NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: tamat
Genre:Tamat / Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Chicklit
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

teman sekolah adek

Happy reading guys :)

•••

Livy berjalan mendekati Vanessa kala melihat sang calon adik ipar hanya diam di tempat seraya terus-menerus melihat ke seberang jalan, tepatnya ke arah seorang gadis yang sedang terlibat perkelahian dengan beberapa orang preman.

Livy menepuk pelan kedua pundak Vanessa dari arah belakang. “Dek, kenapa?”

“Kak, cewek itu.” Vanessa menunjuk ke arah gadis yang sedang terlibat dalam perkelahian, tanpa menoleh ke arah Livy. “Dia temen sekolah Adek.”

Kedua mata Livy perlahan-lahan mulai melebar saat mendengar perkataan Vanessa. “Yang bener, Dek?”

Vanessa menganggukkan kepala. “Iya, Kak. Nama dia Sheila.”

Setelah Vanessa menjawab pertanyaan Livy, terlihat Galen sedang berjalan menghampiri kedua perempuan yang sangat dirinya sayangi.

“Kalian berdua kenapa diam di sini? Ayo, masuk, katanya tadi mau makan,” ajak Galen.

Mendengar suara Galen, membuat Vanessa dengan segera menoleh ke arah sang kakak. “Kak, tolongin temen Adek. Dia lagi dikeroyok itu.”

Kening Galen mengerut, bingung dengan permintaan sang adik. Namun, itu tidak berselang lama, kedua matanya perlahan-lahan mulai melebar sempurna kala melihat Sheila yang masih terlibat dalam perkelahian dengan beberapa preman.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Galen dengan cepat berlari menyebrangi jalan, lalu memukul tengkuk salah satu preman yang sedang mengeroyok Sheila.

Erangan kesakitan terdengar dari mulut preman yang telah Galen pukul. Preman itu menoleh ke arah belakang untuk memberikan pelajaran kepada orang yang telah memukul tengkuknya.

Akan tetapi, sebelum preman itu melakukan apa-apa, Galen dengan cepat melayangkan pukulan yang sangat kencang ke rahangnya, membuat preman itu seketika terjatuh ke trotoar.

Kedua mata Sheila sontak melebar sempurna, saat melihat Galen membantu dirinya dan berhasil menumbangkan salah satu preman yang sedari tadi mencari masalah dengannya.

“Awas!” teriak Galen, dengan cepat berdiri di depan Sheila, lalu menangkis pukulan yang dilayangkan oleh preman lainnya ke gadis itu.

“Brengsek!” Rahang preman itu mengeras, menarik tangannya yang telah ditangkis oleh Galen. “Gak usah ikut campur lu, Monyet!”

Preman itu melayangkan tendangan menggunakan kaki kanan, berusaha mengenai perut bagian kiri milik Galen, tetapi usahanya gagal, karena Galen dengan sangat mudah menghindar, dan melakukan serangan balik yang mengenai pipi kanannya.

Preman itu mundur beberapa langkah, mengerang kesakitan seraya memegangi pipinya yang terkena pukulan dari Galen. “Brengsek! Udah gue bilang jangan campur!”

“Gue harus ikut campur, karena dia adalah temen adek gue.” Galen berlari, menerjang tubuh preman itu sampai terjatuh ke trotoar, kemudian menginjak dadanya cukup keras. “Jangan pernah ganggu dia lagi.”

Erangan kesakitan terdengar sangat nyaring, membuat semua orang yang mendengarnya dapat membayangkan bagaimana rasa sakit dari injakan kaki milik Galen.

Galen menurunkan kaki kanan dari dada preman itu, berbalik badan, melihat ke arah Sheila yang sedang berhadapan dengan preman terakhir.

“Dia beneran kuat,” gumam Galen, berjalan mendekati tempat Sheila berada.

Sheila menggerakkan kepala ke kanan, menghindari pukulan yang diberikan oleh preman yang sedang dirinya hadapi, lalu memberikan tendangan sangat keras ke arah alat vital milik preman itu.

Erangan kesakitan terdengar, membuat Sheila tersenyum tipis, dan kembali memberikan pukulan hingga preman itu terjatuh ke trotoar sembari memegangi alat vitalnya.

“Kamu gak papa?” tanya Galen, dari arah belakang.

Mendengar suara Galen, membuat Sheila sontak berbalik badan, menatap wajah laki-laki itu dan menganggukkan kepala. “Aku gak papa. Makasih, udah bantuin aku.”

“Lain kali hati-hati, kamu bisa habis tadi kalo terus berantem sendirian,” ujar Galen, seraya melihat ke arah beberapa orang preman yang telah tergeletak tak berdaya di atas trotoar.

Sheila kembali menganggukkan kepala. “Maaf.”

Setelah Sheila mengatakan itu, terlihat Vanessa dan Livy berlari menyebrangi jalan dengan ditemani oleh dua orang polisi di samping mereka.

