Sequel " SEMERBAK WANGI AZALEA"
Zara Aisyah Damazal masih menempuh pendidikan kedokteran ketika dia harus mengakhiri masa lajangnya. Pernikahan karena sebuah janji membuatnya tidak bisa menolak, namun dia tidak tau jika pria yang sudah menjadi suaminya ternyata memiliki wanita lain yang sangat dia cintai.
" Sesuatu yang di takdirkan untukmu tidak akan pernah menjadi milik orang lain, tapi lepaskan jika sesuatu itu sudah membuatmu menderita dan kau tak sanggup lagi untuk bertahan."
Akankah Zara mempertahankan takdirnya yang dia yakini akan membawanya ke surga ataukah melepas surga yang sebenarnya sangat di cintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 : Interaksi pertama
Zara melangkah masuk ke dalam rumah yang ke depannya dia belum tau, rumah itu akan membawa kebahagiaan atau justru malapetaka baginya.
Ezar melempar kunci mobil di atas meja." Duduk, aku mau bicara."
Zara mengambil posisi duduk tepat di depan Ezar.
" Kau sudah mengerti maksud perkataan ku tadi siang kan?"
Zara mengangguk.
" Bagus, selama kita menikah, kamu akan tinggal di sini bersamaku, tapi kita akan tidur terpisah. Kau bisa memilih, rumah ini memiliki banyak kamar, terserah kau mau tidur di mana, asal tidak di sana." Terang Ezar panjang lebar dengan telunjuk yang menunjuk ke arah kamar tepat di belakang Zara.
" Baiklah."
" Kau masih ingat perkataanku untuk merahasiakan pernikahan ini?"
" Iya." Singkat Zara.
" Di kampus kau adalah mahasiswaku, dan kau harus menjaga mulutmu agar tidak kelepasan saat kau berbicara dengan teman temanmu. Dan, kau punya mobil sendirikan? Jangan mengharap aku akan mengantarmu. Dan usahakan kau berangkat lebih pagi dariku."
" Baik."
Ezar menatap tajam wajah Zara, gadis itu hanya menjawab singkat semua perkataannya. Tapi baginya itu lebih bagus.
Ezar mengeluarkan dompetnya dan memberikan sebuah kartu pada Zara." Ambil ini, kau boleh pergunakan semaumu. Limitnya tidak terbatas."
" Tidak perlu, saya juga punya dok."
" Kembalikan kartu itu pada ayahmu. Aku tidak ingin di cap suami yang tidak menafkahi istri."
" Bukan abi yang memberikannya, tapi mas Zayn."
" Zayn?"
Ezar terperangah. Sesaat dia sampai lupa kalau gadis berjilbab panjang yang sekarang berstatus sebagai istrinya berasal dari keluarga konglomerat. Tapi yang Ezar herankan adalah, bagaimana mungkin Zayn bisa memberikan black card pada Zara sementara mereka seumuran. Zayn masih kuliah sama seperti Zara, lalu dari mana asal sebenarnya dari black card itu?
" Iya, mas Zayn yang memberikannya pada saya tiga tahun lalu."
" Itu pasti dari ayahmu dan Zayn hanya di beri mandat untuk memberikannya padamu."
" Tidak, dulu saya punya dua dok, satu dari abi dan satu dari mas Zayn, tapi kartu yang abi berikan sudah saya kembalikan padanya."
Meski masih diliputi rasa penasaran, Ezar tetap memberikan kartu itu pada Zara." Ambil saja, kalau perlu kembalikan black card pemberian Zayn."
" Baiklah."
" Aku mau istirahat, kau cari sendiri kamar yang sesuai seleramu."
Zara tidak menjawab, dia hanya menatap kepergian Ezar yang menghilang dari balik dinding.
Zara menghela nafas panjang. Dia mengedarkan pandangannya.
" Aku saja baru menginjakkan kaki di rumahnya, mana aku tau kamarnya di sebelah mana, harusnya dia mengajakku tour dulu." Gumam Zara lalu perlahan melangkah mencari keberadaan kamar yang di maksud Ezar.
