Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunuh Diri
"Vanya, ayo dong, nak, buka pintunya. Kamu udah nggak makan dari siang, loh," suara lembut Mama Maya terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Vanya hanya terbaring diam di kasur, matanya sembab akibat air mata yang terus mengalir. Tangisnya sudah begitu lama hingga kini hanya menyisakan kelelahan.
"Hidup gue hancur... karena gue sendiri," gumam Vanya dengan suara bergetar. Perlahan, dia bangkit dan berjalan menuju balkon kamarnya. Angin malam menyentuh wajahnya saat dia membuka pintu balkon dan menatap kosong ke bawah, ke arah tanah. “Kalau Mama tahu... dia pasti akan kecewa,” lanjutnya sambil membiarkan air matanya kembali jatuh.
Sementara itu, di jalan menuju rumah, Dira dan Levin melaju di dalam mobil. Dira tampak gelisah, jemarinya terus menggulir ponsel. “Aduh, si Gerry nggak bales chat gue,” keluh Dira, frustasi terlihat di wajahnya.
Levin melirik sebentar, menghela napas. “Turunin gue di sini aja,” pinta Dira mendadak, nadanya mendesak.
“Mau kemana? Ini bentar lagi sampai rumah,” tanya Levin, penasaran dengan sikap Dira yang tiba-tiba.
“Cepetan, Lev, gue mau ke rumah Gerry,” desak Dira, tangan sudah mengarah ke gagang pintu mobil.
“Stop! Lo mau rusakin mobil gue?” jawab Levin, suaranya mulai terdengar kesal. “Lagipula udah malam, bisa besok kan?“Gak bisa! Gue harus ke rumah Gerry sekarang,” Dira tetap memaksa, nadanya tak sabar.
Levin mendesah dalam, berusaha menahan emosi. “Enggak, pokoknya lo harus pulang sama gue sekarang. Nanti Mama lo nanya, gue nggak mau repot ngejelasin urusan lo.”Tak lama, mereka tiba di depan rumah Levin. Dira yang masih kesal hanya memalingkan wajah, tatapannya tertuju ke luar jendela mobil. Namun tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang.
"Levin... itu siapa di balkon?" tanya Dira panik, suaranya bergetar saat dia menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya. Levin mengikuti arah pandang Dira. Wajahnya langsung berubah serius. "Itu... Vanya," jawabnya dengan nada berat.Tanpa pikir panjang, keduanya segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah. Nafas mereka memburu saat menaiki tangga menuju lantai dua, harapan dan ketakutan menyelimuti setiap langkah yang mereka ambil.
Mereka melihat Mama Maya berdiri di depan kamar Vanya. "Mah, cepat buka pintunya!" ujar Levin dengan nada panik, diikuti oleh Dira yang tak kalah cemas. "Kenapa sih kalian?" tanya Mama Maya keheranan, melihat kedua anak itu datang dengan wajah tegang.
"Dari tadi Mama nungguin Vanya. Soalnya, dia belum makan sejak siang," jawab Mama Maya dengan nada cemas. "Yaudah, Mah, ada kunci cadangan gak?" tanya Dira cepat, matanya sesekali melirik pintu kamar yang tampak terkunci rapat. "Pintunya kayaknya dikunci slot," sahut Mama Maya, masih bingung dengan kepanikan yang menyelimuti kedua anak itu.
"Levin, dobrak saja!" desak Dira semakin gelisah. Levin tanpa ragu langsung berusaha mendobrak pintu kamar Vanya. Tubuhnya membentur kuat daun pintu, sementara Dira terus berdoa dalam hatinya agar tidak terlambat. "Ada apa sebenarnya?" tanya Mama Maya, semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi. "Vanya, Mah… dia mau bunuh diri!" sahut Dira dengan suara serak penuh kecemasan.
"Apa?! Bunuh diri?" Mama Maya terkejut, wajahnya memucat. "Ayo, dobrak lebih keras!" teriaknya, panik, khawatir memikirkan anaknya. "Brakkk!" Pintu akhirnya terbuka. Levin langsung berlari ke balkon kamar, napasnya memburu. "Vanya, stop! Jangan lakukan itu!" teriaknya putus asa, memandang sosok Vanya yang berdiri di ujung balkon dengan tatapan kosong
Mama Maya menyusul, memegangi dadanya yang terasa sesak, matanya beralih antara Levin dan Dira yang berusaha mendekati Vanya dengan langkah hati-hati. "Vanya, Nak... kenapa? Apa yang terjadi?" Suara Mama Maya pecah, penuh ketakutan.
