DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Louis melangkah cepat, sepatu hitamnya menimbulkan bunyi yang tajam di sepanjang lorong rumah sakit yang sepi. Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya, berharap segera tiba di ruangan tempat Bella sedang dirawat.
Setibanya di depan pintu, Louis menghela napas panjang. Tangan dinginnya menggenggam erat gagang pintu sebelum membukanya perlahan.
Di dalam, Bella terbaring dengan mata terpejam. Wajahnya pucat, dan napasnya tampak tenang. Louis mendekati ranjang dan duduk di kursi di sebelahnya, menatap Bella dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Tiba-tiba, Bella membuka mata perlahan dan menyunggingkan senyum kecil.
"Hei..." Bella berbisik.
"Kamu membuatku khawatir," kata Bella.
Bella terkekeh lemah. "Maaf. Sepertinya aku sedikit berlebihan."
"Sedikit? Kamu itu keras kepala. Sudah kubilang jangan terlalu memaksakan diri. Jika capek istirahat tapi kamu... hah... sulit diberitahu."
"Aku tidak keras kepala," ucap Bella.
"Kalau bukan keras kepala, lalu apa?" tanya Louis.
Bella tertawa lagi. "Hanya bandel kok."
"Hem, aku lupa jika kamu masih muda dan labil," kata Louis.
Bella menggenggam tangan Louis. "Terima kasih sudah ada di sini."
"Sama-sama."
Obrolan mereka terhenti ketika seorang dokter masuk ke ruangan, membawa clipboard dengan senyum tenang.
"Bagaimana kondisimu, Bella?" tanya dokter, lalu melirik Louis. "Anda suaminya, bukan?"
"Iya, saya Louis. Bagaimana kondisi Bella, Dok?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bella hanya kelelahan. Kondisinya stabil, tapi dia butuh banyak istirahat."
Bella mengangguk. "Aku baik-baik saja, Louis. Cuma lelah sedikit."
Louis menghela napas lega. "Terima kasih, Dokter."
Setelah dokter meninggalkan ruangan, Louis kembali menatap Bella.
"Jadi, kapan kamu akan mendengarkanku?"
Bella menyeringai kecil, memiringkan kepala. "Mungkin setelah kamu berhenti cerewet."
"Aku membatalkan semua pertemuanku hari ini hanya demi memastikan kamu baik-baik saja di sini."
Bella mengerutkan alis, sedikit terkejut mendengar hal itu.
"Kamu tidak harus melakukannya, aku tidak meminta itu. Aku hanya kelelahan, bukan kondisi yang serius," kata Bella.
"Sekarang, prioritas utamaku adalah kamu. Aku tidak akan membiarkan diriku pergi sementara kamu terbaring di sini," ucap Louis.
"Kenapa kamu sampai melakukan ini semua?"
"Karena kamu istriku, Bella. Tentu saja aku harus ada di sini untukmu."
"Jadi hanya karena aku istrimu?"
Louis terdiam, ekspresinya sulit dibaca. "Tentu saja. Itu hal yang seharusnya dilakukan seorang suami, kan?"
Bella menggigit bibirnya, sedikit kecewa dengan jawaban Louis yang terasa begitu formal.
"Aku tahu kamu adalah suami yang baik, tapi sampai sekarang, kamu belum pernah mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban itu."
Louis menatap Bella, tampak bingung. "Maksudmu sesuatu seperti apa?"
"Aku ingin tahu apa ada sesuatu di balik semua perhatian ini yang lebih dari sekadar kewajiban karena aku istrimu?" tanya Bella.
Louis masih terdiam, namun kali ini tatapannya melunak. Ia tampak mengumpulkan kata-kata yang sulit ia ucapkan. Setelah beberapa detik, ia menggenggam tangan Bella lebih erat.
"Bella... Aku mungkin belum pernah mengatakannya, tapi mungkin sekarang waktunya."
Bella menahan napas, menatap Louis penuh harap.
Louis menatap Bella, kali ini dengan ekspresi yang sedikit kesal. Ia melepaskan genggamannya, duduk tegak sambil menghela napas panjang.
