Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3 : dibawah tekanan
Malam itu, suasana di club terasa lebih sibuk dari biasanya. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi ruangan, sementara alunan musik menyelimuti setiap sudut. Tiara berdiri di belakang, menunggu instruksi dari manajernya seperti biasa. Namun, malam ini terasa berbeda. Manajernya, Pak Arif, memanggil Tiara dengan nada serius.
"Tiara, malam ini kamu bantu Diana menjamu tamu VIP," kata Pak Arif dengan tatapan tajam.
"VIP, Pak?" Tiara merasakan kegelisahan di dadanya.
"Ya, malam ini akan ada tamu penting. Kamu harus ikut bantu Diana. Jangan macam-macam, ya. Pastikan tamu-tamu kita puas."
Tiara terdiam sejenak. Ia ingin menolak, namun bayangan kehilangan pekerjaan yang sudah memberinya sedikit harapan langsung terlintas di pikirannya. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. “Baik, Pak.”
Diana menyambut Tiara dengan senyum tipis sebelum akhirnya mereka mulai bersiap menyambut tamu VIP tersebut. Diana sudah terbiasa dengan situasi ini, tapi bagi Tiara, malam itu adalah pertama kalinya ia harus menghadapi tamu penting secara langsung. Keduanya melangkah masuk ke ruangan VIP yang terpisah dari area utama club. Meja sudah penuh dengan makanan dan minuman mahal, sementara tamu yang duduk di sana tampak santai, tertawa keras dengan obrolan mereka yang seolah tak berujung.
Begitu Tiara masuk, salah satu tamu VIP langsung memperhatikannya. Tatapan pria itu membuat Tiara merasa tidak nyaman sejak awal. Tiara berusaha tersenyum tipis, mencoba menjaga sikap profesionalnya. Meskipun di dalam hatinya, ada perasaan takut mulai merayap.
Sepanjang malam, Tiara berusaha menjalankan tugasnya dengan baik, mengikuti Diana yang dengan luwes mengobrol dengan para tamu. Namun, tak lama, salah satu tamu mulai mengarahkan perhatiannya pada Tiara. Setiap kali ia lewat untuk menuangkan minuman, tangan tamu itu tak henti-hentinya menyentuh tangan Tiara, menyapu pelan dengan sentuhan yang tidak diinginkan. Tiara menahan napas, tangannya gemetar, tapi ia tetap tersenyum.
"Kamu manis sekali malam ini, siapa namamu?" ujar tamu itu sambil tersenyum, tangannya terus menyentuh jemari Tiara dengan lembut, namun terasa sangat mengganggu.
"Tiara," ucapnya pelan.
Tiara merasakan jantungnya berdebar kencang. Hatinya semakin kacau. Di satu sisi, ia merasa dilecehkan; sentuhan-sentuhan itu jelas tidak menyenangkan. Namun, di sisi lain, ia tahu jika ia menolak atau menunjukkan ketidaknyamanan, semuanya bisa berakhir buruk. Uang yang diberikan oleh tamu-tamu ini terlalu besar untuk ditolak, terutama mengingat kebutuhan keluarganya yang sangat mendesak.
Diana sesekali melirik Tiara, seolah mengisyaratkan bahwa semua ini adalah hal yang biasa dalam pekerjaan mereka. Tapi bagi Tiara, setiap sentuhan dari tamu VIP itu semakin membuat hatinya tertekan. Malam itu terasa sangat panjang, dan semakin lama, tekanan yang ia rasakan semakin berat.
Ketika tamu VIP itu kembali menarik tangannya dengan sentuhan lembut, kali ini Tiara tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk tersenyum, meski hatinya terasa hancur. Di dalam pikirannya, hanya ada satu hal yang terpikirkan: ia harus bertahan, demi keluarganya.
Suasana ruangan VIP semakin bising. Tawa keras dan musik yang mengalun memadukan rasa tegang dalam hati Tiara. Ia terus berusaha tersenyum, meski pikirannya penuh dengan kebingungan. Diana, yang sejak awal terlihat santai, kini sudah duduk di pangkuan Pak Martin, salah satu tamu yang ada di ruangan tersebut. Ia bernyanyi dengan nada menggoda, diselingi tawa dan sedikit gerakan nakal yang membuat Pak Martin semakin tergelak. Tiara menyaksikan adegan itu dengan jantung berdebar.
