Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Jodoh Cerminan Diri
Sungguh malang nasib Nadin, entah dosa apa yang dia lakukan di masa lalu hingga dipertemukan dengan manusia sejenis Zain. Sepanjang perjalanan dia tak sedikitpun bicara, Nadin hanya menatap lurus ke depan, berharap segera tiba ke kamar kostnya, lelah.
Tak berbeda dengan Nadin, Zain juga punya pikiran yang sama. Dia juga lelah, ingin istirahat bahkan jika bisa tidur sebentar sore ini. Bagaimana tidak lelah? Kunjungan ke salah-satu universitas swasta di luar kota itu selesai tepat siang hari, setelahnya Zain segera pulang.
Sebelum ini memang Zain tidak ada rencana untuk pulang cepat. Tujuannya ke sana juga bukan hanya sekadar melakukan kunjungan tersebut, tapi juga memantau salah-satu anak perusahaan papanya yang berada di sana.
Namun, tadi malam Zain mempertimbangkan banyak hal. Wajah lelah Nadin yang tengah tertidur pulas beserta dengkuran halusnya membuat Zain tak tega meninggalkannya terlalu lama.
Jika ditanya apa alasannya pulang cepat? Tentu saja Nadin. Rasa bersalah Zain semakin menguar tadi malam, beberapa kali pria itu mengucapkan kata maaf seraya memandangnya, dan Nadin tidak tahu akan hal itu.
Bahkan, ketika dia pulang Nadin tampak biasa saja, tidak bertanya kenapa lebih cepat atau semacamnya. Cukup lama Zain menunggu pertanyaan dari Nadin, sial, dia jadi berharap akan hal semacam itu.
"Dia kenapa? Bukankah harusnya senang aku pulang cepat?" Sepanjang perjalanan keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, seketika tiba Zain bermonolog lantaran sang istri keluar begitu saja tanpa menunggunya.
Sama sekali dia tidak sadar apa penyebab istrinya sampai begitu. Zain masih belum terlalu memikirkan, dia mengekor dari belakang dan mereka tidak berjalan berdampingan, melainkan terpisah jarak cukup jauh.
Tak ingin kepalanya semakin sakit, Zain sejenak mengabaikan hal itu. Ya, sedikit banyak dia pahami bahwa seorang wanita memang tidak bisa diterka, marahnya juga diam dan ketika ditanya mereka akan menjawab tidak apa-apa.
Hal tersebut berlangsung cukup lama, begitu masuk Zain juga segera mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, dia benar-benar lelah dan tidak ada kekuatan untuk membujuk Nadin atau lainnya.
Jangan tanya bagaimana perasaan Nadin saat ini, jelas saja kesal, dongkol dan ada niatan untuk menutup kepalanya dengan bantal hingga tak bernapas lagi, minimal pingsan.
Tanpa dosa, Zain terlihat begitu santai terbaring dengan posisi tidur yang memenuhi tempat. Tak lupa, sepatunya sendiri belum dilepas hingga hati Nadin semakin pedih rasanya.
Selama ini hidupnya terlalu tenang, hidup sendiri tanpa gangguan. Kini, dengan tiba-tiba Tuhan menakdirkan seorang pria dewasa yang hidup semaunya hadir di tempat itu, ikut tinggal di sana.
"Bisa-bisanya dia sesantai itu, mana masih pakai sepatu." Nadin kesal, ingin meluapkan amarah yang sebenarnya amat sangat menggebu.
Namun, untuk bersikap kasar ternyata dia tidak mampu. Bahkan, dalam keadaan ubun-ubunnya mendidih sekalipun, dia masih tergerak untuk melepas sepatu Zain. Bukan hanya karena takut tempat tidurnya kotor, tapi yang jelas dia tak tega saja.
Terlebih lagi, melihat dia yang tampak begitu lelah dengan lengan yang kini digunakan sebagai penutup mata. Bisa dipastikan, sebenarnya pria itu mengantuk sejak lama, karena ketika masuk tujuan satu-satunya hanyalah tempat tidur.
