Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intrik yang Mulai Terungkap
Matahari baru saja menyentuh cakrawala ketika Alan duduk di meja makan, menikmati kopi paginya. Anna berdiri di dapur, membelakangi suaminya. Ada ketegangan di antara mereka yang perlahan kembali menguat, meskipun tidak ada kata yang terucap.
Alan, yang selama ini diam dengan kecurigaannya, mulai merasa bahwa ada sesuatu yang Anna sembunyikan. Ia tidak pernah melupakan bagaimana istrinya terlihat gelisah beberapa hari lalu.
“Anna,” panggil Alan pelan.
Anna berhenti sejenak, lalu menoleh. “Ya, Mas?”
“Aku ingin kita jujur satu sama lain. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?” Alan menatap Anna dengan serius.
Pertanyaan itu membuat tubuh Anna menegang. Jantungnya berdebar-debar, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.
“Tidak, Mas. Tidak ada apa-apa. Aku hanya... mungkin terlalu lelah belakangan ini,” jawab Anna sambil mengalihkan pandangan.
Namun, Alan tidak puas dengan jawaban itu. Tatapannya tetap mengawasi istrinya, mencari celah dalam kata-kata yang diucapkannya.
“Kalau begitu, kenapa kau terlihat gugup saat aku bertanya waktu itu di dapur?” desak Alan.
Anna terdiam. Ia merasa seolah terpojok, tetapi ia tidak ingin menyerah pada tekanan itu. “Mas, aku tidak tahu apa yang Mas maksud. Mungkin Mas hanya salah paham.”
---
Alan memutuskan untuk tidak melanjutkan diskusi pagi itu, tetapi kecurigaannya semakin membara. Ia yakin ada sesuatu yang salah, dan ia bertekad untuk mencari tahu.
Malam harinya, ketika Anna sudah tertidur, Alan menyelinap ke ruang kerja istrinya. Ia membuka laci-laci meja, memeriksa setiap dokumen, tetapi tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan. Namun, ketika ia mengangkat salah satu buku harian Anna, sebuah potongan kertas kecil jatuh ke lantai.
Alan memungut kertas itu dan membaca isinya: "Nomor darurat Erik. Jika ada masalah, hubungi aku."
Wajah Alan memucat. Nama itu, Erik, membuat darahnya mendidih. Ia tidak tahu siapa pria itu, tetapi ia merasa bahwa orang ini memiliki kaitan dengan perilaku Anna yang berubah akhir-akhir ini.
---
Keesokan harinya, Alan mencoba bersikap biasa. Namun, dalam pikirannya, ia merencanakan langkah berikutnya. Ia memutuskan untuk mencari tahu siapa Erik sebenarnya.
Alan menghubungi salah satu temannya, Revan, yang dikenal pandai menyelidiki hal-hal seperti ini. “Van, aku butuh bantuanmu,” ujar Alan saat bertemu di sebuah kafe sore itu.
“Ada apa, Lan? Kau kelihatan serius sekali,” jawab Revan sambil menyeduh kopi pesanannya.
“Aku ingin kau mencari informasi tentang seseorang. Namanya Erik. Aku hanya punya nama ini, tapi aku yakin kau bisa mencarinya,” ujar Alan sambil menyerahkan potongan kertas yang ia temukan.
Revan mengangguk. “Serahkan saja padaku. Beri aku waktu beberapa hari.”
---
Sementara itu, Anna mulai merasa bahwa Alan semakin mencurigainya. Sikap suaminya terasa lebih dingin, meskipun Alan berusaha menyembunyikannya. Ia tahu bahwa jika Alan menemukan sesuatu tentang Erik, pernikahan mereka bisa hancur lagi.
Di tengah kebimbangannya, Anna memutuskan untuk menemui Nita, sahabatnya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota.
“Nita, aku benar-benar bingung harus bagaimana,” ujar Anna, suaranya bergetar.
“Ada apa lagi, Na? Bukannya kau sudah mencoba memperbaiki semuanya dengan Alan?” tanya Nita, sambil menggenggam tangan Anna.
“Aku bertemu Erik lagi beberapa waktu lalu. Dia memberikan kartu namanya, tapi aku sudah membuangnya. Masalahnya, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku tahu ini salah, tapi...” Anna menggigit bibirnya, merasa bersalah.
Nita menghela napas panjang. “Anna, aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus memilih. Kau tidak bisa terus berada di tengah-tengah seperti ini. Kalau kau masih mencintai Alan, lupakan Erik sepenuhnya.”
“Tapi bagaimana jika Alan tahu? Aku takut dia tidak akan pernah memaafkanku,” gumam Anna.
“Kalau Alan mencintaimu, dia akan berusaha memahami. Tapi kau juga harus jujur, Na. Hubungan tanpa kejujuran tidak akan bertahan lama,” kata Nita dengan tegas.
---
Dua hari kemudian, Revan kembali dengan informasi yang berhasil ia dapatkan. Ia bertemu Alan di tempat biasa mereka nongkrong.
“Lan, aku sudah menemukan sesuatu,” ujar Revan sambil menyerahkan sebuah amplop.
Alan membuka amplop itu dan menemukan foto Erik serta beberapa informasi tentangnya. Ternyata, Erik adalah seorang pengusaha muda yang cukup sukses dan pernah tinggal di luar negeri selama beberapa tahun. Namun, yang paling mengejutkan Alan adalah fakta bahwa Erik pernah tinggal di hotel yang sama dengan Anna pada malam yang ia curigai.
“Jadi, ini pria yang mungkin ada hubungannya dengan Anna?” tanya Revan.
Alan menggenggam foto Erik dengan erat. Matanya menyala-nyala dengan amarah. “Aku harus memastikan sendiri.”
“Jangan gegabah, Lan. Kalau kau ingin konfrontasi, pastikan kau punya bukti yang cukup,” ujar Revan memperingatkan.
---
Malam itu, Alan kembali pulang dengan hati yang berat. Ia melihat Anna sedang menonton televisi di ruang tamu, terlihat santai. Namun, bagi Alan, pemandangan itu hanya menambah rasa frustrasinya.
“Anna,” panggil Alan tiba-tiba.
Anna menoleh. “Ya, Mas?”
“Kita perlu bicara,” ujar Alan tegas.
Anna merasa ada sesuatu yang tidak beres dari nada suara Alan. “Tentang apa, Mas?”
“Jangan berpura-pura, Anna. Siapa Erik?” tanya Alan langsung, tanpa basa-basi.
Pertanyaan itu membuat wajah Anna pucat seketika. Ia tidak menyangka Alan akan mengetahui nama Erik. “Mas, aku bisa jelaskan,” ujarnya dengan suara gemetar.
Alan mendekat, matanya tajam menatap Anna. “Jelaskan, Anna. Apa hubunganmu dengan pria itu? Apa dia yang kau temui di hotel waktu itu?”
Anna merasa seolah-olah dunianya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi lidahnya terasa kelu. “Mas, aku—”
“Berhenti berbohong!” bentak Alan, suaranya menggema di ruangan itu.
Air mata mulai mengalir di pipi Anna. “Aku hanya bertemu dengannya sekali setelah kejadian itu. Aku tidak berniat menghubunginya lagi, Mas. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya denganmu.”
“Tapi kau masih memikirkannya, bukan? Jangan coba-coba membohongiku, Anna!” Alan semakin marah.
“Mas, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku juga manusia, aku tidak sempurna,” ujar Anna sambil menangis terisak.
Alan memalingkan wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa sakit dan pengkhianatan terus menghantam hatinya.
“Anna, aku mencintaimu. Tapi kalau kau terus seperti ini, aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi,” ujar Alan dengan suara berat.
Anna hanya bisa menangis, merasa bersalah tetapi juga bingung harus berbuat apa.
---
Malam itu, Anna mencoba mendekati Alan yang duduk sendirian di ruang tamu. “Mas, aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan. Tapi tolong, beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku masih mencintaimu.”
Alan menatap Anna dengan mata yang penuh luka. “Kesempatan itu sudah aku berikan, Anna. Sekarang semua tergantung padamu. Buktikan bahwa aku tidak salah memilihmu.”
---
Pertengkaran malam itu menjadi titik balik bagi Anna. Ia tahu bahwa ia harus memilih antara membiarkan masa lalu menguasainya atau benar-benar berjuang untuk pernikahannya.
Namun, apa yang ia tidak tahu adalah bahwa Alan diam-diam menyusun rencana untuk bertemu langsung dengan Erik. Ia ingin memastikan pria itu tidak akan mengganggu rumah tangganya lagi.