Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Naura memegang tanganku dengan erat, jari-jarinya yang kecil melilit jemariku. semuanya memasuki gedung besar tempat perlombaan diadakan.
Ketenangan di wajah Naura seolah mengatakan ia sudah terbiasa berada di panggung kemenangan.
Ketika pengumuman dimulai, hatiku berdegup kencang, bukan hanya karena gugup tapi juga penuh harapan. Dan akhirnya, suara juri menggema di seluruh ruangan,
"Pemenangnya adalah tim dari Naura!" Sorak sorai memenuhi ruangan, aku dan Kevin saling pandang, matanya berbinar dengan kebanggaan yang sama seperti yang kurasakan.
Lagi dan lagi, Naura telah membuktikan dirinya, tidak pernah mengecewakan harapan kami. "Mah, om Naura menang!" teriaknya dengan suara penuh kegirangan, lompat kecil kegembiraan memenuhi langkah kakinya.
"Iya nak, kamu sangat hebat," kataku, suaraku penuh kebanggaan, sementara Kevin mengangguk dengan senyum lebar, menambahkan, "Benar, kamu luar biasa, Naura."
"Cie mamah, om Kevin, kompak gitu," goda Naura dengan nada jenaka, melihat ke arah kami berdua.
Aku menangkap pandangan canggung Kevin, dia masih tersenyum, tapi ada semburat merah di pipinya yang tak bisa dia sembunyikan.
Mataku bertemu dengan matanya, dan dalam diam, kami berbagi kebanggaan yang sama. Di sana, di tengah keramaian, sejenak hanya ada kami bertiga, menyaksikan bintang yang terus bersinar, Naura, yang dengan tegas mengukir prestasinya satu demi satu.
Naura bersama kedua temannya melangkah maju untuk menerima penghargaan dan piala yang telah mereka raih. Mereka berpose bersama, tersenyum sumringah di depan kamera.
Tidak lama kemudian, Adnan dan Sandra mendekat, menyampaikan ucapan selamat kepada Naura dan ingin berfoto bersama dengannya.
Naura sebenarnya enggan untuk berfoto dengan ayah kandungnya tersebut, namun aku dan Kevin berusaha membujuknya dengan alasan ini adalah momen penting yang patut diabadikan.
Setelah berpikir sejenak, Naura pun menuruti keinginan kami dan dengan terpaksa berpose bersama Adnan. "Udah kan?" tanya Naura dengan wajah datarnya, menatap Adnan dengan tatapan yang tidak bisa kubaca.
"Udah nak, sekali lagi selamat ya? Papah selalu bangga padamu," ujar Adnan dengan penuh semangat, berusaha menjalin kedekatan dengan Naura.
"Hmmm," Naura hanya bergumam, sepertinya tidak terlalu tertarik dengan ucapan Adnan.
Aku merasa sedikit kasihan padanya, tapi juga mengerti perasaan Naura yang tidak bisa menerima begitu saja kehadiran ayah kandungnya yang sebelumnya sempat mengabaikannya.
Ini adalah perasaan yang rumit, di mana Naura seharusnya merasa bahagia atas pencapaian ini, namun dihadapkan pada situasi yang membuatnya merasa canggung dan tidak nyaman.
Naura diminta untuk kembali kepada tim dan para guru sekolahnya, aku pun menyempatkan diri untuk berpamitan padanya bahwa aku ingin pergi ke butik.
Naura menganggukkan kepalanya sambil melambaikan tangan pada kami, begitu juga aku dan Kevin yang melambaikan tangan balik pada Naura.
Kami berdua kemudian berbalik arah dan melangkahkan kaki keluar dari Gedung Juang menuju tempat parkir mobil.
"Kevin," seruku. "Iya, Ran?" Aku merasa keinginanku untuk menikmati camilan yang ada di sekitar Gedung Juang tadi mulai bergejolak di dalam hati,
aku pun bertanya pada Kevin, "Kevin, boleh aku beli telur gulung dulu, ya? Sama maklor juga." Kevin tampak terkejut dengan permintaanku tiba-tiba itu.
Aku hanya tersenyum padanya, meskipun tanpa mendapatkan jawaban persetujuan darinya.
Dengan semangat, aku langsung berlari menuju penjual telur gulung dan maklor, tak sabar untuk menikmati jajanan tersebut.
Setelah membeli camilan-camilan yang kucari, aku kembali ke parkiran mobil. Aku berhenti di samping mobil Kevin, dan melihat Adnan bersama Sandra di sana.