Salah satu tamu, bernama Fajar, menatap ke arahnya dengan pandangan yang tak bisa dihindari. "Sini, duduk di samping aku," katanya sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Tiara terdiam. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia menatap Diana dengan harapan bisa meminta bantuan, tapi Diana hanya memberikan tatapan tajam, seolah memerintahkannya untuk menurut.
Dengan berat hati dan tanpa pilihan, Tiara berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum puas, merangkul bahu Tiara tanpa ragu. Tiara berusaha menahan napas, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa risih yang semakin mendominasi.
Sementara itu, Diana terus bernyanyi sambil menggoda Pak Martin dengan canda tawa dan jogetan kecil yang semakin membuat suasana memanas. Tiara melirik ke arah Diana, berharap ada cara untuk melepaskan diri, namun tatapan Diana seakan memberitahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaan.
Kini Fajar semakin akrab dengan Tiara. Ia mulai memainkan jarinya di sepanjang lengannya. Tiara menggigit bibir, berusaha menahan rasa tidak nyaman yang semakin menggerogoti dirinya. Detik demi detik terasa semakin lambat. Tiara tahu, ia tidak boleh menolak, karena ini adalah tamu VIP. Tamu yang tidak boleh dikecewakan.
Senyuman Fajar semakin melebar ketika ia menarik Tiara lebih dekat. Tanpa peringatan, ia menunduk dan mengecup pipi Tiara dengan ringan. Tangannya yang sedari tadi merangkul perlahan mulai nakal. Beberapa kali tangannya terasa menyentuh dan sedikit meremas semangkanya. Tiara menegang, namun tetap diam, takut akan konsekuensi jika ia menolak.
"Kamu cantik, besar dan kenyal. Makasih ya udah buat aku bahagia," kata Fajar sambil terkekeh.
Tiara hanya mengangguk pelan, meski hatinya penuh dengan rasa risih yang menyesakkan. Saat ciuman ringan itu kembali mendarat di pipinya, Tiara merasakan keinginan kuat untuk segera keluar dari ruangan itu. Namun, ia tahu, semua ini belum berakhir.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, akhirnya waktu bersenang-senang itu selesai. Fajar melepaskan rangkulannya, berdiri dengan tawa puas. "Terima kasih untuk malam yang luar biasa ini," katanya sambil mengedipkan mata ke arah Tiara.
Tiara segera bangkit, tak ingin berlama-lama di sana. Ia kembali ke ruang ganti dengan langkah cepat, rasa kesal dan jijik membanjiri hatinya. Begitu sampai di ruang ganti, Diana menyusulnya dengan senyum tipis di wajahnya.
"Kamu mesti membiasakan diri, Ra. Dulu aku juga sama, risih dan merasa jijik, tapi ya mau gimana, ini udah bagian dari pekerjaan. Kalau kita nggak mau adaptasi, kita nggak bakal bisa kerja di sini. Lagian, uangnya juga lumayan kan? Lagian, di mana ada kerjaan yang segampang ini, nemenin duduk doang terus dapat duit."
Tiara diam. Hatinya berperang antara rasa benci pada situasi ini dan rasa tanggung jawabnya kepada keluarga. Ia tak punya pilihan. Dengan perasaan yang campur aduk, ia hanya mengangguk lemah kepada Diana, lalu mengganti pakaian kerjanya.
Malam itu, Tiara pulang dengan pikiran yang penuh kekacauan. Tubuhnya lelah, pikirannya tak bisa tenang. Begitu sampai di rumah, ia melihat ibunya sudah tertidur pulas di kasur tua mereka. Tiara mengeluarkan uang yang ia dapatkan malam itu, dan dengan hati-hati, ia menyelipkannya di bawah bantal ibunya. Ini satu-satunya cara yang ia tahu untuk membantu keluarganya bertahan hidup.
Tiara menatap langit-langit kamar dengan perasaan tak menentu sebelum akhirnya perlahan-lahan terlelap dalam kelelahan.