Sekar ayu terpaksa harus jadi pengantin menggantikan kakaknya Rara Sita yang tak bertanggung jawab.Memilih kabur karena takut hidup miskin karena menikahi lelaki bernama Bara Hadi yang hanya buruh pabrik garmen biasa.
Namun semua kenyataan merubah segalanya setelah pernikahan terjadi?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shania Nurhasanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB DUA PULUH EMPAT
"Setelah ibu tau mas Bara kaya, ibu mau ka Rara sama mas Bara bersatu lagi. Ibu gila?" ucapan Sekar membuat mata ibu mendelik seketika.
"Kamu bilang ibu gila, kamu yang gila sudah ambil calon kakakmu!"
"Sekarang malah ibu yang nyalahin aku, yang maksa aku supaya nikah itu, siapa? Ibu kan."
Tiba tiba sekar merasakan pipinya memanas seketika setelah menerima tamparan ibunya.
"Emang dasar kamu gak tau diuntung, anak pembawa sial, bisanya cuman durhaka sama orang tua! sana kamu pergi! jangan pernah kamu langkahi kaki kamu rumah ini lagi!" ujar ibu, menghardik Sekar dengan begitu kejamnya.
Tak lama bapak datang bersama sopir yang mendorong kursi roda masuk kedalam kamar.
"Astaghfirullah, Bu. Istighfar, Sekar itu anak kita," ucap bapak mengingatkan.
"Dia udah bukan anak kita, pak. Lebih baik dia pergi dari sini," hardik ibu sambil berlalu pergi.
Ucapan ibu sangat menusuk ulu hati Sekar, dengan tangan gemetaran ia memasukan kembali baju ke dalam koper yang akan dibawa ke Jakarta nanti. Tak lupa juga barang-barang penting dia simpan rapih didalam karena tak tau kapan kembali lagi atau takkan pernah kembali lagi kesini.
Setelah tugasnya selesai Sekar hampiri bapak yang sudah menangis di kursi roda lalu segera ia berjongkok untuk mencium tangan bapak.
"Maafkan Sekar ya, pak. Karena sudah jadi anak durhaka gak nurut apa kata orang tua. Tapi Sekar gak mungkin pisah kalau alasannya kembalikan mas Bara sama kakak. Mas Bara bukan barang yang bisa ditukar seenaknya gitu aja, maaf jika Sekar harus memilih lebih jauh pergi dari sini. Sekar sayang bapak" ungkap Sekar sambil menahan tangis.
"Bapak ngerti nak, maafkan ibu ya yang selalu nyakitin hati kamu. Kamu harus percaya doa bapak mengiringi setiap langkah kakimu dan semoga kalian berdua selalu bersama dalam suka dan duka."
"Amin, pak. Kalau gitu Sekar pergi dulu, ya. Tolong salamin sama ibu." Pamit Sekar dengan berat hati.
Sekar langsung berangkat menuju mobilnya, bapak yang melihat itu sungguh merasakan sesak ditinggal kembali. Namun ia tak boleh menunjukkan kepada anaknya takut memperberat langkahnya.
"Non, kalau mau nangis tinggal nangis gak papa, kok," tegur mang Ujang, saat melihat mata Sekar berkaca kaca di spion.
"Gak, pak. Saya cuman kelilipan aja," sangkal Sekar namun tak mampu menutupi kesedihannya.
"Saya salut loh, neng sabar banget sama ibunya. Kalau saya udah ditimpuk kali," canda mang Ujang, terkekeh kecil.
"Ya masa, saya lawan orang tua kan gak boleh, pak. Allah gak suka." ucapnya tersenyum walau dalam hati menangis.
Lalu Sekar kembali memandang keluar jendela kaca mobil, sambil menghela nafas berharap bisa melupakan kesedihannya.
----+----+----
Opa merasa sakit mata melihat kelakuan cucunya, yang selalu bolak balik melihat gawai yang berada ditangannya. Seperti tidak ada kegiatan lain saja yang bermanfaat, memperkenalkan cucu mantu misalnya. Hah, rasanya tak mungkin karena setiap ditanya, selalu bisa mengelak saat membahasnya.
"Gak sekalian dibanting hp nya" celetuk opa, yang sedang membaca berita koran harian.
"Kenapa dibanting? masih bagus juga kok," jawab Bara cuek.
"Tapi dibolak balik kayak lagi masak,"
"Emang bisa masak?"
"Kamu raguin, opa?"
"Mukanya gak bisa dipercaya, soalnya," Bara mengedikan bahunya.
"Mau gelut kamu sama opa, heh," kata opa dengan mata melotot menantang.
