Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Kepulangan Aldian Yang Tidak Disangka
Angkot itu segera melaju menuju rutenya. Di sepanjang jalan belum ada lagi penumpang yang naik. Hal ini membuat Haliza dilanda takut. Sepanjang jalan ia terus berdoa dan memegang erat tasnya kuat-kuat.
Haliza berpasrah dan berdoa sama Yang Maha Kuasa memohon pertolongannya.
Dua pemuda itu masih memusatkan perhatiannya pada Haliza. Haliza hanya menunduk dengan jantung yang terus berpacu.
"Salon Male dan Female," teriak Supir, tandanya salon yang menjadi tujuan Haliza, sudah sampai. Dengan riang gembira Haliza menerbitkan senyum. Ia segera mengangkat pantatnya dari jok, berjalan membungkuk menuruni angkot.
"Iya, kiri, Pak," sahutnya, meskipun ia belum tahu betul di sebelah mana salon itu letaknya.
Dua pemuda itu masih saja menatap Haliza sampai Haliza menuruni angkot. Nasib baik Haliza sudah tiba di tujuan sehingga ia tidak perlu sport jantung lagi dengan tatapan menakutkan dua pemuda aneh itu.
"Terimakasih, Pak," ucap Haliza setelah memberikan ongkosnya pada Supir. Haliza berdiri sejenak di atas trotoar untuk sekedar melihat lingkungan sekitar. Ternyata salon Male dan Female sudah ada di depan mata, ia hanya tinggal nyebrang saja ke salon itu.
Dengan hati-hati, Haliza melihat kiri dan kanan untuk menyebrang. Setelah berhasil menyebrang, ia segera menuju salon itu. Di depan meja Kasir, ia disambut ramah oleh pegawai salon dan ditanya ingin perawatan apa.
"Saya mau paket komplit." Haliza menunjukkan paket yang dimaksud yang sudah terdaftar di menu pelayanan. Paket komplit adalah paket yang terdiri dari, pijat refleksi, spa, facial, creambath atau perawatan rambut.
"Baiklah Mbak, silahkan ambil nomer pelanggan." Kemudian karyawan salon itu membawa Haliza menaiki tangga menuju pelayanan pijat refleksi.
"Oh iya, Mbak. Berhubung paket yang dipilih Mbak adalah paket komplit, maka durasi pelayanannya bisa menghabiskan waktu tiga jam, apakah Mbak tidak merasa keberatan? Dan mengenai harga, Mbak sudah paham dan deal?" Karyawan salon itu seakan mengingatkan kembali atas pilihan kliennya, takutnya tidak paham.
"Saya paham Mbak, dan saya tidak keberatan dengan durasi pelayanannya. Saya sudah tahu dengan tatalaksana salon. Mengenai harga juga, saya deal dan cukup worth it buat saya." Haliza membalas dengan yakin, karena menurutnya harga paket komplit dengan seabreg empat pelayanan di salon ini termasuk harga yang standar, bahkan salon ini merupakan salon dengan harga lebih murah dibandingkan salon yang pernah Haliza sambangi di kota Yogya.
Haliza mulai dilayani di bagian pijat refleksi. Tubuh Haliza benar-benar serasa dimanjakan dan rileks saat para karyawan salon mulai memijatnya. Haliza sampai tertidur di sana.
Di kediaman Aldian
Dua jam berlalu, Haliza masih belum kembali dari salon. Bi Kenoh menjadi khawatir dan heran kenapa majikan perempuannya itu belum kembali juga.
"Mungkin saja salonnya antri. Salon Male dan Female, kan salon terbaik di kota ini," pikir Bi Kenoh menghibur rasa khawatirnya pada Haliza.
Setengah jam kemudian, tiba-tiba mobil Aldian sudah terdengar deru mesinnya. Bi Kenoh sudah mengenali suara mobil Aldian. Lalu ART berusia 50 tahun itu berjalan cepat menuju pintu depan lalu menyambut Aldian.
"Den Aldian, sudah kembali, Den?" sambutnya seraya membungkuk.
"Bi, tolong bawa kantong oleh-oleh ini. Di dalamnya ada makanan dan buah-buahan. Simpan di kulkas saja. Ada juga oleh-oleh buat Bi Kenoh sudah dipisahkan di kantong kresek merah," ujar Aldian seraya bergegas menuju rumah. Di tangannya ada kantong lain yang dibawanya menuju kamar.
