Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Regan membuka pintu kamar nomor 280 yang memang tidak terkunci. Seorang wanita dewasa duduk di sofa menatap Regan yang mengambil posisi di seberangnya dengan raut datar tanpa ekspresi, seperti biasa.
Beberapa menit saling tatap, wanita itu mendesah karena Regan tak kunjung mengatakan sepatah kata pun.
"Apa kau tidak ingin menjelaskan sesuatu, Regan?"
Yang ditanya malah menyulut rokok. "Anakmu yang masuk rumah sakit?"
Regan meniup keluar asap tebal dari mulutnya lalu merentangkan tangan di punggung sofa. Terlihat santai sekaligus menyeramkan.
"Aku rasa, kau tahu penyebab dia bisa seperti itu."
"Tapi dia keponakanmu, Regan! Apa kau gila ingin membunuhnya?!" bentak Veni sampai memukul meja, saking kesal akan perkataan enteng adik kandungnya itu.
"Gila?" Regan terkekeh sinis. "Kau benar, gila karena dia bermaksud merebut Yessi dariku," ujar Regan menegakan punggung lantas menekan puntung rokok dalam asbak.
Regan baru ingat, Yessi tidak menyukai aroma rokok di tubuhnya.
Veni terisak detik itu. Padahal, ia dan Regan sedarah. Bagaimana Regan bisa berbuat keji pada darah daging Veni sendiri, yaitu Bima.
Padahal Regan tahu, sesusah apa kakaknya itu untuk memperoleh keturunan.
"Kakak, mohon Regan ... Jangan lagi sakiti, Bima. Untuk Yessi, berhenti memata-matai dia. Biarkan dia memilih siapa pria yang dia inginkan."
Brak!
Tempat asbak terbuat dari kaca tebal terlempar keras kelantai karena ulah Regan. Napas pria itu memburu seketika karena perkataan Veni. Emosinya terpacu naik hingga ke ubun-ubun.
"Jangan mengaturku!" Regan mengacungkan jari telunjuknya tajam. "Harusnya peringatkan anakmu, untuk menjauhi Yessi!"
Setelah berkata begitu, Regan bangkit dari duduknya lalu berniat pergi. Yessi pasti sudah menunggunya.
"Regan, dia bukan Yeslin! Dia Yessi. Mereka berbeda. Dan kau jelas hanya terobsesi pada Yessi. Kau itu tidak benar-benar mencintainya!" seru Veni berdiri dari duduknya.
Sontak, Regan berbalik. Matanya menyala bagai ada bara api di dalamnya. Tanpa Veni duga, Regan mencekiknya hingga Veni terduduk kasar dan terpojok di sofa.
"Cinta atau tidaknya, Itu bukan urusanmu Veni!" bentak Regan menggelegar.
Veni tahu, asal kebencian dan kemarahan terbesar Regan padanya berkaitan dengan masa lalu adiknya itu, hingga Regan terlihat sakit jiwa seperti ini.
"Regan!" bentak Richard yang baru saja membuka pintu. Matanya melebar melihat tangan Regan mencengkram kuat leher Veni hingga putri sulungnya itu merintih kesakitan.
"Regan! Lepaskan kakakmu!" ujar Richard mendekat tergesa hingga pantofel nya menggema memenuhi kamar mewah tersebut.
Bukannya menuruti Richard, Regan malah terlihat tidak peduli dan semakin menguatkan cengkeramannya.
"LEPASKAN! AKU BILANG, REGAN!" teriak Richard akhirnya. Berdiri di belakang tubuh kekar Regan.
Veni terbatuk-batuk setelah Regan melepaskannya dan pria itu berniat kembali pergi, tapi Richard menahan salah satu pundak Regan.
"Regan, kita perlu bicara!"
Regan menepis tangan Richard bertengger di anggota tubuhnya itu. "Aku tidak ada waktu," cetusnya teramat dingin.
"Bagaimana kalo papa katakan Yessi ada di mansion?"
Seketika, rahang Regan mengeras. Salah besar, menyepelekan ayahnya ini ternyata. Richard biasanya hanya mengawasi dirinya dari jauh.
Tapi ini, kenapa malah membawa-bawa Yessi?
"Apa maksudmu tua bangka?!"
