Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerandoman Marlon
Fenty berjalan menuju ruangan Marlon, lalu ia menoleh sekilas kepada Zanya sambil mengernyit.
"Mama? Ada apa?" tanya Marlon saat melihat sang mama muncul di pintu.
"Mama cuma mampir, pengen liat wajah kamu, karena kamu gak pernah datang ke rumah." Jawab Fenty.
"Aku berniat pulang ke rumah besok, kan tanggal merah Ma" Ujar Marlon.
"Oh, begitu? Hari ini kamu sibuk?" tanya Fenty.
Marlon tersenyum. "Iya, sibuk sekali, Ma... Aku ada 2 meeting dan beberapa pertemuan." Jawabnya.
"Hmmm.... Baiklah kalau begitu, Mama pulang, ya... Mama tunggu di rumah besok, Ya!" ujar Fenty.
Marlon mengangguk, lalu mencium pipi sang Mama. "Hati-hati, ya, Ma!" ujarnya.
***
"Ayo, aku traktir kalian berdua makan steak!" Ajak Marlon kepada Radit dan Zanya.
"Pak, sayangnya saya udah janji makan malam dengan pacar saya, ini hari jadi kami..."Ujar Radit sambil menyetir.
Mereka baru pulang bertemu para investor, dan Marlon terlihat sangat puas dengan hasil pertemuan itu. Wajahnya terlihat berseri-seri sepanjang jalan.
"Wah, sayang sekali..." Marlon menyayangkan, namun tidak terlihat kecewa.
"Lain kali aja saya ikut, Pak, kalau lagi gak ada janji." ujar Radit.
"Iya, apa boleh buat..." Jawab Marlon, namun senyum tipis tersungging di bibirnya.
***
"Kita ke taman dekat kantor, yuk!" ajak Marlon. Ia dan Zanya sedang berjalan kaki pulang sehabis makan malam di restoran steak terdekat dari kantor.
"Boleh..." Jawab Zanya.
Marlon memegang tangan Zanya saat menyebrang jalan, namun sampai di seberang ia masih tidak melepaskan tangan Zanya. Zanya buru-buru melepaskan tangan Marlon, ia takut tidak bisa mengendalikan perasaannya jika tangan mereka masih terus bergandengan.
"Oh, maaf, aku gak sadar masih pegang tangan kamu." Ucap Marlon, saat Zanya menarik tangannya.
Marlon duduk di sebuah bangku untuk menghilangkan suasana canggung. Zanya pun ikut duduk di samping Marlon.
"Zanya, kamu kan sejak kecil gak pernah bertemu dan merasakan kasih sayang ayahmu. Ada gak, hal yang paling kamu inginkan dari ayah kamu?" Tanya Marlon tiba-tiba.
Zanya berpikir sejenak. "Hmmm... Banyak, tapi yang paling membuat saya iri adalah saat Khaifa mendapat hadiah ulang tahun dari papanya. Waktu itu kami sama-sama SMA, dan kebetulan saya sedang bermain ke rumah Khaifa. Tiba-tiba papa khaifa datang membawa sebuah boneka besar, dan memberikannya pada Khaifa sebagai hadiah ulang tahun. Sederhana, tapi tidak semua anak bisa mendapatkannya." Zanya tersenyum kecut.
"Selain itu?" tanya Marlon lagi.
"Entahlah, Pak... Sepertinya hal lainnya tidak mungkin bisa saya dapatkan, karena masanya udah lewat. Saya ingin diambilkan raport oleh ayah, ingin diantar sekolah oleh ayah, hal-hal seperti itu..." Jawab Zanya.
Marlon menganggukkan kepalanya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menggerayangi kakinya, ia pun memeriksa. Marlon melihat sesuatu bergerak di kakinya, hewan dengan delapan kaki yang sangat ia takuti, ia membelalakkan matanya, lalu berdiri dan melompat-lompat.
"Huaaaaaaa......! Tolong singkirkan ini!" jeritnya, membuat Zanya ikut panik.
"Ada apa, Pak?" tanya Zanya dengan wajah bingung bercampur panik.
"Laba-labaaaa...!" teriaknya sambil memejamkan mata dan menunjuk kakinya.
Zanya segera berjongkok, melihat kaki yang Marlon tunjuk, dan ia melihat seekor laba-laba kecil. Zanya mengambilnya, lalu berlari menjauh dari Marlon, kemudian melepas laba-laba itu di rerumputan.
"Sudah saya singkirkan, Pak!" Ujar Zanya.
Marlon membuka matanya, melihat Zanya yang tersenyum geli bahkan seperti menahan tawa.