"Kamu itu memang keras kepala. Aku sudah bilang berkali-kali untuk jaga kesehatan, jangan memaksakan diri. Lihat sekarang sampai harus terbaring di rumah sakit!" ucap Louis.
Bella terkejut, tidak menyangka respons Louis akan sekeras itu. Ia menunduk, menggenggam selimutnya erat.
Bella terdiam, perasaan kecewa perlahan menguasai hatinya, seperti yang ia duga, Louis tetaplah Louis. Bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan perasaannya.
"Aku hanya berharap kamu bisa mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar omelan tentang aku yang ceroboh," kata Bella.
Louis sebenarnya mengerti keinginan Bella, namun perasaannya terjebak dalam kebiasaan lamanya yang sulit terbuka.
"Aku peduli padamu. Jika tidak, aku tidak akan ada di sini, kan?" tanya Louis.
"Ya, aku tahu kamu peduli tapi hanya itu?" tanya Bella kembali.
"Sudahlah, kamu istirahat saja dan jangan memikirkan yang aneh-aneh dulu," kata Louis.
Louis keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah berat. Di ujung lorong, ia melihat Alister yang segera menghampirinya begitu melihat Louis keluar.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Alister dengan nada sopan.
"Alister, Bella mulai menanyakan soal perasaanku."
Alister menaikkan alisnya. "Maksud Tuan, Nona Bella menginginkan kepastian lebih dari sekadar formalitas?"
Louis mengangguk. "Dia mulai menagih sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian yang selama ini kutunjukkan dan jujur saja, aku belum bisa memberinya itu."
"Apakah Tuan yakin bahwa perasaan Tuan tidak ada sama sekali?" tanya Alister.
Louis menatap kosong ke lantai, memikirkan setiap pertemuan, kebersamaan, dan kebiasaan kecil yang ia dan Bella jalani bersama.
"Aku tidak tahu. Aku peduli padanya, aku ingin dia aman dan bahagia. Tapi untuk cinta? Aku bahkan tidak yakin apa yang kurasakan itu cukup untuk disebut cinta. Tidak sekarang tapi aku juga tidak ingin menyakitinya," jelas Louis.
"Lalu, apa yang akan Anda lakukan, Tuan?"
"Aku tidak tahu. Aku bisa terus bersikap seperti ini, peduli dan ada untuknya tapi aku tidak ingin memberi harapan palsu padanya. Aku tidak mau dia terluka karena penantiannya yang sia-sia."
"Mungkin Anda perlu waktu untuk memahami perasaan Anda sendiri, Tuan. Nona Bella bisa menunggu selama Anda jujur padanya, meski itu bukan jawaban yang ia inginkan."
Louis mengangguk. Ia tahu Alister benar, tapi ia juga sadar bahwa setiap penundaan hanya akan membuat Bella semakin terluka. Dengan perasaan bimbang, ia menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Aku hanya tidak ingin dia terluka karena aku, tapi aku juga tidak tahu apakah aku bisa menjadi orang yang dia harapkan," kata Louis.
Di balik pintu, Bella berdiri terpaku mendengar setiap kata yang diucapkan Louis pada Alister. Tubuhnya terasa lemas, tapi bukan karena sakit yang membawanya ke rumah sakit ini. Kali ini, rasa sakitnya datang dari hati yang hancur karena kenyataan.
Bella tersenyum kecut, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapa bodohnya dia, berharap sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian Louis. Padahal, Louis sudah memberinya begitu banyak kesempatan kedua, keamanan, kehidupan baru yang jauh lebih baik dari masa lalunya. Louis sudah menyelamatkannya. Seharusnya itu sudah cukup, bukan?
Ia menutup matanya, berusaha menenangkan diri. Ia sadar sekarang, betapa naifnya berharap Louis membalas perasaannya. Cinta Louis... itu terlalu jauh dari yang bisa ia jangkau. Louis menikahinya bukan karena cinta, tapi karena hanya ingin menyelamatkan hidupnya.
"Bella, bodohnya kamu," gumamnya lirih, seakan mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Ia mengusap pipinya, memastikan tak ada air mata yang jatuh.
"Aku akan berhenti mengharapkan lebih. Louis sudah memberiku lebih dari yang pantas aku terima. Aku tidak akan meminta lebih darinya," ucap Bella.