Setelah hampir tiga puluh menit berputar putar, Zara akhirnya menentukan pilihannya, dia memilih salah satu kamar yang view nya menghadap ke taman belakang. Kamar yang dia rasa sangat tenang dengan akses yang dekat dengan dapur.
Zara merebahkan tubuhnya, baru saja pelayan datang membawakan beberapa lembar pakaian dari rumahnya.
Jam di dinding berdetak tiga kali pertanda sudah masuk dini hari, Ezar sudah membungkus tubuhnya dengan selimut dan tiba tiba saja, ponselnya berdering. Sebagai dokter yang kadang melakukan operasi dadakan, itu hal lumrah bagi Ezar, jadi jika dia mendapatkan telpon tengah malam, itu sudah sewajarnya.
Namun suara tangisan di seberang sana membuatnya membuka mata dengan sempurna. Panggilan itu dari ibunya, apa yang terjadi?
" Assalamuaikum bu. Ada apa?"
" Waalaikumsalam, opa nak, opa mu sudah pergi meninggalkan kita semua." Ibu Sindy menangis sesenggukan.
Ponsel Ezar terjatuh karena tangannya tiba tiba saja gemetar dan tidak kuat menahan beban benda segi empat itu yang sebenarnya sangatlah ringan.
" Halo,,halo.."
" Iya bu." Ezar mengambil kembali ponselnya yang terjatuh.
" Segera ke rumah sakit, bawa Zara juga."
" Iya bu."
Panggilan berakhir.
Ezar segera berganti pakaian, keluar dari kamar dan memungut kunci mobil yang dia lemparkan semalam di atas meja.
Mobil sudah dia nyalakan, hingga akhirnya dia tersadar jika ibunya menyuruh membawa Zara ikut dengannya.
" Sial, merepotkan saja." Ezar membuka pintu mobil dan membantingnya, di saat harus buru buru ke rumah sakit, dia punya tugas lain yaitu membangunkan bocah yang dia yakini masih tertidur pulas.
Ezar kembali masuk ke dalam rumah. Dan di sinilah ia mulai bingung. " Kamarnya yang mana?" Ezar merutuki dirinya sendiri. Dia tidak menyangka akan mendapatkan telpon mendadak di tengah malam begini.
Jadilah dia bekerja ekstra, membuka setiap pintu kamar yang berada di rumahnya.
Keributan yang di lakukan Ezar mengundang bibi yang bekerja di rumahnya datang menghampiri.
" Ada yang bisa saya bantu tuan?" Kata wanita paruh baya itu sopan.
" Oh..mungkinkah bibi tau kamar Zara yang mana?"
" Nyonya tidur di kamar paling ujung tuan."
" Terima kasih bi."
Tanpa menunggu lama lagi, Ezar ke kamar ujung sesuai petunjuk bibi Surti.
Karena buru buru, Ezar tidak sempat mengetuk dan membuka pintu dengan kasar. Namun dia sungguh terkejut dengan pemandangan yang dia lihat di dalam sana.
Untung dia tidak meneriaki Zara dengan lantang, karena di pikirannya gadis itu sedang tidur dengan air liur yang sudah membentuk pulau dan merusak bantalnya.
Tapi apa yang dia lihat? Zara memakai mukena dengan posisi sujud sedang melaksanakan shalat malam.
Ezar menutup pintu pelan, jauh berbeda ketika dia membukanya lima menit lalu.
Dia berdiri tak jauh dari kamar Zara, menunggu gadis itu selesai shalat dan mengetuk kembali pintu kamarnya.
Lima menit dia rasa cukup, lalu Ezar melangkah mendekati kamar Zara. Ezar belum sempat mengetuk, Zara sudah membuka pintu.
" Ka..kau sudah selesai?" Ucapnya tergagap.
" Iya. Ada apa?"
" Kita harus segera ke rumah sakit, opa berpulang."