"Ampun suhu. Aku hanya hamba sahaya yang butuh warisan opa,"
"Kerja sana, buat modal kawin udah tua, juga."
"Kalau aku tua, opa apa? aki aki bangkotan?" ledek Bara, yang membuat opa semakin kesal.
Disaat asik berdebat tiba-tiba ponsel Bara berdering di atas meja. Saat ia lihat siapa yang menelepon membuat senyum sumringah terbit seketika.
"Halo, Sekar," ucap Bara, setelah keluar meninggalkan ruang rawat opa.
"Mas Bara?" jawab Sekar sengau
"Kamu nangis?" tanya Bara mulai khawatir.
"A-aku udah sampai, mas. Diparkiran rumah sakit, sekarang aku mau kedalam cuman gak tau kenapa..." ungkap Sekar, tak mampu melanjutkan ucapannya.
Entah kenapa? Sekar selalu tak bisa menyembunyikan apapun dari Bara, padahal saat dirumah juga diperjalanan bisa menahan tangis, tapi mendengar suara Bara. Sekar mendadak jadi manusia paling lemah yang butuh sandaran.
Bara dengan langkah terburu menuju ke arah parkiran mobil berada, " kamu tenang, ok. Saya jalan kesana."
"Iya, mas."
Tampa menutup telpon yang terhubung ia terus berlari, Bara juga mendengar suara pak supir yang meminta ijin keluar duluan, meninggalkan Sekar yang masih sesegukan menangis dimobil.
Ketika sampai, Bara segera membuka pintu belakang mobil langsung memeluk Sekar dengan nafas ngos-ngosan.
"Mas,"
"Kamu, kenapa Sekar?" tanya Bara
"Karena, ibu," ucap Sekar dalam hati, "enggak, aku lagi rindu mas Bara." jawaban sekar membuat telinga Bara memerah seketika.
"Aku nanya serius, Sekar," ujar bara menutupi malu dengan memeluk Sekar semakin erat.
"Emang begitu kok, kenyataannya. lagian sejak kapan panggilan kita aku-kamu," selidik Sekar, berusaha mengalihkan obrolan.
"Aku tau kamu menutupi sesuatu Sekar", pikir Bara didalam hati. Segera ia lepaskan pelukan mereka.
"Mas, gimana keadaan, opa?" tanya Sekar.
"Baik, udah bisa diajak debat," jawab Bara.
"Kayaknya, seru hubungan kalian?"
"Ya, karena kita cuman tinggal berdua. Kalau kita gak akur bagaimana hubungan keluarga kita,"
"Aku masih gak kenal mas Bara, soalnya banyak gak taunya," ungkap Sekar dengan kekehan.
"Nanti juga bakal saya kasih tau, ayo turun opa udah gak kuat pengen kenal kamu."
Mendengar itu Sekar jadi ciut seketika, "mas, sekarang banget ketemu opa," lirihnya.
"Ya, mau kapan? kalau ga hari ini,"
Sekar gemetaran parah saat tiba di depan ruang rawat opa, untungnya Bara tak melepaskan pegangan tangannya menguatkan dirinya.
"Tenang Sekar, opa saya orang baik kok" kata Bara menghibur Sekar yang tegang.
"Mas! malah lawak,"
"Biar gak tegang."
Bara langsung membuka pintu ruangan opa.
"Darimana anak na...kal" tanya opa langsung kicep, melihat yang dibawa cucunya.
Gadis cantik sederhana juga lembut membuat yang melihat betah memandangnya. Seperti mendiang istrinya yang sudah meninggalkannya lebih dulu.
"Ngapain opa lihatin Sekar, gitu?" tanya Bara penuh selidik, makin menyembunyikan Sekar dibalik punggungnya.
"Bocah gendeng, opa gak mungkin suka wanita lain selain oma mu," geram opa.
Bara langsung menarik tangan Sekar menuju ranjang opa, "siapa tahu kan, lagi puber kayak aki- aki gaul jaman sekarang (kakek kakek),"
"Gak ada, opa cinta mati sama Oma" ungkap opa yang mulai merasa mata yang memanas karena rindu.
Sekar yang melihat itu, menyikut suaminya untuk berhenti menggoda opa.
"Ini Sekar istri Bara, opa" ucap Bara mengenalkan istrinya.
"Selamat datang di keluarga absurd kami, ya. Sekar" ucap opa tersenyum.
"Kok, gak kaget," selidik Bara
"Lupa, opa siapa?"
"Orang, kan?"
"Kamu, setannya!!"
paksa hancurkan pernikahan anaknya..