"Udah sebesar ini, masih aja takut laba-laba?" tanya Zanya menutup mulutnya menahan tawa.
Marlon bersedekap. "Aku bukan takut, aku cuma geli melihatnya!" elaknya. Lalu ia tersadar, apa katanya tadi? 'Masih takut laba-laba?' apa itu artinya Zanya tau bahwa sejak dulu ia takut laba-laba?
"Kamu tau aku dari dulu takut laba-laba?" tanya Marlon akhirnya.
Zanya tersadar ia salah bicara tadi. "Maksud saya, biasanya yang takut laba-laba itu anak kecil, Anda kan sudah dewasa, tapi masih takut laba-laba?" ralatnya.
"Aku bukan takut! Aku cuma geli!" Marlon mengulang perkataannya tadi.
Zanya mengangguk-angguk sambil tersenyum geli. "Iyaa... Iyaa...!" jawabnya.
"Jangan meledek aku! Lagipula kenapa ada laba-laba di taman ini?" Marlon menutupi rasa malunya dengan memasang wajah kesal.
Zanya kembali tertawa. "Ini memang habitatnya, Pak..." ujarnya di sela tawa.
Marlon cemberut melihat Zanya tertawa. "Ayo kita pergi dari sini, sebelum laba-laba tadi bawa teman-temannya kemari." Marlon berjalan pergi meninggalkan bangku yang mereka duduki tadi. Dan Zanya mengikutinya dari belakang dengan wajah geli, tak disangkanya Marlon yang ketakutan bisa terlihat lucu dan menggemaskan.
***
"Marlon, Mama selalu kesepian di rumah ini." Ujar Fenty.
Hari ini Marlon mengunjungi rumah orangtuanya, seperti janjinya kemarin.
"Kenapa Mama gak seperti ibu-ibu lain yang arisan, senam, dan liburan dengan teman-teman? Dengan begitu, Mama gak akan sering di rumah, dan gak akan kesepian." Marlon memberi saran.
"Udah... Tapi, Mama gak cocok dengan pertemanan seperti itu." Fenty menghela napas.
"Marlon, apa gak ada gadis yang kamu suka di luar sana? Yang bisa kamu nikahi segera, supaya Mama bisa punya teman di rumah..." Ujar Fenty.
Marlon tersenyum. "Ada, Ma..." Jawabnya.
Fenty menatap Marlon penuh penasaran. "Seperti apa orangnya?" tanya Fenty.
"Dia cantik, dia kuat, dia mandiri, aku suka semua yang ada pada dia." Jawab Marlon.
Fenty semakin penasaran. "Siapa orangnya? Kapan kamu kenalin sama Mama?" tanyanya.
"Nanti, Ma, kalau sudah saatnya." Jawab Marlon.
Fenty cemberut. "Kenapa sih pakai rahasia-rahasia segala?" Ujarnya.
"Gak rahasia, Ma... Tapi memang belum saatnya aja, Mama sabar aja, ya!" Jawab Marlon sambil tersenyum.
***
"Anda mau beli apa di sini, Pak?" Tanya Radit yang mulai lelah mengikuti Marlon.
Sore ini Marlon meminta ia menemani Marlon berbelanja. Seperti biasanya jika bosnya itu sedang tidak ada perkerjaan, maka ia akan pergi ke toko-toko untuk berbelanja, walau berakhir tidak membeli satu barang pun, entah apa yang ia cari. Karena Zanya hari ini libur, maka mau tidak mau ia meladeni tingkah random bosnya ini sendirian.
Dan saat ini Marlon memasuki toko boneka, Radit sudah bisa memastikan, Marlon tidak membeli apapun juga di toko ini. Radit menatap Marlon yang memegang-megang boneka, menimbang-nimbang seolah ada boneka yang ia suka.
"Memang dia mau ngasih boneka ke siapa? Keponakan gak ada, adik gak punya, anak apalagi. Pasti sebentar lagi dia keluar dari toko ini sambil melenggang." Gumam Radit.
Marlon membawa sebuah boneka kucing panjang seperti guling yang ukurannya lumayan besar, lalu berjalan ke kasir.
Boneka yang dibeli Marlon.
Radit terperangah melihat Marlon. "Random banget bos gue ini..." Desahnya sambil berjalan mengikuti Marlon.
"Sini, biar saya bawakan, Pak." Radit hendak mengambil boneka yang sudah dibungkus itu dari tangan Marlon.
"Gak usah, aku bisa sendiri. Ayo, kita pulang." Marlon terlihat bahagia menenteng boneka itu.
Radit tercengang, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan bosnya yang sering di luar dugaan.