Regan mencengkram leher jas Richard disampingnya. Ayahnya itu hanya tersenyum miring tanpa melawan.
"Kenapa, son? Bukannya bagus Yessi mengetahui siapa dirimu yang sesungguhnya? di balik topeng seorang OB. Kira-kira, tanggapan Yessi akan bagaimana?"
"Shut up!"
Regan merasa teramat geram akan pertanyaan diajukan Richard. Tentu saja, jawabannya Yessi akan menjauhi Regan, selamanya.
"Apa yang anda lakukan pada Yessi?!" desak Regan dengan mata melotot.
Karena amarah yang bergejolak luar biasa, Regan melampiaskan dengan menendang sofa beberapa kali seraya mengusap kasar wajahnya.
Richard ditanya, memperbaiki tatanan jasnya dengan santai. Tanpa terpengaruh luapan amarah Regan.
"Memberinya jamu kuat." Richard menyeringai di depan wajah merah padam Regan.
"Semoga saja obat itu belum beraksi atau Sean bisa jadi lawannya."
"Bastrad!" umpat Regan. Tanpa pikir panjang, ia berlari pergi meninggalkan kamar tersebut.
Di pikiran Regan, hanya tentang Yessi. Tak ada waktu menanyai, apa maksud ayahnya berbuat begitu pada Yessi.
Richard mendekati Veni yang lehernya terlihat memerah. Richard mengusap puncak kepala putri sulungnya itu penuh kasih sayang.
"Sudah tahu adikmu itu tidak waras, kenapa malah di temui sendiri?" omel Richard namun dengan suara lembut.
"Dia hampir membunuh anakku, Pa. Apa aku harus diam, jika sampai anakku merenggang nyawa karena adikku sendiri," ucap Veni dengan airmata berjatuhan di pipi.
Richard menghela napas dalam. "Satu-satunya, yang bisa menyembuhkan Regan hanya Yessi, Veni ... Meski cara ayah terdengar kejam, tapi dengan ini mereka bisa bersatu. Tanpa Yessi perlu tahu, sisi gelap Regan dan perasaan Regan yang sesungguhnya padanya."
Veni kian terisak. Masalahnya, Bima pernah mengatakan pada Veni secara terang-terangan bahwa ia begitu mencintai Yessi. Bahkan Bima meminta Veni untuk bicara dengan kedua orang tua Yessi perihal perjodohan.
Bima bahkan bertekad untuk giat bekerja hingga mapan lalu Bima dewasa akan melamar Yessi.
"Tapi, bagaimana dengan Bima, Pa?"
Richard terdiam cukup lama. Ia juga tahu, perasaan cucunya itu. Sekuat apa, Bima menyukai Yessi.
"Berat hati, suruh Bima mundur."
Veni menutup wajahnya hingga Richard membungkuk dan memeluknya erat. Veni tidak tahu, bagaimana menyampaikannya pada Bima nanti. Saat ini, Bima masih belum sadarkan diri.
"Berdoa saja, semoga Regan tidak benar-benar mencintai Yessi," ucap Richard namun ia ragu dengan perkataannya sendiri.
Melihat, bagaimana khawatirnya Regan tadi pada Yessi.
Regan tiba di ballroom. Ia nyaris menarik pistol di balik punggungnya karena tidak melihat Yessi di meja mereka tempati dan dimanapun.
"Sean! Akan ku patahkan semua tulang di tubuhmu. Jika menyentuh Yessi!" sumpah Regan lalu menerobos orang-orang yang masih berdansa.
Tidak ada yang berani marah, nyaris semua mengenal siapa sosok Regan.
"Eh, mas tunggu!" tiba-tiba Mentari menyembul dari balik keramaian. Regan tidak ingin berhenti, tapi Mentari menarik lengannya.
"Lepas kan!" bentak Regan membuat Mentari berjangkit kaget karena reaksi berlebihan Regan.
"Mas, jangan marah dong. Saya cuman mau tanya Yessi dimana?" tanya Mentari dengan pandangan mengedar lalu menatap Regan kembali.
Masalah mobil, Mentari tidak mempermasalahkannya. Karena kebetulan Arga memiliki dua mobil dan Mentari tahu, Regan yang seorang OB pasti tidak memiliki mobil mewah.
