Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat Masa Depan
Devano tersenyum kecil melihat Misca mondar-mandir untuk membereskan dapur. Dia hanya berdiri menyender di dekat meja kompor sambil melipat kedua tangan. Namun, jika gadis itu meliriknya senyuman yang ditunjukan langsung memudar berganti datar.
"Kenapa Tuan lihat saya? Ada yang salah?" tanya Misca yang merasa risih jika bekerja dalam pantauan seperti ini.
"Siapa yang liatin kamu, GR. Orang saya liatin kinerjamu, apakah bagus atau tidak," jawab Devano selalu menutupi rasa kagum terhadap gadis mandiri yang ada di hadapannya.
"Kalau kerja saja jelek nggak akan mungkin saya bertahan 1 tahun kerja di sini!" sahut Misca tanpa menoleh.
"Pantes," balas Devano singkat, membuat Misca yang tadinya sibuk mengelap sisa noda di kompor seketika berbalik menatap lekat wajah menyebalkan itu.
"Pantes apa?"
"Pantes saya tidak pernah melihatmu."
"Memang sebelumnya Tuan pernah ke sini?"
Wajah Misca berubah serius. Setahunya Devano tidak pernah datang ke rumah majikan, kecuali Cia dan supirnya. Dikarekan pria itu terlalu sibuk sama pekerjaannya sampai lupa memberikan perhatian pada anak sendiri.
"Nggak!"
Jawaban Devano kali ini memang super duper menyebalkan. Salahnya sendiri Misca terlalu serius menunggu jawaban, padahal sebelumnya dia sangat tahu kata-kata yang keluar pasti memancing masalah.
Kali ini Misca benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan gejolak emosi yang mulai meradang ingin berteriak di dekat telinganya.
"Aaaa ... dasar duda ngeselin, nyebelin, rese! Bisa-bisanya Tuan selalu menipuku, menyebalkan!"
Pukulan demi pukulan Devano terima dari Misca. Bukanya mengeluh kesakitan dia malah tertawa kecil karena sudah berhasil membuat gadis itu kesal.
"Loh, saya 'kan, berkata fakta. Terus kenapa kamu marah, dasar wanita aneh bin ajaib hahah ...."
"Hyaakk, malah ngatain saya lagi. Tuan tuh, yang duda meresahkan bin ngeselin super duper nyebelin tingkat dewa!"
"Waw, tinggi juga bawa-bawa dewa hahah ...."
"Aaa ... Ngeselin, ngeselin, ngesel ... Ehhh!"
Lagi asyik meluapkan rasa emosi yang ada di hati, tiba-tiba saja tidak sengaja kaki Misca keseleo hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukan Devano persis bagaikan orang berdansa.
Tatapan lekat manik mata yang indah di antara keduanya mampu menghidupkan getaran-getaran hati yang sempat mati. Detak jantung mereka bekerja sangat cepat, nyaris membuat napas terasa sesak.
Cahaya cinta yang tidak pernah Devano rasakan sekian lama, kini kembali bersinar terang melalui mata Misca. Bentuk bola yang indah dan cantik dengan bibir tipis menggoda berhasil membangunkan adik kecil yang sudah meronta-ronta ingin keluar dari sarang.
Sementara Misca seperti melihat pangeran pujaan hati yang sudah lama ditunggu-tunggu. Meski Devano tidak sesempurna yang diinginkan, entah mengapa hatinya selalu bergetar saat berada di dekatnya seperti sekarang.
Misca sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan semua ini. Dia tidak mau terjebak di dalam dunia orang kaya yang kelak akan merendahkan harta martabat sebagai orang sederhana yang tak punya apa-apa.
"Mata ini ... mata yang sangat indah. Sebelumnya aku tidak pernah melihat keindahan melebihi mata Manda dulu. Namun, sekarang kehadiran Misca benar-benar telah mengembalikan jiwaku yang sudah lama menghilang. Entah ini benar atau salah, sepertinya aku sudah mulai menyukainya."
Suara hati Devano terdengar sangat lembut, apalagi dia tahu bahwasanya, tidak ada satu orang pun yang mampu menjadi seorang Manda. Semua memiliki ciri khas tersendiri yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain.
Meski Manda tidak akan pernah tergantikan menjadi wanita yang pertama kali mendapatkan cintanya. Namun, Misca mungkin bisa membangun kebahagiaan yang jauh lebih indah untuk menutup cinta terakhir sebagai cinta abadi.
"Tuan Devano sangat tampan, kaya raya, juga baik. Walaupun sifatnya begitu menyebalkan. Aku akui, dia memang tidak sesempurna pria yang aku harapkan, tetapi mataku seperti melihat adanya cahaya terang yang menutupi oleh kabut hitam di dalam hatinya. Apakah ini artinya Tuan Devano sebenarnya memiliki masa depan yang indah. Hanya saja terhalang oleh masa lalu yang belum mampu dia selesaikan dengan dirinya sendiri?"
"Jika benar begitu, apakah aku bisa membantu untuk menyingkirkan kabut hitam itu di hati Tuan Devano? Kalaupun aku mampu, apakah Tuan Devano akan mengizinkanku masuk ke dalam kehidupannya, sementara aku hanyalah seorang pembantu, alias orang miskin?"
Sederetan pertanyaan di dalam benak Misca mulai bermunculan. Dia memang tidak tahu betul bagaimana kisah masa lampau Devano bersama istrinya.
Akan tetapi, Cia sedikit memberikan cerita tentang keluarganya tentang Devano yang sangat mencintai mendiang istrinya. Semua itu terbukti saat pertama kali pria itu menyangka, bila Misca adalah istrinya.