Vanya tetap diam, hanya pandangannya yang mengarah lurus ke bawah. "Vanya, kita bisa bicarakan ini," kata Levin, suaranya lebih tegas meski hatinya tak kalah terguncang. Ia melangkah lebih dekat, mencoba menggapai lengan Vanya. "Apa pun masalahnya, kita bisa selesaikan bersama. Kamu tidak sendiri."
Air mata akhirnya jatuh dari mata Vanya, seolah kata-kata Levin membuka sedikit celah di dinding yang selama ini ia bangun. Namun kakinya masih tergantung di tepi balkon, seolah ia masih belum memutuskan antara hidup dan mati.
"Kalian tidak mengerti..." suaranya lirih, hampir tidak terdengar. "Aku sudah terlalu lelah kalian akan kecewa sama aku ... aku tidak bisa terus begini."Dira semakin terisak, menggenggam erat tangan Levin. "Vanya, kita semua peduli sama kamu. Kumohon, jangan lakukan ini," pintanya, suaranya terputus-putus.
Levin perlahan mendekati Vanya, dengan hati-hati dia meraih pergelangan tangannya. "Vanya, aku tahu ini sulit. Tapi bunuh diri bukan jawabannya. Lihat kami di sini. Kami sayang sama kamu. Kami nggak bisa kehilangan kamu."Vanya menoleh perlahan, untuk pertama kalinya mata mereka bertemu. Ada duka yang mendalam di matanya, tetapi juga ada keraguan yang samar. Levin menggenggam tangannya dengan lembut namun kuat, memberikan kehangatan di tengah dinginnya angin malam yang berhembus.
"Kamu jangan gini, kita udah selesaikan semuanya, Vanya," ucap Levin, suaranya penuh ketulusan. "Kamu berharga bagi kami semua. Kumohon, biarkan kami membantumu." Vanya menutup matanya erat, tubuhnya berguncang oleh tangis yang ia tahan selama ini. Suara isakan Dira, napas berat Levin, dan tatapan penuh harap Mama Maya akhirnya menembus benteng terakhir yang selama ini ia pertahankan. Perlahan, kakinya bergerak mundur dari tepi balkon, meninggalkan jurang yang hampir menelannya.
Levin segera menarik Vanya ke dalam pelukannya, sementara Mama Maya dan Dira berlari mendekat, memeluk mereka dengan penuh kelegaan dan rasa syukur. Vanya menangis terisak-isak di dalam pelukan mereka, semua rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah keluar. "Kamu nggak sendiri, Vanya... kami di sini," bisik Mama Maya lembut di telinganya, air matanya juga tak terbendung lagi.
Vanya dibawa masuk kembali ke dalam kamarnya. Mama Maya memandangi ketiga anak itu dengan wajah penuh kekhawatiran yang bercampur amarah. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Vanya sampai mau bunuh diri? Masalah apa ini?" tuntutnya, suaranya tegang. Levin dan Dira saling bertukar pandang, bingung harus menjawab apa. Mereka tahu ini bukan hanya soal putus cinta, tapi tak ada yang berani mengatakan kebenarannya.
"Emm… ini, Mah," Dira mulai berbicara dengan suara pelan, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Vanya baru saja putus sama pacarnya, dan… dia lagi patah hati," lanjutnya, berbohong demi menenangkan situasi. Vanya menoleh, menatap Dira dengan ekspresi kosong, seolah tak percaya Dira memilih untuk berbohong. "Putus cinta?" Mama Maya mengernyit marah, wajahnya semakin tegang. "Kamu masih pacaran sama si Bagas itu?" tanyanya, nada suaranya penuh ketidaksenangan.
Vanya hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa. Semuanya terasa begitu kacau di dalam dirinya. "Dan kamu mau bunuh diri cuma karena putus cinta?" Mama Maya berseru kesal, emosinya meledak. "Kamu sudah gila? Mau bunuh diri hanya gara-gara itu?" Kata-kata Mama Maya memukul Vanya dengan keras, tapi ia tetap diam, hanya menundukkan kepala. Di sudut matanya, Levin dan Dira terlihat gelisah, tetapi tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang.
Mama Maya menghela napas panjang, wajahnya masih dipenuhi kemarahan. "Dengar ya, Mama nggak peduli. Mulai sekarang, kamu nggak boleh lagi berhubungan sama si Bagas itu. Paham? Nggak ada urusan lagi sama dia!" tegasnya, nada perintahnya tak terbantahkan. Vanya hanya diam, perasaan hampa memenuhi dirinya. Kata-kata ibunya hanya menambah berat beban yang sudah menghancurkan hatinya, tapi ia terlalu lelah untuk melawan atau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx