Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Obat Nyamuk
Setelah sholat subuh, Aghnia mengecek jadwal Alfi. Tertulis kosong dengan huruf kapital.
"Hari ini pak Alfi tidak ada jadwal, berarti aku libur dong", gumam Aghnia
"Eh tapi tanya dulu deh, ntar malah diomelin lagi ternyata tetap kerja", monolog Aghnia.
Gadis itu mengambil ponselnya, menghubungi Alfi via chat, menanyakan apakah dirinya hari ini libur atau tetap bekerja. Tak perlu menunggu lama, ponsel di genggaman Aghnia bergetar.
"Libur", balas Alfi singkat.
"Gila! Touchscreennya rusak kali ya, singkat banget balesnya", ujar Aghnia.
Ponsel Aghnia kembali bergetar memperlihatkan pesan dari abahnya yang mengingatkan agar dirinya tak lupa untuk kontrol luka jahitan. Aghnia segera membalas pesan abahnya, lalu kembali berbaring di ranjang menunggu waktu kontrol.
Tak terasa waktu berputar begitu cepat, alarm di ponsel Aghnia berbunyi. Gadis itu bangun dan bersiap untuk pergi kontrol.
Gamis putih motif bunga tulip kecil dan kerudung hitam syar'i membalut badan ramping Aghnia. Gadis itu semakin pede keluar rumah dengan pakaian tertutup, tanpa menggunakan make up.
Di rumah lama yang telah direnovasi, Alfi menjemput Elviana karena sepupunya itu meminta diantar ke rumah sakit Bahari untuk bertemu teman masa sekolahnya.
"Vi, aku sudah di depan. Ayo berangkat", tulis Alfi, tetap menunggu di dalam mobil.
"Iya mas Alfi", balas Elviana.
Satu menit saja, satu sosok perempuan keluar dari rumah kakeknya. Alfi terpana melihat Elviana masuk ke mobil dan duduk di jok depan. Gamis hitam dan kerudung syar'i warna senada ditambah riasan tipis di wajah membuat aura kecantikan terpancar di wajah Elviana.
"Maaf ya mas, jadi merepotkan mu", ucap Elviana, membuat Alfi terkesiap.
"Ehem, terlalu cantik begini, pantesan paman menyuruhmu segera menikah", ujar Alfi dengan senyuman menggoda.
"Memuji tandanya suka", sahut Elviana membuat Alfi terdiam.
"Mas Alfi", panggil Elviana memandang Alfi dari samping. Alfi pun menatap mata Elviana.
"Apa aku salah jika aku meminta pada tuhan berjodoh dengan orang yang kusuka?", ucap Elviana, sontak membuat detak jantung Alfi berdegup cepat.
"Tidak salah sih. Hanya saja semua takdir ada di tangan Tuhan, sekalipun kita meminta tetap Tuhan yang memegang kendali", jelas Alfi seraya tersenyum memandang Elviana, lantas melajukan mobil ke arah tujuan yang diminta. Mereka berdua menempuh perjalanan sepuluh menit dalam hening, berdiskusi dengan pikiran masing-masing.
Alfi berhenti di parkiran rumah sakit. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang praktek dr. Indira spesialis obgyn.
"Nanti kutunggu di mobil saja ya, jika sudah selesai kamu bisa menghubungiku", ucap Alfi.
"Kenapa mas Alfi tidak ikut masuk?", tanya Elviana heran.
"Aku tidak ingin terjebak obrolan kaum hawa yang rumit", ujar Alfi.
Elviana mendelik mendengar jawaban Alfi, menepuk pundak Alfi dengan kencang, membuat Alfi tertawa ringan.
"Aku cuma sebentar kok mas. Setelah ini mari berbincang di taman kota", ajak Elviana. Alfi hanya mengangguk setuju.
Mereka berdua berpisah setelah Elviana masuk ke ruang Indira. Alfi berjalan santai, kembali ke arah parkiran rumah sakit, sambil menunggu Elviana selesai bercengkrama dengan temannya.
Saat itu, dahi Alfi mengernyit melihat seorang wanita yang ia kenal sedang duduk mengantri di depan instalasi farmasi, memandangi kertas yang ia bawa.
"Aghnia", gumam Alfi, lantas menghampiri Aghnia.
"Bagaimana cara mengendalikan stres?", gumam Aghnia pelan, memperhatikan catatan di kertas kontrolnya sembari berdiri menunggu obatnya disiapkan.
"Tidak memikirkan hal yang terlalu berat", jawab Alfi tiba tiba berada di samping Aghnia.
"Astaghfirullah pak Alfi", pekik Aghnia kaget.
"Ngagetin aja sih", keluh Aghnia mengelus dadanya pelan.
Alfi tersenyum samar melihat wajah lucu Aghnia saat terkejut.
"Sedang apa di sini?", tanya Alfi, tak sengaja melihat kertas yang dipegang Aghnia.