"Sudah saya antar pulang," sahut Regan berbohong lalu kembali berlari tanpa mau di cegah lagi.
Arga diam-diam memperhatikan Regan. Skillnya sekelas detektif membuat Arga dapat menangkap keanehan dari sikap ditunjukan Regan.
"Sepertinya aku harus menyelidikinya nanti," gumam Arga.
Di jalan raya.
Regan membawa mobil melebihi batas normal. Di otak nya penuh bayangan Yessi. Regan bahkan tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Beberapa kendaraan, Regan selip tanpa menurunkan kecepatan hingga bunyi klakson terdengar beruntun.
Sepuluh menit kemudian. Regan keluar dari mobil setelah memarkirkan sembarangan di depan mansion. Suara Regan memanggil Sean memenuhi seisi mansion.
Para maid dan pengawal tak berani menyapa Regan. Apalagi, melihat raut wajah tuan muda mereka yang begitu menyeramkan.
"Kalian! Dimana Sean membawa Yessi?"
Seorang maid ketua di sana, maju dengan tubuh membungkuk hormat di hadapan Regan. Hampir sebagian pekerja, melihat Sean membawa seorang wanita dengan cara memanggulnya.
"Dilantai atas, Tuan. Sepertinya kamar tuan Sean."
"Kurang ajar!" ujar Regan bertambah marah lalu melesak menaiki anak tanga. Tidak perduli, ada lift di sampingnya.
Dalam kamar.
"Mas Sean, Ini dimana?" tanya Yessi seraya melihat sekelilingnya yang asing. Detak jantung Yessi juga berpacu dengan cepat. Makin tak karuan karena suhu tubuhnya yang panas dingin.
Tadinya, Sean menawarkan pulang bersama pada Yessi. Karena Regan terlalu lama dan perasaan yang mulai tidak enak. Yessi terpaksa setuju.
Tidak di sangka, Sean membohongi Yessi. Yessi tidak tahu, saat ini dirinya berada dimana. Richard memang menyuruh Sean membawa Yessi ke mansion. Tapi, tidak dengan mengurung Yessi di kamarnya.
"Mas, jauh-jauh!" peringat Yessi mundur sempoyongan saat Sean mendekat kearahnya.
"Yessi saya hanya ingin mengobati kamu."
"Saya tidak sakit, Mas! Tolong menjauh!" teriak Yessi dengan airmata mulai memburamkan pengelihatannya.
"Tidak sakit? Tapi, tubuhmu panas, bukan?"
Yessi mengerjab bingung karena Sean mengetahui apa yang ia rasakan.
"Bagaimana Mas bisa tahu?"
"Tentu aku tahu, karena itu jamu kuat," ujar Sean menyeringai dan terus memojokkan Yessi hingga gadis itu terduduk di atas ranjang.
"Apa ja-jamu kuat?" ucap Yessi shock berat. Pantas saja Yessi merasa aneh dan sangat tidak nyaman.
"Kapan aku meminumnya?"
Sean mendorong pundak Yessi, karena tenaga yang lemah membuat Yessi seketika lunglai. Tanpa di duga, Sean mengukung tubuh mungil Yessi. Bibir keduanya nyaris bersentuhan, tapi dengan sigap Yessi menahan dada Sean menggunakan kedua tangan dengan sisa tenaganya.
"Mas, aku mohon, jangan!" iba Yessi dengan isak dan ketakutan luar biasa. Apalagi, Sean terus menyeringai bagai psikopat.
"Teriak sekuat tenaga juga percuma, Yessi. Kamar saya kedap suara. Ayo lah ... Saya janji akan pelan-pelan," rayu Sean seraya tertawa.
Yessi menggeleng cepat hingga air matanya meleleh deras disudut mata. Sean benar-benar tidak peduli, Yessi yang memberontak hingga tangan kurus Yessi terasa sakit menahan bobot tubuh kekarnya.
Brak!
Pintu kamar Sean terbuka lebar di tendang Regan dari luar. Mata Regan berubah merah dengan gigi bergemeletuk keras. Urat kehijauan timbul di leher hingga pelipisnya. Menandakan pria itu sedang marah luar biasa.
"Sean! Bedebah!"