"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02: Ancaman Kematian
Zhi Hao tahu bahwa dia tetap disana, hanya akan ada hinaan padanya. Meskipun ia kesal dan dongkol setengah mati, itu tidak akan merubah apapun. "Kalau aku bertindak Impulsif, itu hanya akan membawaku pada kebinasaan. Siapa yang akan menolong, ayah? Klan? Itu sama sekali tidak mungkin." Dalam hatinya ia berpikir sembari mengambil langkah menjauh.
Zhi Hao mengeratkan rahangnya, mencoba menahan amarah yang membara di dada. Dengan setiap kata yang ditaburkan Xiao Bei, seperti asam yang mengikis hati dan harga dirinya. Dia tahu betul, setiap menit yang dilalui di tempat itu hanya akan menambah derita.
"Kamu tidak lebih dari sampah di kaki kami!" teriak Xiao Bei dengan suara penuh penghinaan. Suara itu membahana di telinga Zhi Hao, menusuk ke dalam jiwanya yang lelah.
Beng! Satu tendangan dilepaskan.
Mata Xiao Bei berbinar dengan kepuasan saat dia melihat Zhi Hao terhuyung-huyung dari tendangannya.
"Pergilah, sebelum aku membuatmu lebih hina lagi!" seru Xiao Bei, sambil mendorong Zhi Hao dengan kakinya.
Zhi Hao merasakan darah mengalir di sudut bibirnya, mengingatkannya pada kepedihan yang lebih dalam dari luka fisik. Hatinya hancur, namun dia tahu harus menjaga kepala tetap dingin. "Melawanmu sekarang tidak akan mengembalikan harga diriku. Aku harus punya kekuatan yang dapat mengungguli agar bisa balas dendam," bisik Zhi Hao pada diri sendiri.
"Lihat, itu Zhi Hao, si sampah Klan Zhi!" teriak seorang pemuda dari kerumunan, disusul tawa yang meledak dari beberapa orang lainnya.
“Mungkin saja dia anak pungut, sehingga tidak bisa mewarisi kekuatan Klan Zhi.” Seseorang berkata.
"Anak pungut yang malang, tidak tahu malu!" sambung yang lain dengan nada sinis.
Setiap kata yang dilemparkan kepadanya bagai serpihan kaca yang menggores hatinya yang sudah lama berdarah.
Zhi Hao menggenggam erat Pedangnya, matanya memerah namun dia bertekad tidak menangis di depan mereka.
Kaki-kakinya bergerak lebih cepat, meninggalkan suara cemooh yang semakin menjadi-jadi.
Sesampainya di luar kota, Zhi Hao menemukan sebuah pohon besar, rindang yang seakan menawarkan pelarian dari kejamnya dunia.
Dia duduk, punggungnya bersandar pada batang pohon yang kokoh. Tangannya yang gemetar menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan luka yang tak kasat mata. Angin sepoi-sepoi membawa kesunyian, kontras dengan hiruk-pikuk kebencian yang baru saja dilewatinya.
Di bawah pohon itu, Zhi Hao menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengusir bayang-bayang ejekan dan memulihkan sedikit kekuatan. Dia tahu, ini bukan akhir dari segalanya, tapi hanya sebuah ujian untuk kekuatan yang mungkin belum dia sadari.
Tiba-tiba, bayangan muncul dari ketinggian, turun dengan cepat dari pohon tempat Zhi Hao bersandar.
Zhi Hao, terluka oleh siksaan fisik dan perasaan akibat tendangan Xiao Bei dan cacian orang banyak, terkejut saat mendengar suara angin yang tajam melintas.
Swoosh!
Senjata mengarah cepat ke lehernya, hendak memutus nyawa yang dia anggap tidak lagi berharga. Namun, dalam sekejap, seberkas pedang menerjang dari arah lain, menangkis serangan mendadak itu dengan kuat.
Treng!
Pedang beradu, percikan bunga api menari di udara.
Zhi Hao cepat berguling, menghindar dari pusaran pertempuran yang membahayakan. Dia terperanjat menyadari ada yang ingin mengakhiri hidupnya.
"Larilah Tuan Muda!" teriak Wang dalam ketegangan. Suara itu menyadarkan Zhi Hao, yang mengenali sosok penolong itu dari kunjungan masa lalu pada Ayahnya.
Mengabaikan rasa sakit yang mendera tubuhnya, Zhi Hao memacu langkah, berlari terhuyung-huyung menyelamatkan diri atas nasihat Wang. Nalurinya berteriak, hidupnya bergantung pada setiap detak dan langkah yang ia ambil sekarang.
"Haha, kau pikir kau bisa menghentikanku?" ejek sosok berjubah hitam dengan suara yang dalam dan menyeramkan. Dia mengangkat tangannya dan dengan cepat menarik pedang miliknya.
