Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepedihan Seorang Ibu dan Ditembak Menikah
Adegan sebelum malam itu Elara pergi ke club' untuk menjadi wanita penghibur.
***
Di rumah kecil yang terletak di sudut gang sempit, Bu Nira yang berusia 40 tahun sedang duduk di depan tumpukan pakaian yang harus disetrika. Tangannya yang kasar dan kering mulai terampil menggerakkan setrika, tetapi pikirannya jauh melayang memikirkan nasib keluarganya. Di sudut lain ruangan, Zeni, anak bungsunya yang baru berusia 5 tahun, terbaring lemas di kasur tipis. Batuk-batuk kecil sesekali terdengar dari tubuh mungilnya yang demam.
Sementara itu, Kia Laila, anak kedua yang duduk di kelas 7 SMP, tengah berusaha membersihkan rumah seadanya. Sesekali Kia berhenti untuk mengambil napas panjang, kelelahan setelah baru saja pulang dari sekolah dan mengambil titipan barang dagangan tetangga dari warung-warung.
“Kia, coba kamu istirahat dulu, Nak. Ibu bisa selesaikan sisanya,” ujar Bu Nira lembut namun wajahnya tetap memancarkan kegelisahan.
Kia tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah terbiasa.”
Meski begitu, tak satu pun dari mereka bisa mengabaikan kenyataan pahit yang menanti. Zeni membutuhkan obat, dan mereka tak memiliki cukup uang untuk membelinya.
Tak lama kemudian, pintu depan rumah terdengar berderit ketika Elara Selina, putri sulung Bu Nira, masuk dengan langkah cepat. Gadis 17 tahun itu baru saja pulang dari sekolah, meski hari sudah hampir senja. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya tampak letih, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang seakan menyimpan rahasia.
“Elara, kenapa pulang terlambat lagi? Adikmu sedang sakit dan ibu sangat membutuhkan bantuanmu di rumah. Kamu tahu kan, pekerjaan ibu sebagai buruh cuci dan setrika ini tak bisa ditinggalkan begitu saja,” suara Bu Nira terdengar lembut namun penuh harap.
Elara menatap ibunya, menyadari kekhawatiran yang terpancar dari wanita yang selama ini berjuang keras untuk keluarganya. Dia menghela napas panjang, mengeluarkan selembar uang Rp100.000 dari saku seragamnya dan menyodorkannya kepada Bu Nira.
“Ini, Bu. Beli obat untuk Zeni,” ucap Elara singkat.
Bu Nira tertegun. Matanya melebar, menatap uang di tangannya dengan ragu. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Nak?” tanya Bu Nira dengan nada cemas, tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
"Kamu baru pulang sekolah... jangan-jangan..."
Elara menggeleng cepat, “Bu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini hasil kerja keras Elara. Tolong terima saja, ya. Zeni butuh obat.”
Dengan tangan gemetar, Bu Nira menerima uang itu, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. Bagaimana mungkin anaknya yang masih duduk di bangku SMA bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Namun, di balik keraguan itu, ada perasaan lega. Setidaknya, malam ini ia bisa membeli obat untuk anaknya, dan sedikit makanan untuk mereka bertahan.
Namun, meski dengan uang di tangan, Bu Nira tak bisa menyingkirkan kekhawatiran di hatinya. Elara semakin sering pulang terlambat dan ada bisik-bisik dari tetangga yang mulai menyinggung soal kelakuan putri sulungnya. Namun, Bu Nira menolak membiarkan pikiran negatif menguasainya. "Elara pasti punya alasan," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
***
Elara melangkah keluar rumah, menutup pintu dengan hati-hati. Udara sore terasa lembap dan langit mulai meredup, menandakan malam yang segera tiba. Ia berjalan menyusuri gang kecil yang sepi menuju jalan raya, tempat biasanya ia menunggu angkot untuk pergi bekerja.
Sepanjang jalan, Elara merasa tatapan-tatapan tajam dari para tetangga yang berdiri di depan rumah mereka. Bisik-bisik terdengar, meskipun pelan, namun cukup jelas di telinganya.
"Itu Elara, ya? Pulang larut malam terus sekarang. Pasti ada yang nggak beres."
“Dia nggak kayak ibunya, anak itu... terlihat berbeda. Jangan-jangan dia kerja... yang aneh-aneh?”
Elara mendengarnya. Setiap kata, setiap tuduhan yang dilontarkan tanpa mereka sadari betapa sakitnya hati Elara mendengarnya. Tetapi, dia tak peduli. Semua ini dia lakukan bukan untuk mereka, bukan untuk orang-orang yang suka menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua ini dia lakukan demi ibunya, agar martabat Bu Nira tak lagi diinjak-injak.