Mereka juga menatapku, dan tanpa ragu, aku menatap tajam balik ke arah Adnan, seolah-olah ingin mengomunikasikan sesuatu. Sandra yang menyadari keberadaanku, langsung saja dengan manja, dia berkata pada Adnan,
"Sayang, aku mau beli jajanan di sana."
Tapi Adnan tidak menjawabnya malah dia menatapku tanpa berkedip, aku hanya tersenyum sinis lalu masuk kedalam mobil.
Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, keluar dari area gedung Juang menuju butik. Tiba-tiba ponselnya berdering, dan dia mengangkatnya.
Aku tak tahu siapa yang menelepon, tapi melihat tatapan dan senyum Kevin membuatku merasa ada sesuatu yang aneh.
"Kenapa dia melihatku seperti itu?" batin aku, semakin penasaran.
Sementara itu, Kevin melirikku lagi sambil mengangkat sebelah alisnya. "Begitu misterius. Siapa yang menelepon?" Gumamku dalam hati.
Aku memutuskan untuk menggertak Kevin dengan menautkan kedua alisku. Tak lama kemudian, Kevin mematikan teleponnya dan menghampiriku.
"Ran, mamah mengundangmu untuk makan malam nanti malam," ujarnya.
"Tapi Kevin, kita kan sudah janji sama Naura mau ajak dia ke pasar malam," sahutku.
"Oh, iya," kata Kevin sambil menepuk jidatnya.
"Ya udah, besok saja, ya Ran?" Aku mengangguk, lalu Kevin menyampaikan berita lain.
"Oh, ya, tadi mamahku sempat bilang kalau dia setuju dengan hubungan kita," serunya.
"Apa?" sergahku, kaget dan tak percaya.
"Hahaha, kita berhasil, Rania!" sahut Kevin dengan gembira. "Akhirnya, aku tidak jadi dijodohkan sama perempuan itu."
Aku hanya bisa memandang Kevin dan tersenyum penuh kebahagiaan, mengucapkan selamat atas berakhirnya kekhawatirannya tentang perjodohan.
"I-Iya, Kevin," sahutku dengan senyum.
"Tapi kamu tetap menjadi pacar pura-puraku, ya?" Seru Kevin sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Dasar genit," sergahku.
Kevin hanya tertawa saja. Sepanjang perjalanan ke butikku, kami selalu menemukan topik pembicaraan yang menyenangkan sehingga tidak terasa sudah sampai di butik. Mobil berhenti di depan butikku.
"Makasih, ya, Kev," ucapku.
"Iya, sama-sama, Bos," goda Kevin.
"Kevin, ih!"
Para karyawan di dalam butik melihat kami, dan beberapa dari mereka keluar. Mereka terpesona dengan kehadiran Kevin.
"Ganteng banget," celetuk salah satu karyawan.
"Dia sangat tampan," timpal karyawan lain.
"Siapa dia, Bu Bos?" tanya karyawan yang lainnya dengan rasa ingin tahu.
"Gantengnya," gumam karyawan lain sambil menatap Kevin.
Sementara itu, Kevin hanya tersenyum sambil menutup pintu mobil. Aku tahu dia pasti malu mendengar semua pujian dari karyawan-karyawanku. Sisi kekanakannya tiba-tiba muncul dalam senyumnya, dan aku pun tersenyum melihat tingkahnya itu.
Aku menatap para karyawanku dengan tajam, berharap mereka mengerti isyaratku untuk segera kembali bekerja.
Namun, rasa penasaran mereka terhadap pria yang mengantarkanku tadi sepertinya tak tertahankan. Mereka mulai membombardirku dengan pertanyaan tentang siapa pria tersebut.
"Mau tahu saja, atau mau tahu banget?" sahutku sambil tersenyum penuh canda.
"Aah, Bu Bos ih," keluh mereka dengan kesal.
Aku menjulurkan lidahku pada mereka dan berlalu menuju ruangan khusus gaun yang sudah kupersiapkan. Di sanalah aku menemukan ketenangan.
Kuperhatikan gaun-gaun itu, yang sudah hampir selesai, dan rasa puas menyelimuti hatiku. Aku mulai mengecek setiap detail dengan teliti, baik gaun yang sudah jadi maupun yang baru delapan persen.
Dalam hati, aku berbisik pada diri sendiri, "Mereka mungkin penasaran dan ingin tahu lebih jauh tentang kevin,.dasar mereka gak bisa melihat pria ganteng sedikit saja"
****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...