Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kala Hujan di Malam Hari
Pipi gue rasanya panas, sama kayak beberapa bagian tubuh gue yang lain.
“Malah, gue pengen tidur sekarang juga,” kata Tama. Dia mengangkat matanya buat ketemu sama pandangan gue. “Di sini, di meja ini.”
Sekarang, seluruh tubuh gue ikut panas kayak pipi gue.
“Tuhan, lo benar-benar payah,” kata Amio sambil ketawa. “Harusnya kita bawa Joshi aja tadi.”
“Enggak,” Ian langsung balas dengan mata yang digulung berlebihan.
“Kenapa sih sama Joshi?” tanya gue. “Kenapa kalian semua enggak suka sama dia?”
Amio angkat bahu. “Bukan enggak suka, cuma kita enggak tahan sama dia, dan kita semua baru sadar setelah udah terlanjur ngajak dia main PS. Dia nyebelin.” Amio tatap gue dengan tatapan yang terlalu familiar. “Dan gue enggak mau lo dekat-dekat sama dia. Menikah enggak bikin dia berhenti jadi brengsek.”
Nah, itu dia rasa sayang kakak yang posesif yang sudah lama enggak gue rasakan selama bertahun-tahun.
“Dia bahaya?”
“Enggak,” kata Amio. “Gue cuma tahu gimana dia ngejalanin pernikahannya, dan gue enggak mau lo terlibat dalam hal itu. Tapi gue udah jelas-jelas bilang ke dia kalau lo itu enggak boleh disentuh.”
Gue ketawa mendengar ke-absurd-annya.
“Gue udah dua puluh tiga, Amio. Lo bisa berhenti jadi kayak Papa sekarang.”
Mukanya langsung berubah tegang, dan untuk sesaat, dia bahkan kelihatan mirip sama Bokap gue. “Enggak akan,” geram Amio. “Lo adik gue. Gue punya standar buat lo, dan Joshi enggak memenuhi standar itu.”
Dia enggak berubah sedikit pun. Meski itu menyebalkan waktu gue di SMA, dan masih lebih menyebalkan sekarang, gue suka kalau dia ingin yang terbaik buat gue.
Gue cuma takut versi terbaik menurut dia enggak akan pernah ada.
“Amio, enggak ada cowok yang bakal bisa menuhi standar yang lo tetapkan buat gue.”
Dia mengangguk dengan sikap sok benar. “Ya, emang bener.”
Kalau dia sudah kasih peringatan ke Joshi buat menjauh dari gue, gue jadi penasaran apakah dia juga sudah kasih peringatan juga ke Tama dan Ian. Tapi, dia kan sempat pikir Tama itu gay, jadi mungkin dia enggak melihat ada kemungkinan di situ.
Gue jadi ke pikiran, apakah Tama bakal lolos dari standar Amio?
Mata gue ingin banget lihat Tama sekarang, tapi gue takut kalau itu bakal terlalu jelas. Jadi, gue paksa senyum dan geleng-geleng kepala.
“Kenapa gue enggak lahir duluan aja, sih?”
“Enggak bakal ngaruh juga,” jawab Amio.
...***...
Ian senyum ke pelayan dan kasih isyarat buat minta tagihan. “Gue yang traktir malam ini.” Dia taruh uang buat menutupi tagihan dan tips, terus kita semua berdiri.
“Jadi, habis ini kita ke mana?” tanya Tama.
“Bar,” jawab Amio langsung.
“Gue baru aja kelar shift dua belas jam,” kata gue. “Gue capek banget.”
“Boleh gue nebeng?” tanya Tama waktu kita semua jalan keluar. “Gue enggak pengen keluar malam ini. Gue cuma pengen tidur.”
Gue suka bagaimana dia enggak mencoba menutupi penekanan kata 'tidur' itu di depan Amio. Kayak dia ingin pastikan kalau gue sadar dia sebenarnya enggak punya niat buat benaran tidur.
“Ya, mobil gue ada di rumah sakit,” kata gue sambil tunjuk ke arah sana.
“Oke, kalau gitu,” kata Amio sambil mengatupkan tangannya. “Lo berdua yang payah pergi tidur. Gue sama Ian mau lanjut keluar.” Amio berbalik, dan dia sama Ian langsung jalan ke arah lain.
Amio berputar sambil jalan mundur sejajar sama Ian. “Kita bakal minum satu shot buat ngerayain, El Kapten!”
Gue dan Tama tetap diam, berdiri di lingkaran cahaya dari lampu jalan sambil memperhatikan mereka pergi. Gue lihat ke trotoar di bawah kita dan geser salah satu sepatu gue ke tepi lingkaran cahaya, melihat bagaimana itu hilang di kegelapan.