“Mereka preman yang udah ganggu teman adek saya, Pak,” kata Livy, menunjuk ke arah beberapa orang preman setelah berada di dekat tempat Galen dan Sheila.

Dua orang polisi itu mengangguk, berjalan mendekati beberapa orang preman yang sudah tergeletak di trotoar, membantu mereka berdiri, dan membawa mereka pergi ke kantor polisi.

“Shel, kamu gak kenapa-kenapa?” tanya Vanessa, memegang bahu Sheila dan melihat tubuh gadis itu dari atas hingga bawah.

Sheila menoleh ke arah Vanessa, diam beberapa saat, lalu menganggukkan kepala. “Gue gak papa.”

Vanessa menatap wajah Sheila. “Shel, gak papa gimana? Tangan kamu itu lebam, loh.”

Mendengar perkataan Vanessa, Sheila langsung menutupi lebam di tangan kirinya menggunakan telapak tangan kanan. “Cuma lebam biasa aja, besok juga udah sembuh.”

“Shel serius, mending diobati dulu biar nanti gak sakit,” kata Vanessa, memperbaiki beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya karena tertiup oleh angin malam.

Sheila menggelengkan kepala, tersenyum tipis, melihat Vanessa, Galen, dan Livy secara bergantian. “Gue gak papa, kok. Oh, iya, makasih, ya, karena udah nolongin gue. Gue pamit dulu, udah malam, takut dicariin sama bunda.”

“Rumah kamu di mana? Kalo jauh bareng aja sama kita,” tanya Livy.

“Rumahku deket, kok. Ya, udah, aku pamit pulang dulu, ya,” pamit Sheila, berbalik badan, dan mulai berjalan menjauhi tempat Galen, Livy, dan Vanessa berada.

Vanessa menatap lurus ke depan, melihat punggung Sheila yang perlahan-lahan mulai menghilang dari indera penglihatannya.

“Jadi, makan gak?” tanya Galen, melipat kedua tangan di dada seraya melihat ke arah Livy dan Vanessa.

Livy menoleh ke arah Galen, mengangguk pelan, lalu merangkul pundak Vanessa. “Dek, ayo, katanya tadi udah laper.”

“Kak, kira-kira Sheila sampai rumah dengan selamat gak, ya?” tanya Vanessa, tanpa mengalihkan pandangannya dari tempat Sheila pergi.

“Kakak gak tau, Dek, tapi semoga dia selamat sampai rumah, kita doain aja.” Livy mencium puncak kepala Vanessa. “Yuk, kita masuk ke dalam, Kakak juga sekarang udah ngerasa laper.”

Vanessa menoleh ke arah Livy, tersenyum tipis, dan mengangguk sebagai jawaban.

•••

Suara erangan kesakitan terdengar di depan sebuah minimarket, tepatnya di salah satu tempat duduk yang ada di sana.

Mendengar suara erangan itu, membuat beberapa orang yang hendak masuk ke dalam minimarket sontak menoleh ke arah sang pemilik suara.

“Preman-preman sialan,” umpat Sheila, seraya menempelkan botol berisikan air mineral dingin di beberapa bagian tubuhnya yang terlihat lebam.

Sheila menghentikan aktivitasnya, menaruh botol di atas meja, mengambil handphone dari dalam tas kala mendengar suara dering dari benda pipih miliknya.

Sheila bersandar pada sandaran kursi, membuka handphone, membaca sebuah chat yang dikirimkan oleh seseorang kepadanya.

Setelah membaca, Sheila mengerutkan kening bingung, dan dengan segera menelepon orang yang telah mengirimkan chat itu.

“Halo, ini kerjaan gue nambah lagi?” tanya Sheila, saat panggilan telepon baru saja terhubung.

“Iya. Itu permintaan langsung dari bos,” jawab seorang pria dari seberang telepon.

“Eh, kocak, lu gak mikir apa tugas gue udah terlalu banyak,” kata Sheila, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang.

“Tugas lu masih sedikit dari pada anggota kita yang lain,” ujar pria di seberang telepon.

“Fuck!” Sheila mematikan sambungan telepon secara sepihak, melempar handphone ke atas meja, lalu melihat ke arah langit. “Dua cewek itu aja belum kelar, dan sekarang nambah lagi.”

To be continued :)

1
Sean71
ceritanya bagus kok
sering sering bikin novel kek gini ya thor😁😁
Sean71: ok thor di tunggu hehe
Musoka: Makasih, kak. tunggu karya author selanjutnya, ya
total 2 replies
Sean71
dah tamat... gini aja nih kaga di beri tahu kondisi tubuh Vanesa gimana thor😁😁😁
Musoka: Kondisi tubuh Vanessa author serahkan ke para pembaca, ya. kalian bebas beranggapan Vanessa masih hidup atau udah meninggal
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!