" Innalilahi wainnailaihi rojiun. Ayo."
Mereka akhirnya berangkat ke rumah sakit.
Tidak butuh waktu lama, Ezar dan Zara sudah berada di tengah tengah keluarga besar mereka.
Umi Aza datang menghampiri anaknya." Umi menelpon mu dari tadi sayang."
" Ponsel Zara tertinggal di rumah umi. Oiya, umi bawa air minum?"
" Ada, kamu belum sempat sahur?"
" Iya umi."
" Air minum ada di dalam tas umi, ada roti juga, bawa keluar dan makanlah dulu."
" Iya umi."
Tanpa menganggu keluarga lainnya yang sedang berduka, Zara diam diam keluar dari kamar sembari membawa tas umi Aza.
Tapi gerakan kecil dan tak terlihat dari Zara masih bisa di intai Ezar.
Zara duduk di kursi ruang tunggu, membuka tas uminya dan mengambil roti serta air minum di sana.
Umi Aza memang ibu yang sangat luar biasa. Dia seperti mengerti kebutuhan anak anaknya tanpa harus di beri tau.
Dari jauh, Ezar memperhatikan Zara yang sedang makan sebungkus roti. " Mungkinkah dia kelaparan? Aku ingat, dia belum makan apapun sejak kami resmi menikah. Akh,,kenapa aku bisa lupa?"
Jenazah Opa Erwin di makamkan setelah sholat dzuhur. Keluarga besar masih berkumpul di rumah mewah keluarga Pradipta.
Ezar mengedarkan pandangannya, ada seorang wanita yang dia cari, tapi tidak melihatnya dari tadi.
" Cari siapa? Cari kak Zara ya?" Kata Faiz adik Ezar.
" Sok tau, dasar bocah. Sana pergi!"
" Ala...tidak usah pura pura kak, Faiz maklum, yang namanya pengantin baru, tidak bisa jauh jauhan, rindunya bertambah dua kali lipat." Goda Faiz.
" Kalau kau tidak pergi sekarang juga, aku akan membujuk ibu dan ayah memasukkan mu ke pesantren."
" Iya..iya..Begitu saja marah. Aku tadi melihatnya jalan ke arah taman, itu info akurat ya kak. Kalau ketemu, uang jajan Faiz di tambah. Ok.." Ujarnya langsung berlari takut kakaknya akan murka.
Ezar menggelengkan kepala, kemudian berjalan ke dapur dan mengambil beberapa macam buah lalu dia susun di atas piring. Seperti petunjuk Faiz tadi, Ezar mencari Zara di taman belakang.
Langkahnya terhenti ketika melihat Zara yang tengah duduk menatap lurus ke depan, entah dia menikmati indahnya bunga ataukah hanya sedang melamun tidak jelas.
" Apa yang kau lakukan di sini?"
Zara terperanjat, lamunannya usai kala Ezar berjalan ke arahnya.
" Tidak ada dok, hanya cari angin segar saja."
Ezar mengambil dua buah apel, yang satu dia sodorkan pada Zara." Kau mau?"
" Tidak dok terima kasih."
" Kau jangan ge'er, aku bukan berbaik hati padamu, tapi buahnya kasian kalau kau tidak makan."
Zara tersenyum manis, bahkan senyumannya itu membuat Ezar lupa bagaimana caranya menggigit apel yang ada di tangannya.
" Saya tidak Ge'er dok, hanya memang saya belum bisa makan sampai adzan maghrib berkumandang." Ujarnya tersipu.
Ezar lebih salah tingkah lagi, dia segera menyimpan apel itu kembali.
" Kamu puasa?"
...****************...
stadium akhir 😩
kasian ghina
zara ank msih bayi knp la langsg lanjut pendidikn ny. fokus di rs, urus ank2 dn urus suami dulu knp. sayang x momen ny bnyak melewat kn tumbuh kembang si kembar. toh zara gk kekurangn materi tujuh turunan😁