Aldian pulang tidak dengan tangan hampa, ia juga membawa oleh-oleh untuk Haliza, meskipun Haliza masih tidak mencintainya.
Aldian terus memasuki kamar, ia menduga Haliza berada di dalam kamar atau di beranda. Setelah masuk kamar, dengan santai Aldian memasuki kamar yang lampunya sudah menyala, ia segera menggulirkan mata ke berbagai arah, mencari Haliza. Sayangnya, Haliza tidak ada.
"Ke mana Haliza? Pasti dia sedang di balkon," pikirnya. Merasa di kamar tidak ada Haliza, Aldian memutuskan mencari Haliza ke balkon dengan melewati beranda tamu. Sayangnya Haliza tidak ada juga di balkon.
"Ke mana dia, di sini juga tidak ada. Apakah di taman belakang rumah?" Aldian memutuskan mencari Haliza ke taman belakang rumah, ia menduga Haliza pasti berada di sana.
Sebelum keluar pintu, Aldian melihat Bi Kenoh di dapur dan menanyakan di mana Haliza berada.
"Bi, di mana istri saya, apakah dia ada di taman?" tanya Aldian.
"Neng Haliza belum pulang Den," jawab Bi Kenoh. Wajahnya mulai tegang. Melihat Cakar yang mencari Haliza, naluri Bi Kenoh berkata kalau Haliza tidak meminta ijin pada Cakar untuk pergi ke salon.
"Belum pulang dari mana? Apakah Bibi sudah bilang bahwa dia tidak perlu pergi kalau tanpa saya? Bibi kan sudah saya kasih tahu awasi istri saya," tegur Aldian kesannya menyalahkan Bi Kenoh.
"Mohon maaf, Den. Bibi tadi sudah ingatkan istri Aden, tapi Neng Liza tidak mendengarkan bibi. Bahkan bibi sempat mengingatkan Neng Liza, supaya minta ijin terlebih dahulu pada Den Aldian," terang Bi Kenoh merasa bersalah.
Wajah Aldian seketika memerah menahan amarah. Jelas dia marah, sebab dia merasa khawatir jika membiarkan Haliza pergi sendirian. Sebab seperti berita viral yang sedang menjadi topik pembicaraan saat ini di kotanya tinggal, bahwa ada dua orang residivis yang kembali meresahkan masyarakat. Baru saja keluar dari penjara, mantan napi itu kedapatan melecehkan seorang pengendara motor yang masih sekolah.
"Apakah Neng Liza tidak ada menghubungi Den Aldian, tadi?" Bi Kenoh penasaran.
"Tidak ada," sahut Aldian semakin terlihat resah. Bi Kenoh terlihat sangat khawatir setelah tahu bahwa majikan perempuannya pergi tapi tidak memberitahu Aldian.
"Aduh, ke mana dia? Bikin resah saja. Lagipula aku ini suaminya, harusnya mau bagaimanapun aku atau bagaimana keadaan hubungan perkawinan ini, dia wajib minta ijin sama aku. Sudah mulai berani Haliza. Dicuekin justru ngelunjak dan tidak tahu adab," hentak Aldian kesal yang sudah di ubun-ubun.
Aldian segera bergegas menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil. Rasa khawatir sekaligus marah langsung menyelinap di dalam dadanya.
Aldian menuruni tangga, di bawah dia berpapasan dengan Bi Kenoh. "Bi sudah berapa jam istri saya belum kembali?"
"Ini mau empat jam, Den."
Aldian terkejut mendengar pengakuan Bi Kenoh. "Empat jam? Ok, saya harus segera pergi. Saya harus jemput istri saya." Aldian segera berlari keluar dengan wajah yang benar-benar khawatir.
Bi Kenoh mengangguk. Perasaannya menjadi serba salah, ia tidak ingin Haliza dimarahi Aldian. Di sisi lain, Haliza juga salah karena tadi tidak mendengarkan nasihatnya untuk minta ijin Aldian kalau ingin keluar. Bi Kenoh menatap kepergian Aldian seraya mendoakan supaya Haliza selamat.
Aldian mulai menyalakan mobilnya. Mobil perlahan keluar dari pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan muda baru saja turun dari angkot dengan menenteng kantong kresek di tangannya.
"Haliza," pekik Aldian seraya menghentikan mobilnya di tengah-tengah pintu gerbang. Aldian turun dari mobil, lalu ia mencegat Haliza di depan pintu gerbang. Amarahnya sudah di ubun-ubun dan tidak terbendung.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?