"Kontrol luka jahitan", jawab Aghnia.
"Atas nama Aghnia Azizah", panggil apoteker.
Aghnia maju, mengambil obat dan mendengar penjelasan apoteker. Gadis itu memasukkan obat ke dalam sling bag yang ia pakai, lalu melangkah pulang tanpa menghiraukan Alfi yang masih menunggunya.
"Kamu bawa mobil?", tanya Alfi yang telah berjalan mengikuti hingga sejajar di samping Aghnia.
"Eh, nggak pak. Saya naik ojek online", jawab Aghnia sedikit kaget.
Alfi mengernyit, semenjak sakit Aghnia tak pernah membawa mobil sendiri.
"Mungkin takut nggak fokus nyetir karena masih sering nyeri kali ya", pikir Alfi.
"Dosen killer ini kenapa selalu ada dimana-mana sih, jangan jangan dia ngikutin aku lagi. Eh ge er banget deh kamu Nia", pikir Aghnia seraya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Pusing?", tanya Alfi melihat Aghnia menggelengkan kepalanya.
"Eh nggak kok pak", ujar Aghnia.
"Ayo saya antar pulang", ajak Alfi.
Kali ini Aghnia tidak menolak, ia mengiyakan tawaran Alfi. Hitung hitung menghemat daripada bayar ojek online.
Dalam perjalanan singkat itu, Alfi nampak membaca pesan dari Elviana bahwa dirinya telah selesai menemui temannya.
Sesampainya di mobil, seperti biasa Aghnia duduk di jok tengah. Baru saja mereka masuk, Aghnia melihat sosok perempuan blasteran arab membuka pintu samping Alfi dan duduk dengan santainya.
"Kamu cepet baget, Vi?", heran Alfi, seraya mengunci pintu dan memasang sabuk pengaman.
"Iya, jadwal Indira padat jadi nggak bisa lama lama ngobrolnya", jawab Elviana.
"Itu, siapa mas?", tanya Elviana saat melihat sosok perempuan duduk di belakangnya.
"Oh, itu Aghnia, asisten baruku di kampus", sahut Alfi ringan saja, lantas melajukan mobilnya.
Aghnia yang mendengar wanita di depannya memanggil Alfi dan dosennya merespon dengan senyuman hangat, benar benar membuat jantung Aghnia tertusuk banyak duri, sakit tapi tak berdarah.
Elvina tak sengaja melihat Aghnia dari spion mobil, ia menoleh kebelakang melihat gadis dua tahun lebih muda duduk di jok tengah. Kedua wanita itu tak sengaja saling pandang, membuat mereka saling melempar senyum.
"Kita antar Aghnia pulang dulu ya Vi", ujar Alfi, pria itu sekilas memperhatikan Aghnia lewat spion dalam mobil.
"Iya mas", jawab Elvina.
Elvina melihat ke belakang, menjulurkan tangannya berkenalan dengan Aghnia. Aghnia menyambut tangan Elvina dengan senyum yang dipaksakan.
"Sheina Elviana"
"Aghnia Azizah"
Alfi menjelaskan pada Elvina, jika dirinya kebetulan bertemu saat Aghnia sedang kontrol luka jahitannya.
Sepanjang perjalanan Aghnia hanya diam, menjadi obat nyamuk, memperhatikan dua sejoli yang sedang bernostalgia. Ia menyesal menerima tawaran Alfi.
Gadis itu harus melihat keromantisan dosen dan pacarnya atau mungkin istrinya entah lah Aghnia tak tahu. Ia hanya tahu namanya.
Alfi menghentikan mobilnya di depan kontrakan Aghnia, menyempatkan melihat wajah Aghnia dari spion mobil. Pria itu mengerutkan kening melihat aura wajah Aghnia yang sendu.
"Jangan lupa buat materi presentasi untuk besok", peringat Alfi sebelum Aghnia turun.
Gadis itu mengangguk, tidak ada senyuman di wajahnya pun tak ada kata terimakasih yang keluar dari mulut Aghnia. Ia segera turun dari mobil dan masuk ke dalam kontrakan.
Aghnia membuka pintu kamarnya dengan kencang hingga pintu itu beradu dengan tembok, melepas slingbag dan melemparnya ke kasur. Ia pun mengambil bantal dan meremasnya kuat-kuat.
Risti yang sedang mengerjakan skripsi di ruang tengah mendengar suara pintu dibanting. Ia menghampiri kamar Aghnia dan melihat temannya nampak bersedih di kamar.
"Hei, kenapa sih? Pulang pulang langsung murung", ujar Risti heran.
"Kesel, kesel, kesel", ucap Aghnia meremas bantal dan sesekali menggigitnya.
"Nia, kamu kenapa sih?", bingung Risti.
"Jangan jangan kerasukan jin rumah sakit" gimana Risti.