Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ENAM
"Mas, kamu mau kemana udah rapi gini? Biasanya kan setiap weekend kamu nggak pergi kemana-mana? Tumben," tanya Mentari dengan raut keheranan saat melihat penampilan Shandi yang telah terbalut kemeja garis-garis hitam putih dan celana jeans biru dongker.
"Ada janji sama temen," jawab Shandi singkat sambil mengaitkan kancing di lengan bajunya.
"Janji sama temen? Temen yang mana?" cecar Mentari makin penasaran.
"Udahlah, makin hari kamu kok makin bawel banget. Mau tau aja urusan orang. Kamu juga nggak kenal kok meski aku kasih tau," ketus Shandi acuh tak acuh.
Mentari sampai membulatkan matanya, tak percaya dengan jawaban suaminya itu.
"Apa kata kamu tadi, mas? Mau tau aja urusan orang? Memangnya aku ini orang lain bagi kamu?" desis Mentari tersinggung dengan kata-kata Shandi barusan.
"Ya, kenapa? Kamu itu hanya seorang istri, tak lebih. Kecuali kamu sudah melahirkan seorang anak untukku, baru kau bukan orang lain bagiku," ucap Shandi kejam dan tajam.
"Mas, kenapa kamu jadi kayak gini? Kenapa kamu tega sama aku? Aku ini istri kamu? Aku adalah wanita yang selama 5 tahun ini setia berdiri di sisi kamu dalam keadaan suka maupun duka, tapi kenapa tiba-tiba kamu berubah? Kamu anggap aku orang lain hanya karena aku belum hamil juga? Mas, kamu nggak bisa ikut-ikutan mama menyudutkan aku. Kenapa sejak hari itu, kamu jadi berubah gini sih, mas? Udah 2 Minggu lho, tapi kok makin hari sikap kamu makin berubah? Kamu tahu kan, dalam agama kita dilarang bermusuhan hingga 3 hari lamanya, dan kamu malah marah denganku lebih dari itu. Kamu keterlaluan banget tahu nggak mas!" ujar Mentari lirih. Sekuat tenaga ia menekan sesak di dada dan air matanya yang mulai menggenang. Namun, seakan berkhianat, air mata itu tetap saja luruh membasahi pipi Mentari.
Shandi sampai terhenyak di tempatnya. Ia tak pernah melihat Mentari menangis selama ini. Ia pun tak pernah membuat Mentari menangis dan ini merupakan kali pertamanya. Hatinya seakan ikut merasakan sakit yang Mentari rasakan.
Tak kuasa melihat Mentari menangis, Shandi pun maju beberapa langkah dan memeluk erat tubuh istrinya sambil mengecup puncak kepalanya hingga berkali-kali.
"Maaf, maafkan sikap mas, Tari. Maafkan mas, sayang," ucap Shandi lirih.
Karena merasa bersalah dengan Mentari, Shandi pun membatalkan rencananya untuk pergi. Sebaliknya, ia justru mengajak Mentari jalan-jalan untuk menebus rasa bersalahnya.
Kini Mentari dan Shandi sedang berada di gedung bioskop. Mereka menghabiskan hari Minggu itu dengan jalan-jalan kemudian menonton film.
"Sayang, mas ke toilet sebentar ya! Udah kebelet," bisik Shandi di telinga Mentari yang diangguki Mentari.
Setibanya di toilet, Shandi bukannya menuntaskan hajatnya, sebaliknya, ia justru mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi salah satu nomor yang sejak tadi menghubunginya. Namun, karena ponselnya dalam mode silent, Mentari tidak tahu kalau sejak tadi ada yang mencoba menghubungi suaminya.
"Halo, Ma," ucap Shandi saat panggilan telah terhubung.
"Shandi, kamu apa-apaan sih? Kenapa tiba-tiba membatalkan janji dengan Erna? Dia udah nungguin dari tadi, tapi kamu malah membatalkan secara sepihak seperti itu. Kasihan Erna, dia udah bela-belain datang dan nunggu kamu lebih awal biar kamu nggak lama nunggu, tapi kamu malah nggak datang," hardik Rohani saat sudah terdengar suara Shandi.