Misca paham, tidak mudah melepaskan masa lalu yang cukup berharga. Belum lagi kenangannya yang indah susah untuk dilupakan. Cuma dia yakin, selagi Devano berani keluar dari zona nyaman itu apa pun yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Sudah hampir beberapa menit mereka masih dalam posisi yang sama tanpa adanya pergerakan sedikit pun. Mata saja sampai tidak berkedip saking tegangnya melihat sekilas bayang-bayang indah di masa depan jika keduanya bersama.
Tanpa sadar Devano semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Misca yang refleks memejamkan mata saking takutnya menerima serangan dadakan dari sang duda.
Baru juga Devano ingin mencicipi bibir tipis yang terlihat menggiurkan juga manis, tiba-tiba kedua bocil datang menghampiri dan mengejutkan mereka.
"Bi Misca, Om Varo! Aaa ... aku tidak mau melihat adegan ini!" pekik Nina langsung berbalik membelakangi mereka sambil menutup rapat wajahnya.
Berbeda dengan Cia yang tercengang menyaksikan adegan romantis secara langsung, "Astaga, Daddy! Apa yang sedang Daddy lakukan pada Mommy Misca!"
Cia refleks menutup wajahnya menggunakan kedua tangan tanpa membelakanginya seperti Nina. Sela-sela jari yang sengaja terbuka membuat dia melihat bagaimana tegangnya wajah Devano dan Misca sampai salah tingkah.
"Ka-kalian ngapain ke-ke sini?" tanya Devano gugup karena ketahuan hampir saja khilaf bersama pembantu.
"Harusnya Cia yang nanya begitu, ngapain Daddy berduaan di dapur sama Mommy Misca? Mana mau cium-cium lagi, memangnya kalian udah nikah apa!" jawab Cia, posisinya masih sama seperti tadi.
"No-non Cia, ma-maafkan kami. Ta-tadi Bi Misca terpeleset, nggak sengaja ditolong oleh Tuan Devano. Jadi---"
"Cukup, Mom. Cia tidak mau mendengar penjelasan kalian. Cia udah melihat dengan mata kaki kalau---"
"Mata kepala, Cia. Bukan mata kaki! Gimana sih, kamu ini mau ngomel apa mau ngelawak!" timpal Nina yang selalu membenarkan kalimat Cia dengan kesal.
"Ohh, iya, aku lupa. Maksudnya itu kepala mata kaki. Ehhh, kok, jadi kepala mata kaki, sih. Astaga!" Cia menepuk dahinya sendiri ketika mulutnya keserimpet.
"Nggak sekalian kepala, pundak, lutut, kaki, biar semua komplit ada matanya!" sahut Nina berbalik menatap Cia yang ikut menghadap ke arahnya.
"Ya, mangap sal---"
"Maaf, maaf. maaf. Astaga, kamu ini lama-lama buat aku kesal, ya! Niat mau marahin Om Varo sama Bi Misca atau malah kita yang berantem!"
Cia nyengir menunjukkan sederetan gigi susu berwarna putih mengkilat juga rapi sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Hehe ... maaf, Nina. Piss, damai!"
Nina hanya mengela napas panjang. Beginilah Misca, tiada hari tanpa gebrakannya. Niat ingin marah malah tertawa sendiri akibat kesalahannya.
"Kalau ini mah, bukan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, tapi buah jatuh sepohon-pohonnya. Anak sama bapak sama-sama aneh, ada aja kelakuan randomnya. Misca, Misca, mimpi apa kamu selama ini bisa ada di tengah-tengah begini. Hahh, nasib, nasib!" batin Misca
"Cia memang persis Manda. Selalu bisa mencairkan suasana, walaupun lagi tegang seperti ini!" batin Devano.
"Hahh, terus gimana? Masih mau marah sama Daddy?" sambung Devano menatap Cia penuh keseriusan.
"Ya, Cia marah sama Daddy karena cuma berani cium Mommy Misca di belakang. Kenapa nggak sekalian aja bikin Cia adik, pasti tambah seru. Bhaha ... Kabuurrr!"
Cia melarikan diri sendiri, membuat Nina terpojok. Apalagi tatapan mata Devano begitu menyeramkan, meski wajah Misca sangatlah lucu ketika terkejut.
"Heheh ... piss, damai ya, Om. Nina anak baik-baik, kok. Nina nggak mungkin kaya Cia, palingan Nina cuma mau bilang. Lanjutin, Om! Bhahah ... larii!"
Devani yang kesal melihat kelakuan dua bocil rese itu membuatnya berteriak kencang. Nina dan Cia yang sudah menjauh bertos ria sambil tertawa terbahak-bahak telah berhasil menganggu mereka yang sedang asyik PDKT.
Misca yang kepalang malu langsung kembali membersihkan dapur yang tinggal sedikit lagi, sedangkan Devano berusaha menutupi rasa malunya untuk menanyakan di mana letak kamar mandi.
Setelah diberikan oleh Misca, Devano pergi terburu-buru untuk menyelesaikan rasa malu juga menenangkan adiknya yang sudah mengembang di dalam celana.
"Aelahh, Max, Max. Ngapa bangun setiap kali dekat Misca, sih! 5 tahun mendem di situ nggak ada yang bisa bangunin, lah, sekarang bawaannya mau genjot mulu. Nasib, nasib. Gini banget punya peliharaan yang nggak bisa di elus dikit. Sekalinya muncrat jadi anak. Huaaa!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"