Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
"Mah, maaf aku nggak bisa berlama-lama karena ada urusan mendadak dan mungkin untuk beberapa hari aku nggak pulang. Aku baru ingat ada janji dengan klien yang di luar kota dan aku harus segera berangkat. Next time kita sambung lagi ceritanya ya Mah."
Ben menyela perkataan Diajeng, ia segera beranjak bangkit dan mengemasi beberapa pakaiannya. Dengan langkah seribu, ia segera masuk ke dalam mobil dan melajukannya.
"Astaghfirullah, kenapa dengan anak itu? Kulihat akhir-akhir ini dia banyak sekali berubah. Aku merasa curiga dengan sikapnya itu. Ben, kamu tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari Mamah. Jika ketahuan kamu sudah berbohong, Mamah akan ambil tindakan tegas," gumam Diajeng sembari menatap kepergian laju mobil Ben.
Tak berapa lama Ben sudah sampai di rumah mewah yang di tempati oleh Iva. Iva yang sedang melamun di teras halaman sempat tersentak kaget melihat kedatangan Ben yang tiba-tiba langsung menyandarkan kepalanya di bahu Iva. "Eh minggir! Kok kamu..
"Tolong dong, sebentar saja karena aku sedang kurang fit. Kepalaku rasanya sakit sekali."
Sejenak Ben memejamkan matanya sembari bertahan di bahu Iva.
Lagi-lagi Iva merasakan ada getaran aneh. Dimana ia merasa tidak asing dengan Ben. Tangannya reflek mengecek suhu badan Ben. "Kamu demam, Mas. Aku telepon dokter dulu ya supaya kamu di periksa lebih intensif dan diberi obat biar tidak berkepanjangan."
Iva meraih gawai yang tergeletak di meja dan segera menelepon dokter keluarga. Tak berapa lama muncul seorang Dokter wanita dan memeriksa Ben.
"Nggak ada yang perlu di cemaskan Mbak Iva. Suami anda hanya demam biasa. Kemungkinan dia terlalu lelah dalam beraktivitas sehingga drop. Saya berikan resep untuk penurun demam dan vitamin. Nanti tolong di tebus di apotik terdekat."
Sejenak Dokter tersebut menulis resep obat yang harus di konsumsi oleh Ben. Iva memerintahkan Mamang untuk pergi ke apotik membeli obat tersebut.
Hanya beberapa menit sudah sampai di rumah. "Non Iva, ini obatnya. Semoga lekas sembuh ya Den Ben," ucapnya seraya memberikan kantung plastik berisikan obat kepada Iva.
"Mas, kamu kok bawa koper?"
Bola mata Iva menelisik ke arah koper yang tergeletak.
"Aku ingin selama sakit di rawat oleh istriku tercinta makanya aku bawa pakaian dari rumah. Boleh kan, untuk beberapa hari aku tinggal di sini?" Ben sengaja memasang wajah mengiba membuat Iva tak tega untuk menolak keinginan Ben.
"Hem, Ok. Tapi ingat, nggak usah berulah loh ya? Kamu tidur di kamar tamu saja, tinggal pilih mau kamar yang mana, tuh di sebelah sana."
Tunjuk Iva dengan memonyongkan bibirnya.
Tapi Ben menolak,ia justru meminta untuk tidur di kamar utama yakni kamar Iva. "Kita suami istri masa iya tidur terpisah? Lagi pula tujuanku kemari ingin sekali di rawat oleh istriku tercinta. Jika kita tidur terpisah, kalau terjadi apa-apa denganku bagaimana? Masa iya kamu tega sih?"
Akhirnya Iva mengijinkan Ben untuk tidur sekamar dengannya dengan catatan Ben dilarang menyentuh dirinya. "Hem baiklah tapi ingat dengan batasan kita. Jika kamu melanggarnya, aku tidak akan segan untuk minta pisah darimu dan kabur sejauh mungkin," ancamnya.
Malam itu Ben berada di ranjang Iva, sedangkan Iva justru menjauh. Ia lebih memilih tidur di sofa yang ada di dalam kamar tersebut membuat Ben agak sedih. "Iva, kenapa kamu tidur di situ kan susah. Kemarilah karena ranjang ini begitu besar pasti muat untuk kita berdua. Tolong jangan bersikap dingin padaku. Kamu nggak perlu cemas karena aku tidak akan menyen tuhmu. Aku hanya ingin mengajakmu bercengkrama sejenak."