Shandi menghela nafasnya sambil menggaruk pelipisnya, merasa serba salah, baik dengan ibu maupun istrinya. Ia tahu, ini salah. Tapi ia pun tak bisa mengabaikan permintaan sang ibu agar bisa mengenal Erna lebih dekat. Shandi awalnya menolak, tapi saat melihat mimik wajah murung dan sedih ibunya, ia pun terpaksa menyanggupi permintaan itu.
"Bu, aku sedang pergi dengan Tari. Udah cukup aku mendiamkan dia selama 2 Minggu ini, Shandi nggak tega lihatnya bersedih kayak gitu, ma," lirih Shandi.
Rohani mendengus saat mendengar penuturan putra sulungnya itu.
"Halah, palingan itu alasan istri benalu kamu itu yang nggak suka melihat suaminya bahagia," kesal Rohani. "Lagipula, apa sih kurangnya Erna, Shan? Dia itu bukan hanya cantik, tapi juga sukses, berpendidikan, mapan juga, orang tuanya juga mama udah kenal baik. Jadi nggak ada alasan untuk menolaknya."
"Ma, tapi Shandi kan udah punya istri, emang dia mau sama Shandi yang udah punya istri ini? Mana ada ma perempuan yang punya segalanya seperti Erna itu mau sama laki-laki yang jelas masih memiliki seorang istri seperti Shandi."
"Kata siapa nggak mau? Dia bahkan rela jadi istri rahasiamu karena dia udah jatuh hati sama kamu. Dia juga bersedia mengandung anak kamu, Shan. Ayolah, nak, bukalah hati kamu untuk Erna! Mama yakin, dia bisa beri kamu keturunan. Mama juga udah pingin nimang cucu, Shan. Mama nggak tahu usia mama sebatas apa. Mama ingin, sebelum waktu mama di dunia ini berakhir, mama udah merasakan menimang cucu, Shan. Mama mohon," lirih Rohani membuat Shandi menghela nafasnya.
"Shandi mohon, mama jangan ngomong kayak gitu. Shandi yakin, mama pasti akan segera menimang cucu. Baiklah, Shandi akan mencoba memberikan kesempatan dengan Erna. Tapi untuk saat ini Shandi nggak bisa. Shandi nggak mungkin tiba-tiba mengajak pulang Tari, terus pergi lagi buat nemuin Erna."
"Baguslah. Ya udah, kamu nikmatin hari kamu sama Tari. Biar mana yang jelasin ke Erna. Mama yakin, dia akan mengerti. Dia gadis yang baik, dia pasti nggak akan marah karena kamu ingin menyenangkan istri kamu dahulu," ucap Rohani sambil menyeringai.
Setelah selesai berbicara, Shandi pun segera kembali ke dalam bioskop.
"Mas, kok lama banget sih? Masa' buang air kecil aja sampai hampir setengah jam!" Protes Mentari dengan mata memicing tajam.
"Maaf, mas tadi mendadak sakit perut. Tau sendiri kan kamu gimana kalau mas buang air besar, pasti agak lama. Udah, jangan cemberut lagi, entar jadi jelek. Mending kita lanjut nonton lagi," ucap Shandi sambil mengecup punggung tangan Mentari berharap Mentari tidak curiga dengan apa yang akan ia lakukan di belakangnya.
'Maafkan aku Tari, aku terpaksa menuruti permintaan mama. Aku ingin membahagiakan mama, Tari. Namun kamu tenang saja, aku akan tetap mencintai kamu kok," batin Shandi sambil melirik Mentari yang tampak fokus ke layar besar di hadapannya.
"Mas kok lihatin aku kayak gitu sih?" tanya Mentari saat sadar Shandi sedang memperhatikannya.
"Kamu cantik, sayang. Mas jadi pingin cium kamu kayak adegan di depan situ," ujarnya membuat Mentari seketika mengalihkan pandangannya ke layar raksasa di depannya. Pipi Mentari seketika bersemu merah saat melihat adegan french kiss di depan sana.
Kemudian, tanpa aba-aba, Shandi menarik tengkuk Mentari kemudian menyatukan bibir mereka sama seperti yang ada di dalam layar super besar itu.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...