Bagaimana perasaanmu jika istri yang sangat kamu cintai malah menjodohkan mu dengan seorang wanita dengan alasan menginginkan seorang anak.
Ya inilah yang dirasakan Bima. Dena, sang istri telah menyiapkan sebuah pernikahan untuknya dengan seorang gadis yang bernama Lily, tanpa sepengetahuan dirinya.
Bima sakit hati, bagaimanapun juga dia sangat mencintai istrinya, meskipun ia tahu sang istri tidak bisa memberikannya keturunan.
Bisakah Lily berharap Bima akan mencintainya? Meskipun Bima sangat dingin padanya, tapi Lily telah berjanji satu hal pada Dena. Sanggupkah Lily menepati janjinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trias wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Aku mendekat dan berjongkok di depannya. Lalu menangis. Bukan karena melihat darah di lututnya, tapi karena aku sudah tidak tahan lagi mendiamkannya selama ini.
"Mas gak papa, koq" Dia tersenyum.
"Jangan nangis." tapi aku tidak bisa menahan tangisku. Aku semakin menangis tersedu.
"Ingat mas punya banyak daging disini. Mas akan cepat sembuh." candanya sambil menunjuk lututnya, biasanya aku bisa tertawa jika dia sudah bicara soal daging yang bertumpuk di tubuhnya, tapi kali itu aku sama sekali tidak ingin tertawa.
Kami pulang bersama dengan dia yang berjalan tertatih. Ibu melambai ke arahku dari halaman rumah, tapi aku tidak menghiraukan ibu. Aku masih membantu dia berjalan hingga sampai di teras rumahnya.
Aku berlari membuka pintu rumahnya tanpa mengetuk. Kebiasaan! Mamanya hanya melihat ku dari dapur. Aku kembali ke teras rumah dengan kotak P3K di tanganku. Aku sudah biasa bermain disini hingga mama dan papanya juga sudah terbiasa dengan aku yang keluar masuk tanpa permisi.
Walaupun hanya sebisanya tapi dia menerima perlakuanku dengan senyum. Aku sudah membersihkan lukanya dan menempelkan plester bergambar lucu disana. Tangannya terulur dan membelai rambutku yang pendek sebatas pundak.
"Trimakasih, Na. Maaf ya, mas gak bisa lihat Una besar. Mas harus ikut mama dan papa ke Surabaya." Aku kembali terdiam tak lama terisak lagi.
"Mas gak akan lupain Una. Mas janji kalau besar nanti mas akan nemuin Una lagi dan kita akan bersama selamanya sampe kakek nenek. Seperti mama dan papa mas. Seperti bapak dan ibu Una!" Dia menghapus air mataku. Rasanya sakit sekali. Bahkan memikirkan akan menjalani hari-hari tanpa dia rasanya aku sudah tidak sanggup.
"Mas janji?" Dia mengangguk dan mengambil tanganku lalu menautkan jari kelingkingnya denganku. Aku tersenyum dan mengangguk.
Hari pada saat dia akan pergi. Aku tidak mau bertemu dengan dia, karena aku fikir aku tidak akan kuat dan tidak akan melepaskan tangannya nanti. Aku mencoba menahan air mataku dengan susah payah sambil terus berfikir dan menekuk kertas origami di tanganku.
Salah! Salah!
Aku benar-benar tidak ingat, bagaimana lagi setelah ini! Padahal aku yakin ini hampir selesai.
Ku lihat dari jendela kamarku dia berjalan bolak-balik di halaman rumahku, lalu diam dan menatap ke jendela kamarku. Bisa ku lihat wajahnya yang berharap. Berharap aku akan menemuinya.
Aku juga ingin menemui dia, tapi aku takut. Aku benar-benar takut tidak bisa melepaskannya.
Berhasil!
Aku berhasil?
Ku tatap origami berbentuk burung berwarna pink ini di tanganku. Sedikit lusuh karena aku menekuk lalu membukanya lagi dan mengulanginya lagi dari awal, beberapa kali.
Suara klakson terdengar lirih tapi membuatku cukup yakin kalau itu berasal dari mobil milik mama dan papa nya.
Aku segera berlari keluar, tidak peduli dengan alas kaki yang biasa aku pakai. Orangtuaku sudah berada di dekat mobil mereka untuk mengiring kepergian mereka.
"Mas Bimbiiiimmm!" teriakku bertepatan dengan dia yang membuka pintu mobil bagian belakang. Dia menoleh, lalu seulas senyum merekah di bibirnya. Dia kembali menutup pintu mobilnya, aku berlari mendekat.
"Jangan lupain aku ya! Mas Bimbim juga harus ingat dengan janji mas kemarin!" ucapku sedikit berseru. Dia mengangguk semangat. Ku serahkan origami berbentuk burung berwarna pink itu padanya.
"Kamu berhasil?" matanya berbinar melihat origami yang ada di tangannya.
"Hu-um. Aku berhasil!" ucapku. Ku lihat dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya kemudian memakaikannya ke pergelangan tanganku.
"Kamu juga jangan lupain mas. Nanti mas akan datang dan bawa ini juga saat bertemu kamu!" Dia mengangkat origami buatanku di depan wajahnya.
"Aku juga akan pakai ini kalau ketemu mas!"
Sebisa mungkin aku menahan air mataku agar tidak terjatuh saat mengiringi kepergiannya. Aku tidak mau membuat dia merasa bersalah dan bersedih karena meninggalkanku. Aku tersenyum, walau dalam hati ini rasanya tercetak lubang hitam yang menganga semakin lebar bersamaan dengan kepergiannya.
Semangat thor 💪💪