Tidur sore hari sebenarnya tidak diperkenankan, tapi lagi-lagi Nadin kasihan. Berbeda dengan Zain yang mungkin tak berperikemanusiaan, Nadin sebaliknya. Tak peduli walau pria itu mungkin terlalu jahat dan menyebalkan, tapi hati nurani Nadin memang selembut itu.
Sementara tak apa, dia biarkan Zain tidur sesukanya. Banyak hal yang bisa Nadin lakukan selama pria itu tidur. Meski tidak ada dapur, bukan berarti Nadin tidak tergerak untuk melakukan kewajibannya sebagai istri. Ya, istri yang mungkin tidak Zain inginkan sepenuhnya, tapi bagi Nadin bagaimanapun sebuah pernikahan tetap pernikahan, janji yang bukan hanya diucap di depan seorang hamba, tapi juga penciptanya.
.
.
"Mas ... aku siram boleh ya?"
Lelahnya Zain tidak bercanda, matanya begitu berat, Zain merasa tenaganya seolah tak tersisa. Tak heran dia sampai, padahal tidurnya sore hari. Bukan mimpi buruk, tapi indah sekali.
Zain merasa di depan rumahnya ada begitu banyak bunga, dari jarak yang tak jauh di depan sana berdiri Nadin dengan alat penyiram tanaman di tangan kanannya. Awalnya terlihat biasa, tapi lama-lama Nadin justru mengarahkan benda itu padanya hingga Zain basah kuyup.
Dadanya kembang kembis, Zain mengusap wajahnya dan begitu membuka mata tidak ada tanaman di sana ada hanya Nadin yang tengah memegang gayung warna merah muda di tangannya.
"Kamu?" Zain berdecak, tidak ada niat untuk membalas sebenarnya, tapi detik itu juga Nadin mundur selangkah seraya menggigit bibir bawahnya.
"Maaf, Mas susah dibangunin, sementara ini hampir magrib."
Nadin tidak berbohong, bukan pula dia sengaja membalas dendam, tapi benar adanya Zain persis mati suri hingga dia terpaksa membangunkan Zain dengan cara itu. Tidak sampai disiram segayung, tapi dia percikkan saja dan memang tidak sekali, melainkan berkali-kali.
Zain yang mendapat perlakukan semacam itu tak bisa berkata-kata tentu saja. Seumur hidup, sama sekali dia tidak pernah dibangunkan dengan cara itu, tepatnya tidak pernah diganggu tidurnya hingga nanti bangun sendiri
"Kamu sudah mandi?" Berkali-kali dia berpikir, Zain berusaha menjaga ucapan hingga pada akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan semacam itu.
"Sudah," jawabnya lembut, walau tahu Zain sebenarnya hanya sekadar basa-basi.
Masih dalam mode malas-malasan, Zain menggeliat padahal tatapan Nadin sudah mendesaknya untuk bergerak. Sialnya, Zain salah prasangka dan mengira jika Nadin tengah mengaguminya. "Sampai kapan kamu melihatku seperti itu?" tanya Zain tersenyum tipis.
"Sampai mas bangun dan berpikir untuk mandi."
"Nanti saja mandinya."
"Kalau bisa sekarang, kenapa harus nanti?" tanya Nadin sebagai bentuk paksaan karena magrib kian dekat.
"Kenapa tidak? Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?" Zain tak mau kalah, dan dengan santainya memutarbalikkan pertanyaan.
"Harus memang, nanti telat ... lima belas menit lagi azan, mas nggak shalat jama'ah?"
Mata Zain membulat seketika, dia mendongak dan menatap datar sang istri yang kini tengah serius bicara padanya. "Di sini saja tidak bisa?"
Nadin menggeleng, pertanda itu sebuah penolakan dan Zain tidak diizinkan. "Masjid hanya berjarak sepuluh meter dari sini."
"Aku tidak punya sarung." Alasan sekali, padahal ya karena tidak terbiasa.
"Aku bawa sarung peninggalan Abi ... lengkap dengan kopiah, baju koko sama sajadahnya."
Zain bungkam, tak ada lagi alasan yang bisa dia berikan. Sampai-sampai, pria itu meneguk salivanya. "Dasar pemaksa."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"