Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 Membawa Ke Calon Mertua.
"Iya. Calon menantu Mama," jawab Trisya dengan mengangguk-angguk.
"Kamu sudah punya pasangan?" tanya Lena memastikan dan berita itu merupakan berita yang mengejutkan untuknya. Dia pasti sangat tidak percaya.
"Benar! aku sudah punya pasangan dan dalam bulan ini aku akan menikah dengan laki-laki yang aku pilih sebagai suamiku," jawab Trisya dengan yakin.
"Serius!" pekik Lena dengan sangat terkejut sampai suaranya sedikit keras dan mata yang melotot.
"Kenapa aku harus berbohong," sahut Trisya dengan mengangkat kedua bahunya.
"Ya. Ampun Trisya," Lena yang langsung memeluk Trisya begitu erat. Tubuh kecil Trisya sampai kesakitan yang kesulitan bernapas.
"Mama! sakit tahu! Mama kebiasaan deh. Tubuh Trisya bisa gepeng," kesal Trisya yang harus mendorong paksa pelukan itu.
Sementara Mona sejak tadi wajahnya terlihat tidak suka dan malah terlihat cemas. Haryanto menunjukkan ekspresi datar yang pasti juga masih kaget dengan kabar yang diberikan Trisya.
"Maaf sayang. Mama terlalu senang mendengar pernikahan kamu. Mama sudah tidak sabar melihat kamu menikah dan Mama memiliki seorang menantu. Mama lebih tidak sabar lagi kamu akan menjadi pemimpin di perusahaan Royale," ucap Lena yang memang langsung saja berterus terang dan tidak perlu harus pura-pura. Karena syarat menjadi pemimpin dengan adanya pernikahan yang di berikan Trisya.
Mona terlihat begitu kesal mendengar kata-kata Lena. Dia rasanya ingin cepat-cepat pergi dari sana.
"Kamu belum mengatakan kepada Kakek. Siapa calon suami kamu?" tanya Haryanto yang harus menanggapi serius pernyataan pernikahan itu.
"Kakek mengenal pria itu dan aku yakin Kakek juga akan menyukainya," jawab Trisya dengan tersenyum yang sangat yakin
Haryanto kebingungan dengan tebak-tebakan yang di lakukan Trisya.
Sebelum Devan menyatakan perasaannya kepada Trisya. Trisya terlebih dahulu menyelidiki bagaimana Devan di kantor dan ternyata Devan merupakan kepercayaan dari Haryanto. Jadi Trisya sangat percaya diri sekali mengatakan hal seperti itu.
"Siapapun calon suami kamu itu tidak penting yang terpenting kamu menikah. Lalu kamu bisa memimpin Perusahaan dan membuang parasit yang hanya mengganggu mata di Perusahaan," sahut Lena yang penuh dengan sindiran dan sorot matanya yang terus saja melihat ke arah Mona.
Mona sama sekali tidak mampu berkutik yang hanya terdiam saja. Tetapi dari ekspresi wajahnya tidak bisa bohong jika apa yang dikatakan Lena memang sungguh sangat menakutkan.
"Hmmmm, baiklah aku singkat saja memberikan semua kabar ini. Aku sangat berharap kalian semua memberikan restu dan juga doa untuk kelancaran pernikahanku dan jangan mempersulit ku," ucap Trisya dengan santai.
Trisya yang tidak mengatakan apa-apa lagi yang langsung pergi dari keluarganya itu.
"Saat Trisya menikah, Papa tidak punya pilihan lain selain menjadikan dia seorang Pemimpin. Papa sudah tua dan sebaiknya istirahat mengurus hal yang tidak penting. Jadi biarkan Trisya mengurus Perusahaan!" tegas Lena menyarankan.
"Apa maksud kamu tidak penting. Kamu mengatakan saya?" tanya Mona yang merasa tersinggung.
"Di dalam rumah ini yang memang tidak penting hanya kamu. Syukur kalau kamu sadar," jawab Lena dengan santai dan langsung pergi begitu saja.
"Lena minta maaf sebelum pergi!" tegur Haryanto dan lena pura-pura tuli saja yang terus saja berjalan menaiki anak tangga.
"Anak itu!" gumam Haryanto yang terlihat begitu emosi.
Makanan yang sengaja dipesankan Devan untuk keluarga Trisya yang ternyata sampai saat ini belum dimakan dan masih dihidangkan di atas. Padahal makanan itu sangat menggugah selera. Bagaimana selera makan. Jika berita yang baru saja mereka dengar sangat menakutkan.
**
Karena Trisya dan Devan akan menikah. Jadi Devan membawa Trisya ke kampung halamannya untuk dikenalkan dengan kedua orang tuanya.
Mereka berdua yang berada di dalam mobil dengan Devan yang menyetir. Mereka melewati jalanan yang di dekat lautan. Trisya menurunkan kaca mobil dengan kepalanya menoleh ke arah lautan dengan ombak yang sangat tinggi.
Trisya yang tampak menghirup udara dalam-dalam dan sepertinya sangat menyukai tempat tersebut yang begitu indah sekali. Tiba-tiba kepala Trisya melihat ke arah atas. Atap mobil yang dibuka secara otomatis.
Melihat Trisya yang tampak kaget seperti itu membuat Devan tersenyum dengan geleng-geleng kepala.
"Kamu baru pertama kali menaiki mobil seperti ini?" tanya Devan.
"Hah!" sahut Trisya dengan heran.
"Tangan orang Luar Negeri memang benar-benar sangat luar biasa. Lihatlah mereka menciptakan bentuk mobil yang seperti ini dengan secara otomatis atapnya terbuka. Aku tahu jika kamu begitu takjub melihat semua ini. Aku bukan bermaksud pamer. Tetapi jujur saja mobil ini aku beli secara kontan. Karena aku sama sekali tidak suka berhutang. Aku lebih baik menabung dengan walau yang sangat lama sekali. Tetapi yang terpenting aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dan termasuk mobil ini," jika tidak mendengarkan Devan pamer maka bukan Devan namanya.
Trisya hanya mengangguk-angguk saja dengan senyum yang penuh arti. Devan bisa-bisanya punya pikiran jika dia itu baru pertama kali menaiki mobil yang seperti itu dan seolah-olah dia kaget dan merasa tidak mungkin bisa pintu mobil terbuka sendiri. Devan menganggap Trisya kampungan.
Ekspresi wajah Trisya memang menunjukkan hal seperti itu yang tampak seperti orang linglung. Tetapi dia hanya sedang menikmati udara segar dan wajar tiba-tiba melihat ke atas.
"Kamu tidak mual bukan menaiki mobil sudah beberapa jam?" tanya Devan.
"Tidak sama sekali," jawab Trisya.
"Kamu jangan khawatir sebentar lagi kita akan sampai. Aku sudah membicarakan kamu kepada Ibu dan Ibu juga orang yang sangat baik dan dia tidak akan pilih-pilih soal menantu. Mau menantu itu dari gelandangan sekalipun Ibu tetap akan menerima dengan baik. Karena yang dibutuhkan Ibu hanya perilaku yang baik," ucap Devan.
"Iya," Trisya hanya mengiyakan saja biar cepat.
"Kenapa orang tua kamu tidak tinggal di Jakarta ikut bersama kamu, bukankah kamu mengatakan sudah mulai membangun rumah yang luas untuk mereka. Jadi apa salahnya jika orang tua kamu sementara tinggal bersama kamu di apartemen?" tanya Trisya yang tiba-tiba saja tertarik untuk bercerita masalah orang tua Devan.
"Aku membangun rumah di Jakarta itu untuk keluargaku nanti dan itu adalah keluarga kita. Untuk kedua orang tuaku sudah sangat nyaman sekali tinggal di desa. Lagi pula mereka mempunyai kebun yang sangat luas di desa dan jika mereka ke kota siapa yang akan menjaga kebun itu. Walau memiliki banyak saudara di sana. Tetapi mereka yang memang sudah hobi sejak dulu bekerja. Jadi mau tidak mau mereka ingin mengabdi di desa," jawab Devan yang sesekali menoleh ke arah Trisya.
"Kamu berapa bersaudara?"
"Aku memiliki kakak perempuan dia sudah menikah dan aku memiliki dua keponakan dari kakak perempuanku. Aku juga memiliki kakak laki-laki dan dia juga sudah menikah. Lalu aku memiliki sepasang adik," jawab Devan dan saat itu Trisya sembari menghitung jarinya.
"Kalian 5 bersaudara?" tanya Trisya memastikan.
"Benar sekali," jawab Devan.
"Banyak juga. Apa aku perlu bersosialisasi dengan saudara-saudaranya. Tapi mereka tinggal di desa dan tidak tinggal di Jakarta. Aku rasa tidak perlu mengambil hati saudara-saudaranya," batin Trisya.
"Kamu jangan khawatir mereka semua juga baik-baik dan sama sekali tidak sombong," ucap Devan.
Trisya hanya menganggukkan kepalanya saja.
Bersambung.....
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi