku Pria Tajir #14
Oleh Sept
Rate 18+
Lobby hotel
"Kamu bisa membelinya di apotek, nggak usah menyuruhku ke sini!" gerutu dokter Ronald seraya mengulurkan sesuatu pada Arya.
"Terima kasih," ucap Arya seadanya.
"Lain kali pelan-pelan saja," saran sang dokter.
Arya memincingkan mata, pelan-pelan apanya? Ia sungguh tidak paham arah pembicaraan kawannya tersebut.
"Sekali lagi, terima kasih atas obatnya." Karena ingin langsung meminum pil peredam nyeri itu, Arya bergegas mau ke kamar lagi.
"Jangan terlalu memaksa, ingat! Dia masih sangat muda. Lakukan pemanasan dulu supaya dia tidak tegang. Biar ototnya rileks, baru lakukan!" tutur dokter Ronald sebelum Arya benar-benar pergi.
"Astaga! Bicara apa dia?" batin Arya. Pria itu menatap aneh kemudian memilih meninggalkan lobby. Pinggang Arya rasanya sakit, ia tidak mau menguras otak dengan memikirkan perkataan dokternya itu. Sedangkan dokter Ronald, pria itu tersenyum kecut sambil menatap punggung Arya yang kian menjauh.
"Gak sabaran sekali kamu, Arya! Sekali mencoba ... ingin lagi? Kenapa nggak dari dulu menikah? Tau begini aku saranin dari dulu nikah saja!" gerutu dokter Ronald sambil berbalik meninggalkan lobby hotel tersebut.
Di dalam kamar hotel, Nur sudah terlihat rapi. Gadis itu bingung mau ngapain lagi, alhasil ia hanya duduk di depan balkon sambil menatap indahnya pemandangan pagi hari dari lantai atas hotel tempat ia menginap.
Baru kali ini ia seperti sekarang, menatap gedung-gedung tinggi. Dengan hiasan langit cerah dan burung-burung yang terbang tinggi. Indah banget, Nur seolah tidak memiliki beban hidup. Melupakan semua masalah yang telah lalu.
Klek
Nur menoleh, dilihatnya Arya masuk ke dalam kamar. Ditatapnya pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.
"Apa masih sakit, Tuan ... eh Mas?" tanya Nur.
"Hemm!" Arya melirik sebal.
Pria itu kemudian mengambil segelas air putih, kemudian meminum obat dari dokter Ronald.
"Boleh aku periksa?" tawar Nur. Ia merasa tidak enak melihat Arya yang memegangi pinggangnya itu.
"Tidak usah!" cetus Arya dingin.
Nur sempat tertegun, biasanya Mas Arya kalem, baik dan lembut. Kok sekarang agak judes? Apa gara-gara ia mendorong Arya dari ranjang, hingga pria itu memendam dendam?
Sesaat kemudian.
Terdengar suara ketukan pintu, Arya pun meminta Nur membuka pintunya.
"Itu pasti layanan kamar. Kamu buka, Nur!" seru Arya pada Nur.
"Iya."
Gadis itu melangkah meninggalkan Arya, kemudian kembali dengan satu meja full makanan. Itu adalah sarapan untuk mereka. Sarapan yang telat karena Arya bangun kesiangan.
"Mas Arya yang pesan?" Dengan ragu Nur memberanikan diri bertanya.
"Kamu pasti lapar, dah ... makanlah."
Kebetulan, Nur memang merasa sangat lapar. Dengan bersemangat, gadis itu menatap satu persatu hidangan yang tersedia. Pelan-pelan ia mencoba memakan hidangan lezat di depannya.
"Mas nggak makan?"
"Tidak lapar!" Masih dengan nada ketus.
"Ini enak, Mas pasti juga belom makan. Nur lihat dari semalam Mas Arya belum makan apapun."
"Sudahlah Nur ... makan saja sendiri," sentak Arya. Ia sebenarnya tidak ingin marah, berhubung pinggangnya sakit, bawaanya kesal terus.
"Maafin Nur, Mas."
Gadis itu kemudian merapikan makanan di meja. Belum habis, tapi ia sudah berhenti. Ia. Merasa Arya sedang marah padanya.
"Kenapa dibereskan? Kamu bahkan baru makan sedikit." Arya menatap penuh tanya.
"Nur sudah kenyang, Mas."
Gadis itu kemudian mendorong meja ke tepi. Kemudian ia ke kamar mandi. Di dalam sana, ia pun membasuh wajahnya. Nur kemudian menatap kaca dalam-dalam, mengamati pantulan wajahnya sendiri. Matanya sudah merah, gadis itu kembali membasuh wajahnya. Menghapus jejak tangis agar tidak kentara. Tidak tahu mengapa, sikap Arya membuat matanya terasa perih, pria itu biasanya baik. Tapi, sekarang tidak lagi.
Beberapa saat kemudian.
"Nur, hobby sekali kamu berlama-lama di kamar mandi?" sindir Arya saat Nur sudah keluar dengan mimik muka yang sudah biasa.
"Ah ... anu." Nur tergagap, mau bilang apa malah bingung. Tidak mungkin ia bilang lama karena menangis.
"Lanjutkan makanmu, aku tahu kamu masih lapar. Jangan buang-buang makanan," imbuh Arya.
"Nur sudah kenyang, Mas."
"Ikuti saja kataku!"
Nur langsung menelan ludah, mengapa jadi seperti ini? Setelah menikah, mengapa Arya jadi berubah? Nur rasa apa ia salah mengambil tawarkan pernikahan ini? Karena takut Arya marah, akhirnya Nur kembali makan. Lagian sayang banget, makanan enak itu harus dikembalikan.
"Itu kepitingnya masih, makan saja!" Arya menunjuk sepiring potongan kepiting yang masih banyak.
"Tidak, Mas. Nur sudah kenyang."
"Kenyang apa, kamu masih kecil. Masih dalam masa pertumbuhan," ujar Arya dengan ceplas-ceplos.
Dalam hati Nur meringis menahan senyum, beberapa waktu lalu bahkan Arya sudah membuat dan mengurus KTP untuknya. Apa ia masih dibilang anak kecil? Ah, padahal kini ia juga sudah menikah.
"Astaga, Nur! apa yang kamu pikirkan!" batin Nur memarahi dirinya sendiri.
"Mas beneran nggak makan?"
Arya menggeleng. Pria itu hanya mengambil kopi dan pergi ke balkon. Menyalahkan rokok, membiarkan tengelam dalam kepulan asap yang menyelimuti di sekitarnya.
***
Sore hari, di sebuah rumah mewah lantai tiga. Seorang pria dengan sorot mata yang tajam menatap ke arah sebuah lukisan terkenal yang mengantung di dinding rumahnya.
Cukup lama ia menatap lukisan itu dengan raut wajah yang penuh dengan emosi. Tak lama berselang, ia menyambar ponsel yang ia letakkan di atas meja tak jauh darinya.
Dengan wajah yang dingin, pria itu mulai mengetik sebuah pesan singkat, dilampiri sebuah foto.
[Malam ini datang sebelum pukul sembilan malam, kalau tidak. Foto kita akan ku sebar!] Bersambung.