Tiba di tepi jalan raya, Elara memberhentikan angkot yang akan membawanya ke tujuan malam ini—tempat di mana ia bekerja sebagai wanita penghibur. Pekerjaan yang dia lakukan dengan hati terpaksa, namun itu satu-satunya cara yang dia lihat untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Angkot melaju pelan, meninggalkan bisik-bisik dan tatapan sinis di belakangnya. Di dalam angkot, Elara menatap kosong ke luar jendela. Di antara bisingnya kendaraan dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, pikirannya dipenuhi satu hal: masa depan keluarganya.
“Aku akan lakukan apa pun untuk ibu,” gumamnya pelan, sambil mengepalkan tangan. “Apa pun.”
***
Langit malam mulai menelan kota, sementara angkot yang membawa Elara semakin mendekati tujuannya. Suara kendaraan yang berlalu lalang menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus berputar. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, kontras dengan kesederhanaan hidup yang dia jalani. Di sisi jalan, lampu-lampu neon klub malam mulai menyala, menunjukkan dunia yang Elara kenal baik, namun tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian darinya.
Klub malam itu selalu riuh, dipenuhi orang-orang dengan kehidupan yang berbeda, jauh dari apa yang Elara alami sehari-hari. Begitu kakinya menginjakkan lantai klub, dia mengenakan topeng yang sudah biasa ia kenakan—seorang gadis yang penuh percaya diri, siap melayani para pengunjung yang datang.
Elara tahu apa yang dia lakukan salah, tapi di balik setiap senyum palsu yang ia berikan, selalu ada bayangan wajah ibunya dan adik-adiknya. Setiap langkah yang ia ambil dalam klub itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk keluarga yang ia cintai.
Malam itu, di tengah hingar-bingar musik dan percakapan yang memabukkan, seorang pria duduk di salah satu sudut ruangan. Tatapan pria itu berbeda dari pengunjung lainnya. Dia tidak mabuk atau tampak terpesona oleh gemerlap malam. Pandangan matanya tajam dan penuh perhitungan, seolah menilai setiap orang di sekitarnya.
Namanya Arzayden Levano, seorang CEO muda berusia 34 tahun yang tengah dalam perjalanan bisnis, namun terseret oleh rekannya untuk datang ke tempat yang tak biasa ia kunjungi.
Arzayden melihat Elara, yang sedang melayani pengunjung di meja lain. Ada sesuatu pada gadis itu yang menarik perhatiannya—bukan kecantikannya, bukan pakaian yang dikenakannya, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Sorot mata Elara mengisyaratkan kepedihan, keteguhan, dan keputusasaan yang berusaha ia sembunyikan.
"Ternyata tidak seperti yang aku lihat di foto," gumam Zayden.
Setelah beberapa lama mengamati, Arzayden memutuskan untuk mendekati meja tempat Elara berdiri. “Kamu tidak pantas berada di tempat seperti ini,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh keyakinan.
Elara terkejut mendengar kalimat itu, namun ia tetap menjaga senyum di wajahnya.
"Semua orang punya alasan mereka sendiri untuk ada di sini, Tuan," balasnya sambil menghindari tatapan tajam pria itu.
Dia sudah terbiasa dengan pria-pria yang mencoba mendekatinya, tapi pria ini berbeda. Ada sesuatu tentang cara dia berbicara, cara dia menatap, yang membuat Elara merasa gelisah.
Arzayden tidak menurunkan pandangannya. "Apa pun alasanmu, kamu layak mendapatkan lebih dari ini," katanya pelan, namun penuh tekanan.
Elara merasa tersentuh, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan itu. Kata-kata pria itu seakan menyentuh bagian terdalam dari hatinya, bagian yang selama ini dia tutupi dengan rapat. Tapi dia menolak membiarkan dirinya terbawa suasana.
"Saya di sini hanya untuk bekerja, Tuan. Jika Anda tidak ingin memesan sesuatu, saya harus melanjutkan pekerjaan saya," jawabnya dengan nada sopan namun tegas.
Namun, Arzayden tidak mundur. “Aku akan langsung ke intinya. Aku ingin kamu menikah denganku.”
Elara terpana. Matanya membulat, dan untuk sesaat, dia merasa dunia di sekelilingnya berhenti bergerak. Pernyataan itu seperti petir yang menyambar di tengah malam yang tenang. "Maaf? Saya rasa Anda bercanda, Tuan," balasnya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha untuk tetap tenang.
Arzayden tidak menunjukkan tanda-tanda bercanda. Dia tetap menatap Elara dengan keseriusan yang mendalam. "Aku serius. Aku butuh seorang istri. Dan kamu, aku yakin, punya alasan untuk menerima tawaran ini."
Bersambung....