Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Marah Tak Beralasan
Selama ini yang membuatnya belum mengajukan gugatan perceraian, karena belum memiliki dasar untuk menuntut ke pengadilan agama. Akan sangat lucu bagi pengadilan jika mengabulkan gugatan perceraian hanya karena tidak ada rasa cinta diantara keduanya. Sedangkan pernikahan yang terjadi telah menghasilkan anak diantara mereka.
Bisma membuka ponsel dan mulai merekam percakapan keduanya dengan harapan menemukan sesuatu yang akan membuat persidangan perceraian mereka mudah tanpa aral.
Senyum mulai menghiasi bibirnya mengetahui bahwa sarapan paginya kali ini memberikan ia keuntungan. Ia ingin segera melepaskan statusnya dan memberikan kesempatan pada Ajeng untuk memulai hidup baru, dan mengenyampingkan perasaan yang mulai hadir mengganggu ketenangannya di setiap malam menjelang.
“Ajeng perempuan perfeksionis yang ku kenal .... “ Hilman mulai membuka pembicaraan.
“Benar. Aku sangat kagum akan karakternya yang satu itu,” puji Sigit menimpali.
Bisma mencibir mendengar puja-puji kedua sosok lelaki di belakangnya yang tak menyadari pembicaraan mereka kini telah direkam dan bakal dijadikan barang bukti.
“Aku baru tau kalau ia berpisah dengan suaminya setahun belakangan ini ... “
Bisma mengerutkan kening mendengar ucapan Hilman kemudian. Tapi ia tetap berprasangka terbalik dengan kenyataan sebenarnya.
“Ajeng tidak pernah menceritakan perihal rumah tangganya. Hendra pun tidak mau menceritakan penyebab perpisahan Ajeng dan suaminya. Aku yakin, keduanya mempunyai karakter yang sama, idealis.”
“Kalau sudah selama itu kamu menunggu, kenapa tidak mencari perempuan lain? Kamu kan lajang?”
Hilman tersenyum kecut mendengar pertanyaan Sigit yang terus mengorek keterangan darinya.
“Aku sudah terlalu banyak mengenal perempuan dari grade A hingga terendah sekalipun. Permainanku dengan perempuan sudah ku akhiri dua tahun belakangan ini semenjak aku mengenalnya. Di usiaku yang menginjak 38 tahun, aku hanya ingin ketenangan dan kenyamanan. Pada diri Ajeng kutemukan apa yang ku inginkan .... “
“Cuih .... “ Bisma meludah mendengar omongan Bisma.
“Apa Ajeng tau perasaanmu?”
Hilman mengangguk samar dan mengiyakan dengan pelan. Pandangannya menerawang jauh. Sudah beberapa kali ia mengungkapkan perasaannya, tapi Ajeng masih menganggapnya bercanda.
Bisma semakin menajamkan pendengarannya. Belum ada pertanda dari percakapan yang terjadi untuk dijadikan alat bukti. Ia masih penasaran dengan pengakuan Hilman.
“Ajeng pernah bilang, bahwa ia nyaman dengan kesendiriannya. Ia hanya ingin membesarkan Lala dan membantu anak-anak yang kurang beruntung yang ikut dengannya .... “
“Itu memang sifat Ajeng. Yang ku dengar dari rekannya, ia paling tidak bisa melihat orang kesusahan, karena ia juga terlahir dari keluarga susah,” sambung Sigit menyela ucapan Hilman.
“Apa kamu mengenal mantan suami Ajeng?” Sigit merasa penasaran dengan sosok mantan suami Ajeng.
“Untuk apa mengetahui masa lalu Ajeng? Aku hanya ingin memberikan kebahagiaan jika ia menerima niat baikku. Kami akan melangkah bersama untuk masa depan yang lebih baik.”
“Apa mungkin Ajeng belum move on dari mantannya?”
Senyum tipis terulas di wajah Bisma mendengar pertanyaan Sigit yang tiba-tiba di luar dugaannya.
“Nggak lah,” jawab Hilman cepat, “Ajeng akan marah jika aku menyinggung hal tersebut. Ia hanya bilang belum siap untuk membuat komitmen. Ia hanya fokus pada putri dan usahanya.”
“Sebenarnya mudah saja jika kamu ingin mempercepat Ajeng menerima lamaranmu .... “
“Caranya?”
“Kamu dekati saja putrinya. Aku yakin perlahan Ajeng akan membuka hatinya untukmu. Perempuan akan mudah luluh jika putrinya mulai ada rasa ketergantungan. Paham kan apa yang ku maksud?”
Tangan Bisma mengepal mendengar percakapan keduanya. Bagaimana mungkin putrinya dijadikan alat untuk merebut hati Ajeng. Apa ia siap melepas putri kecilnya yang kini mulai lekat di hatinya....
Hatinya mulai terasa panas. Rasa amarah menyeruak ke dalam dada. Ia kesal dengan pembicaraan kedua laki-laki dewasa yang ingin mencuri perhatian pada putri kecilnya dan Ajeng.
Bisma menggelengkan kepala mengingat ia tidak punya hak untuk kesal atau pun marah, karena Ajeng bukanlah siapa-siapanya lagi. Tapi Lala ....
