Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Sekali lagi ... waktu terasa terhenti. Tubuh Hanna membeku, tetapi jantungnya semakin berpacu, ketakutan seketika merambat ke hati dan memaksa sepasang mata indah itu berair. Mengurung anak-anaknya di dalam sangkar nyatanya tak cukup mampu untuk menghalangi semesta menyatukan ayah dan anak dalam sebuah pertemuan yang tak terencana.
******* napas panjang mengembalikan akal sehatnya yang sempat menghilang, jari-jarinya mengusap cairan bening yang mengaliri kedua sisi pipinya. Kaki Hanna pun terayun pelan dan mendorong gagang pintu kaca itu.
Hal yang sama juga terjadi pada Evan, bibirnya belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Sorot matanya terpaku pada sosok wanita sederhana yang baru saja memasuki ruangan.
Tujuh tahun adalah waktu perpisahan yang cukup lama, tetapi waktu rupanya tak cukup kuat untuk membuatnya melupakan wajah itu. Betapa di masa lalu senyum indah seorang Hanna Cabrera mampu membuat Ervan Maliq Azkara melupakan seisi dunia. Namun wanita yang kini berdiri di hadapannya hanyalah wanita sederhana dengan wajah datar dan sedikit memucat.
“Hanna Cabrera?” Mulut Evan reflek menyebutkan nama itu. Pandangannya menyisir tubuh itu. Hanna tak banyak berubah dari segi fisik. Hanya penampilannya yang sangat jauh berbeda dan tampak tidak terawat. Kemeja cream berbahan katun yang sedikit kusam. Juga rambutnya yang panjang tergerai tetapi agak berantakan.
“Star ... .”
Suara gemetar itu membuat Star menunduk dan tak berani menoleh. Kebab isi daging ayam yang berada dalam genggamannya terjatuh ke lantai, yang mana membuat Evan tersadar dari lamunan dan perhatiannya teralihkan pada gadis kecil itu. Binar bahagia di wajah Star mendadak sirna dan seketika mulai memucat.
“Mommy ...” Panggilan lembut itu seakan meruntuhkan benteng pertahanan, Hanna berlutut di hadapan putrinya dan memeluk dengan erat. Isak tangis mulai terdengar dari sana. Evan menatap punggung Hanna yang membelakanginya. Pelukan itu pun perlahan memudarkan pucat di wajah Star.
Hanna sudah menikah dan Star adalah anaknya? Kebetulan macam apa ini? batin Evan.
“Kenapa kau pergi sendiri, Nak. Sendirian di luar itu berbahaya untukmu,” ucap Hanna melepas pelukan. Tangannya terulur membelai rambut putrinya, lalu kemudian membenamkan kecupan demi kecupan di wajah itu demi mengurai rasa khawatir yang menguasai hatinya.
“Maaf, Mommy. Mereka bilang di sini ada kebab dan minuman gratis. Kita bisa mendapatkannya walaupun tidak punya uang,” jawab Star polos.
Detik itu juga, perasaan Evan bagai disayat-sayat. Entah mengapa, tetapi setiap mendengar kepolosan Star membuatnya merasa sesak. Jika boleh, ingin rasanya ia berikan seluruh makanan yang ada di kafe miliknya kepada Star.
“Tidak, Nak! Tempat ini bukan untuk kita. Kau tahu kan, Mommy akan membelikannya walaupun kau tidak meminta. Tapi ada waktunya. Kau bisa menunggu sebentar, kan?” Hanna mengecup punggung tangan putrinya.
“Mengerti, Mommy. Maafkan aku.” Tangan Star melingkar di leher Mommy-nya. Dagunya bersandar di bahu Hanna, sorot matanya mengarah pada makanan dan minuman yang ada di meja. Menatapnya dengan sedih.
“Sekarang kita pulang ya ... .”
“Mommy ... Paman itu bilang aku boleh membawa pulang roti dan kebab yang ada di meja untuk kakak.” Star menunjuk sebuah paper bag yang tadi dipesan Evan kepada pelayan untuk dibawa pulang olehnya. Ia menatap Hanna penuh harap, meskipun masih tampak ragu.
“Tidak, Sayang. Nanti Mommy akan membeli sendiri untuk kakakmu.”
Hanna membantu Star berdiri dan menyematkan penyangga tongkat di sela ketiak. Evan yang sejak tadi terdiam langsung berdiri ketika Hanna mulai menuntun Star untuk berjalan, hendak keluar dari ruangan itu.
“Tunggu!” ucap Evan menghentikan langkah Hanna dan Star. Star menoleh, tetapi Hanna terlihat enggan.
****