Wang menghela napas, mempersiapkan diri untuk pertarungan yang mungkin akan panjanh. "Langkahi mayatku kalau memang ingin membunuh Tuan Muda Zhi. Siapa kamu sebenarnya?" tantangnya, suaranya tetap tenang.
Tawa dingin terdengar dari balik penutup kepala. "Haha. Kamu tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang pasti aku tetap akan membunuhnya. Jika memang kamu ingin mati lebih dulu, aku kabulkan."
Dengan gerakan yang cepat dan kuat, sosok itu meluncurkan dirinya ke arah Wang, pedangnya berkelebat dengan kilatan yang mematikan. Wang, dengan refleks yang terasah, mengelak dan mengeluarkan pedangnya sendiri.
Dentingan pedang pun tak terhindarkan.
Teng!
Teng!
Teng!
Kembang api memecah kesana kemari disertai ledakan.
Beng!
Beng!
Bomb!
"Oh, ternyata itu kamu! Tak ku sangka. Apakah kamu datang atas perintah Tuan Muda kedua?" tanya Wang dengan nada suara yang penuh kecurigaan, matanya tidak berkedip menatap Tetua Mo.
Tetua Mo, dengan wajah yang dipenuhi kerut dan mata yang berkilauan tajam, tidak bisa lagi mengelak. "Benar, aku datang atas perintahnya. Tapi, apakah kamu pikir aku datang tanpa persiapan sama sekali, Wang?" jawabnya dengan suara yang serak namun penuh keyakinan.
Tetua Mo tersenyum sinis, "Aku sudah memerintahkan dua orang bawahanku untuk mengejarnya. Dia pasti mati!" katanya dengan yakin, seolah-olah sudah memenangkan pertarungan ini.
Tetua Wang, mengangkat alisnya, tidak terlihat gentar. "Untuk apa membunuhnya. Toh dia juga bukan pewaris meski anak Pertama!" sahutnya dengan nada menggoda, mencoba menemukan celah dalam pertahanan Tetua Mo.
Tanpa membuang waktu lagi.
"Teknik Pedang Petir - Kilat menyambar!" teriaknya dengan suara yang menggelegar. Kilat berwarna biru terang terbentuk di ujung pedangnya, menyambar cepat ke arah Wang, yang berdiri dengan tenang di seberangnya.
Slash!
Woosh!
Wang, yang tampaknya tidak terkejut, hanya mengangkat satu alisnya dan tersenyum sinis. "Oh, kamu menguasai Teknik Pedang Klan Zhi, sungguh tak disangka orang luar bisa menguasainya. Sepertinya Tuan Muda kedua sudah tidak peduli lagi dengan kedudukannya di Klan Zhi," ucapnya dengan nada mengejek. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, ia mengayunkan pedangnya, "Teknik Pedang Ilusi - Bayangan Pedang Ganda." Dua bayangan pedang yang serupa dengan pedang aslinya muncul di sampingnya dan melesat bersamaan menyerang Tetua Mo.
Swoosh!
Bomb!
Dua teknik pedang yang kuat itu bertabrakan di tengah area, menghasilkan ledakan yang dahsyat. Debu dan percikan api menyembur ke segala arah, dan suara ledakan itu bergema melintasi medan pertarungan. Keduanya terpental beberapa langkah ke belakang, namun segera menstabilkan diri, siap untuk serangan berikutnya, mata mereka saling bertaut menantang, menunggu siapa yang akan melakukan gerakan berikutnya dalam duel sengit ini.
*
Di tengah kegelapan yang menyelimuti Hutan dekat Kota Linggau, Zhi Hao terus berlari menjauhi kampung halamannya, Klan Zhi.
Hutan yang angker itu adalah satu-satunya tempat berlindung yang bisa dia harapkan untuk bersembunyi, bertahan hidup, dan memupuk rasa dendamnya. Keputusasaan dan ketakutannya tercampur baur menjadi satu saat dia menyadari tak ada tempat lain untuk pergi.
Seakan merasakan ancaman yang mendekat, langkahnya semakin cepat. Di kejauhan, dua sosok melompat lincah di antara rimbunnya pepohonan. “Lihatlah dia, berlari kocar-kacir tanpa arah!” terdengar suara ejekan dari salah satu pemburu, seraya tawa mereka memecah kesunyian hutan.
"Kita harus segera menyelesaikannya dan membantu Tetua Mo. Jangan biarkan dia bertarung sendirian melawan Tetua Wang yang kejam," seru yang lainnya sambil menghunus pedangnya dengan gerakan gesit.
Dengan desir angin yang menderu, salah satu dari mereka melompat tinggi, berputar elegan di udara sebelum mendarat dengan posisi siaga tepat di atas Zhi Hao.
Dunia tampak seolah berhenti berputar bagi Zhi Hao, nafasnya tercekat, dan rasa takut memuncak menguasai setiap inci tubuhnya saat nyawa dan nasibnya bergantung pada selembar nyawa yang kini terancam oleh kesombongan musuh.