Dengan rasa malas, Iva melangkah menghampiri Ben. Tapi naas pada saat jalan, ia tersandung oleh kakinya sendiri dan berhasil menubruk tubuh Ben dan bahkan tepat berada di atas tu buh pemuda tampan itu. Sejenak mata mereka saling beradu bahkan keduanya tidak berkedip sama sekali.
"Kenapa, kamu sudah mulai ingat denganku kan? Ingat bagaimana janji kita dulu? Iva, aku...
"Eh ngomong apa sih kamu? Menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk merayuku. Dasar lelaki, huh!"
Iva berusaha bangkit tapi justru Ben membalikan tubuhnya sehingga kini tu buh Iva yang ada di ba wahnya. Jantung Iva berdegup begitu kencangnya, perlahan cairan bening mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Dengan mimik gemetar dan tatap ketakutan dia memberanikan diri berkata. "Ka-kamu mau apa?"
"CUP"
Satu kecupan mendarat tepat di bibir mungil Iva yang berhasil membuat mata Iva sejenak membola karena ulah Ben.
Berbeda dengan Ben, dia justru tersenyum begitu manisnya sembari berucap. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan me nyen tuhmu sebelum kamu mengizinkannya. Tidurlah di sini di sampingku, aku tidak akan menggangumu kok. Oh ya untuk beberapa hari, aku tidak berangkat ke kantor sesuai saran Dokter. Aku akan tinggal disini bersamamu. Kamu nggak usah cemas, aku akan mengurus diriku sendiri tidak akan merepotkanmu, sayang."
Ben menjatuhkan tubuhnya di samping Iva, dan ia pun terlelap dalam tidur indahnya. Sementara Iva masih saja terpaku mengingat perbuatan Ben yang secara tiba-tiba barusan. "Aneh, kenapa justru aku kecewa dia tidak melanjutkan aksinya itu? Kenapa aku sepengecut ini ya? Padahal aku sangat menginginkannya. Aku juga heran kenapa bisa berubah seperti ini padanya? Dan hatiku begitu tergerak jika dia mendekatiku. Ingin sekali membalas setiap perlakuan manisnya tapi...ah dasar munafik aku ini," batin Iva memutuskan untuk memejamkan matanya.
Keduanya terlelap tidur begitu nyenyak bahkan pada saat pagi menjelang, Iva tidak sadar sudah tidur di dada bidang Ben. Begitu ia membuka matanya sempat tersentak kaget. "Astaga, apa yang aku lakukan? Ah ini pasti ulahnya, mana mungkin aku yang memulainya terlebih dahulu," batinnya dan ia mendongak ingin mengomel tapi mengurungkan niatnya.
Iva justru terpana dengan paras tampan Ben yang mirip sekali dengan aktor Korea. Bahkan tanpa sadar salah satu tangannya mengusap pipi halus Ben dan perlahan merembet mengusap bibir tipis pemuda tampan itu sembari ia tersenyum.
Dengan gerak cepat, Ben menangkap tangan Iva dan mengecupnya dengan mata masih tertutup. "Selamat pagi, sayang. Kamu mulai sadar ya, jika suamimu ini begitu tampan melebihi mantanmu yang ja hat itu?"
Ben membuka matanya dan ia melihat pipi Iva merona merah. "Kenapa malu? Nggak usah seperti itu, toh aku bukan orang lain."
Iva mendorong tubuh Ben yang masih memeluk dirinya. "Lagi-lagi kamu mengambil keuntungan, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sok tampan pula, huh!"
Ben sama sekali tidak marah mendengar perkataan Iva. Ia justru terkekeh. "Hem, terserah apa maumu silahkan berkata apa saja yang penting kamu bahagia. Bahkan aku rela jika tiap saat kamu mengusap wajah dan bibirku ini."
Kring.... kring....kring...
Terdengar bunyi nyaring dari sebuah gawai. Lantas gawai siapakah yang berbunyi pagi-pagi sekali? Milik Ben atau Iva? Dan kenapa juga ada orang menelepon di pagi buta?
gak mau orang jahat yang datang