Gue lihat ke lampu jalan, merasa heran kenapa cahaya itu menerangi kita dengan intensitas kayak lampu sorot.
“Kayaknya kita lagi di atas panggung,” kata gue, masih melihat ke arah cahaya.
Dia memiringkan kepalanya ke belakang, ikut-ikutan melihat lampu aneh di atas kita. "The English Patient," katanya. Gue melihat dia dengan ekspresi bingung.
Dia tunjuk ke lampu jalan di atas kepala kita. "Kalau kita lagi di panggung, mungkin ini pertunjukan The English Patient." Dia bolak-balik tunjuk antara kita berdua. "Kita udah cocok banget sama perannya. Perawat dan pilot."
Gue berpikir lama soal yang dia bilang, mungkin terlalu lama. Gue tahu dia bilang dia itu pilot, tapi kalau ini benaran panggung pertunjukan The English Patient, menurut gue dia bakal jadi tentara, bukan pilot.
Tentara itu satu-satunya karakter yang cocok punya hubungan sama perawat, bukan pilot.
Tapi kalau pilot itu, karakter yang punya masa lalu misterius.
"Film itu yang bikin gue jadi perawat," kata gue sambil melihat dia dengan wajah datar.
Dia masukan tangannya ke kantong, pandangannya dari lampu di atas beralih balik ke gue. "Serius?"
Gue enggak bisa tahan ketawa. "Enggak."
Tama senyum.
Kita berdua berbalik bersamaan buat jalan balik ke rumah sakit. Gue jadi berpikir buat bikin puisi di kepala gue.
Dia cuma senyum.
Senyum buat gue.
Senyum.
“Kenapa lo senyum-senyum?” tanya dia.
Karena gue lagi merapikan sajak ala anak kelas tiga SD soal lo di kepala gue.
Gue rapatkan bibir gue, memaksa senyum itu pergi. Pas gue yakin senyumnya sudah benar-benar hilang, gue jawab. "Cuma mikir betapa capeknya gue. Enggak sabar buat tidur yang nyenyak nanti malam."
Sekarang giliran dia yang senyum. "Gue tahu maksud lo. Gue enggak pernah segini capeknya. Gue bahkan bisa ketiduran begitu kita masuk mobil lo."
Itu bakal asyik banget.
Gue senyum, tapi kali ini gue memilih buat enggak melanjutkan obrolan yang penuh kiasan ini. Hari ini panjang banget, dan gue memang benar-benar capek.
Kita jalan dalam diam, dan gue enggak bisa enggak sadar kalau tangannya tetap dimasukkan kuat-kuat ke kantong jaketnya, kayak dia lagi menjaga gue dari tangan itu. Atau mungkin dia lagi menjaga tangan itu dari gue.
Kita baru saja jalan satu blok dari parkiran, terus tiba-tiba langkahnya melambat, lalu berhenti total. Gue otomatis juga berhenti dan balik badan buat lihat apa yang bikin dia berhenti. Dia lagi lihat ke atas langit, dan mata gue fokus ke bekas luka yang ada di sepanjang rahangnya.
Gue ingin banget tanya soal itu. Gue ingin tanya tentang segalanya. Gue ingin tanya sejuta pertanyaan, mulai dari kapan ulang tahunnya dan bagaimana rasa ciuman pertamanya. Habis itu, gue ingin tanya tentang orang tuanya, masa kecilnya, dan cinta pertamanya.
Gue ingin tanya soal Yesica. Gue ingin tahu apa yang terjadi di antara mereka dan kenapa kejadian itu bikin dia menghindari cewek selama lebih dari enam tahun.
Tapi yang paling gue ingin tahu, apa yang ada di diri gue yang akhirnya bikin dia berubah.
"Tama," panggil gue, setiap pertanyaan sudah siap keluar dari ujung lidah gue.
"Hujannya turun," katanya.
Belum sempat pertanyaan itu keluar dari mulut gue. Gue juga merasakan tetesannya.
Sekarang kita berdua melihat ke atas langit, dan gue menelan semua pertanyaan itu bareng sama gumpalan di tenggorokan gue.
Tetesannya mulai turun lebih cepat, tapi kita masih saja berdiri di situ dengan wajah yang tetap mengarah ke langit. Tetesan yang perlahan berubah jadi gerimis, terus berubah lagi jadi hujan lebat, tapi enggak ada di antara kita yang bergerak. Kita berdua enggak lari-lari buat balik ke mobil.
Hujan turun meluncur di kulit gue, melewati leher, masuk ke rambut, dan membasahi baju gue.
Wajah gue masih mengarah ke langit, tapi mata gue sekarang terpejam.