“Kamu sudah pengalaman sepertinya,” Hilman tertawa kecil mendengar ucapan Sigit yang sukup masuk akal baginya, “Apa pak Sigit sudah berkeluarga?”
Sigit menggelengkan kepala dengan cepat. Keasyikan bersekolah dan mengejar karier membuatnya tak memiliki waktu untuk mencari pendamping. Ia yakin seiring waktu akan menemukan orang yang tepat.
Ketika bertemu dengan seseorang yang telah menggetarkan hatinya, ternyata telah dimiliki orang lain. Tapi mendengar bisik angin yang menceritakan tentang kegagalan rumah tangganya membuat Sigit bersemangat kembali.
Ia berusaha mencari informasi lebih banyak, hingga mutasi kerja untuk mengetahui semuanya. Di sinilah kini ia berlabuh, berharap masih ada asa untuk cinta yang ingin ia gapai.
“Atau pernah dekat dengan Ajeng?” Hilman tidak puas dengan jawaban Sigit yang mengundang tanda tanya besar di kepalanya.
Senyum tipis hadir di wajah Sigit. Kembali ia menggelengkan kepala melihat tatapan Hilman yang penuh selidik padanya. Ternyata perempuan yang ia damba telah memiliki calon di masa depan.
“Bagaimana pak Sigit mengenal Ajeng?” rasa penasaran hadir di benak Hilman melihat sikap Sigit yang begitu perhatian pada Ajeng dan selalu datang setiap pagi untuk sarapan.
“Saya dan Ajeng pernah bekerja di tempat yang sama,” tatapan Sigit beralih pada pemandangan alam yang terpampang menyegarkan di halaman kafe resto.
Ia mengingat kembali saat pertama menginjakkan kaki di salah satu bank milik pemerintah kota Surabaya. Tatapan matanya terus mencuri pandang pada sosok kalem yang mengulas senyum tipis saat pertemuan dan perkenalan dengan staf yang akan ia pimpin.
Rasa penasaran membuatnya seharian membaca biodata para pegawai yang akan membantunya dalam bekerja. Rasa kecewa tak bisa ia hindari mengetahui status pegawai yang dihari pertama telah membuatnya merasa berbeda.
Walau pun tak terucap Sigit secara langsung, tapi Hilman merasa bahwa mantan atasan Ajeng juga memiliki perasaan khusus padanya. Ia tak ingin berspekulasi lebih jauh. Secepatnya ia akan memperkenalkan Ajeng pada kedua orang tuanya.
“Aku menyayangi Lala seperti putriku sendiri,” Hilman mulai mengalihkan pembicaraan.
Ia khawatir sekarang ia punya saingan baru untuk mendapatkan Ajeng. Tidak menutup kemungkinan lelaki muda yang pernah jadi atasan Ajeng akan bergerak dalam diam.
Seperti pepatah ‘sebelum janur kuning melengkung, semuanya bisa terjadi’. Dan Hilman tidak ingin usahanya untuk bersama Ajeng di masa depan menjadi sia-sia.
“Aku dapat melihatnya,” Sigit berkata sambil manggut-manggut, “Semoga keinginanmu terwujud secepatnya. Ajeng perempuan yang baik dan ia berbeda dari setiap yang ku kenal.”
“Seperti saranmu, sepertinya aku akan memberikan perhatian yang lebih pada Lala,” Hilman berkata pelan, “Selama ini memang kedekatanku dan putri Ajeng masih kurang.”
“Jika seorang anak telah merasakan ketergantungan pada sosok yang ia anggap dekat, tak mustahil keinginanmu untuk mempersunting Ajeng semakin cepat.”
“Ku rasa apa yang pak Sigit katakan sangat masuk akal. Selama ini aku tidak pernah melihat mantan suami Ajeng datang berkunjung.”
“Pak Hilman bisa menggantikan figur seorang ayah,” sambung Sigit seketika, “Jika ikatan batin antara putrinya dan laki-laki yang bisa menggantikan sosok ayah yang ta pernah hadir dalam kehidupan Lala, saya yakin Ajeng semakin tersentuh.”
Rahang Bisma menegang mendengar ucapan Sigit yang sok tau dalam kehidupan Ajeng dan putrinya. Jemarinya mengepal menahan amarah yang tiba-tiba membuat darahnya mengalir cepat ke seluruh tubuh.
Ia merasa tidak terima keduanya membicarakan Ajeng dan Lala yang nota bene orang paling dekat dalam hidupnya. Apa lagi Lala putri kecilnya yang kini jadi target perbincangan keduanya.
Bisma hanya bisa menahan luapan emosi, karena tak bisa menjeda percakapan kedua lelaki yang masih terus berbincang-bincang santai penuh keakraban.
Hilman tersenyum lega melihat ketulusan yang terpancar dari sorot mata Sigit saat mengatakannya. Tiada lagi kekhawatiran yang sempat hinggap di dada melihat keakraban yang terjadi antara Ajeng dan atasannya.
“Aamiin. Terima kasih atas doanya. Saya juga berdoa yang sama untuk pak Sigit.”
Keduanya mengakhiri percakapan begitu Ajeng tiba di hadapan mereka sambil membawa Lala yang sudah cantik dan wangi untuk bergabung kembali.