Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan di Meja Makan
Bab 30
"Sebelumnya, Kakek mau tanya dulu. Apa yang kamu dengar tadi. Hingga kamu kembali lagi?"
"Aku kembali bukan karena mendengar pembicaraan kalian. Aku memang menyadari kesalahan, lebih tepatnya, aku butuh ayah untuk bayi ini."
"Kau wanita bersuami, tak sepantasnya bilang butuh ayah untuk bayimu," timpal Zayden, menyela.
Maksud Zayden, itu tandanya Laura egois. Dia melakukan pengkhianatan, dengan berhubungan bersama pria lain hingga hamil. Tapi untuk status terhormat, meminta tanggung jawab Zayden. Secara tidak langsung, Zayden hanya dimanfaatkan.
"Cukup Zayden, tahan. Biarkan Laura bicara." Kakek Abraham memperingatkan cucunya.
"Tuh, Kakek lihat sendiri. Dia selalu membahas aib yang belum tentu aku lakukan."
Laura bukan sekedar mengadu. Dia sebenarnya ingin menunjukkan pada Elara, menantu mana yang disayangi keluarga Levano. Posisi Laura masih dicintai di keluarga Levano.
"Iya-iya. Kamu juga belajar sabar. Jika kamu terus sedih, kesal, bayimu akan merasakannya juga," ucap Abraham.
"Tapi, Kakek memaafkan sikapku yang kekanak-kanakan tadi kan? Sungguh, aku minta maaf Kek." Laura merayu Abraham, dengan memelas dan manja.
Setelah suasana sedikit tenang dari kehadiran Laura, Abraham memutuskan untuk memaafkan Laura. Bagaimanapun, dia adalah istri Zayden, dan bagi Abraham, kemarahannya hanyalah luapan kekesalan seorang wanita yang merasa posisinya terancam.
“Laura, sudahlah,” ucap Abraham dengan nada bijak. “Aku tahu kamu kesal, tapi jangan biarkan hal itu merusak hubungan keluarga kita.”
Laura tersenyum kecil, meski dalam hatinya masih menyimpan amarah. Ia merasa Abraham terlalu memihak pada Elara. Namun, demi citra dirinya, ia memilih untuk menunduk dan mengangguk.
“Baik, Kakek. Terima kasih. Aku janji gak akan mengulangi lagi." Laura memberikan senyum terbaiknya pada Abraham.
Sedangkan Abraham, hanya mengelus kepala Laura dengan senyuman hangat.
Kemudian Abraham melirik Zayden dan berkata, “Makanan sudah siap di meja, tapi sebelum itu, Zayden, ikut aku ke ruang kerja. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Zayden mengangguk. “Elara, tunggu di meja makan. Aku akan segera kembali.”
Elara menatap Zayden ragu, tapi ia hanya bisa mengangguk pelan.
Saat Kakek dan cucu Levano jauh dari Laura dan Elara, Zayden bertanya, "Kakek, aku pikir tadi akan mengatakan sejujurnya tentang Elara pada Laura."
"Hehehe, aku sudah membaca pikiranmu tadi. Tidak mungkin aku seceroboh itu."
"Tapi, Kakek tidak mengatakan apa pun tentang keingin tahuan Laura. Apakah dia akan menagihnya kelak?"
"Percaya pada Kakek, itu tidak mungkin terjadi. Kakek menggunakan kesempatan tadi untuk lebih memperhatikan Laura, supaya dia merasa tetap memiliki hati di keluarga ini, dan lupa akan rasa penasarannya."
"Kakek memang seorang pemain trik yang ulung."
Mereka dua tertawa renyah bersama.
###
Setelah kedua istri Zayden duduk di meja makan, Laura memanfaatkan momen saat hanya berdua dengan Elara. Tatapannya tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya.
“Elara,” Laura memulai dengan nada pelan tapi menusuk. “Apa kamu tidak merasa ini semua… terlalu besar untukmu? Menjadi istri kedua? Menghadapi keluarga besar Levano?”
Elara mencoba tersenyum sopan, meskipun rasa gugup mulai menyelimuti dirinya. “Aku hanya mencoba menjalankan apa yang sudah menjadi keputusan Zayden dan Kakek Abraham.”
Laura mendekatkan wajahnya sedikit, suaranya berubah menjadi bisikan dingin. “Jangan lupa, aku ini istri pertama. Dan istri pertama tidak pernah kalah, Elara. Kamu tahu apa artinya itu, bukan?”
Elara menelan ludah, gugup. Ia tahu Laura memiliki pengalaman lebih banyak dan kepribadian yang dominan. Namun, ia mencoba bertahan. “Aku tidak berniat merebut apapun, Mbak Laura. Aku hanya menjalani apa yang menurutku bisa membantu keluargaku.”
“Oh?” Laura menyeringai, penuh kemenangan. “Jadi, kamu hanya mengejar uang dari pernikahan ini? Bagus kalau begitu. Setidaknya kamu tidak perlu repot-repot berharap akan mendapatkan cinta Zayden, karena itu milikku, sejak awal.”
Elara meremas tangannya sendiri di bawah meja, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak punya pikiran sejauh itu, Mbak Laura. Aku hanya ingin hidup tenang, dan Zayden tahu itu.”
Laura tertawa kecil, lalu dengan angkuhnya mengambil cek kosong dari tasnya. “Kalau begitu, berapa yang kamu butuhkan? Aku bisa memberimu cukup uang untuk meninggalkan Zayden. Bukankah itu yang kamu inginkan?”
Elara terpaku melihat cek di hadapannya. Tawaran itu membuatnya bingung, tapi ia tahu, menerima cek itu berarti menyerah pada intimidasi Laura. Dengan tenang, Elara menolak.
“Terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak pernah meminta uang dari Anda, Mbak Laura. Apa yang aku dapatkan dari Zayden adalah urusan kami berdua,” ujar Elara sambil menatap Laura dengan keberanian yang tiba-tiba muncul.
Wajah Laura menegang sesaat, tapi ia cepat menyembunyikan rasa kesalnya. Ia tersenyum sinis, merasa momen ini bisa ia gunakan untuk menyingkirkan Elara. Bagus, pikirnya. Aku akan membuat Zayden percaya bahwa dia menikahi wanita yang salah.
Tak lama setelah itu, Zayden dan Abraham kembali dari ruang kerja. Begitu mereka memasuki ruang makan, Zayden langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aura di antara Elara dan Laura terasa tegang, meskipun keduanya berusaha tersenyum.
Abraham menarik kursi di ujung meja, sedangkan Zayden memilih duduk di samping Elara. Laura yang awalnya hendak protes, menahan diri. Ia mengingat niatnya untuk bersikap manis sementara waktu, agar Zayden tidak menceraikannya.
“Semua baik-baik saja di sini?” tanya Zayden sambil melirik Elara.
“Baik,” jawab Laura sambil tersenyum manis. “Kami hanya mengobrol sedikit sambil menunggu kalian.”
Zayden mengangguk, tapi tatapannya tak lepas dari Elara. Wanita muda itu tampak gelisah, meski berusaha menyembunyikannya. Ia tahu sesuatu telah terjadi. Nanti saat mereka pulang ke hotel, hal itu akan ditanyakan.
Sementara itu, Laura tersenyum licik di dalam hati. Ini hanya soal waktu. Elara akan tersingkir, dan aku akan kembali menjadi satu-satunya istri Zayden.
Bersambung....