Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Denis mematung melihat sekolompok orang berseragam duduk bersimpuh di hadapannya. Ia mengernyit, tak peduli dan hendak pergi. Denis pikir mereka salah mengenali orang.
"Tuan Muda, tolong jangan pergi. Sebentar lagi tuan besar akan datang," pinta salah seorang dari mereka kepada Denis.
Kini, dia tahu mereka memang tidak salah orang. Dialah yang mereka maksud, tapi siapa tuan besar itu? Denis sama sekali belum menyadarinya.
"Untuk apa aku menuruti perintah kalian? Aku tidak mengenal siapa kalian, apalagi tuan besar yang baru saja kalian sebut itu," ucap Denis dengan nada dingin khas dirinya.
Ia kembali mengayun langkah hendak pergi, tapi tetap dicegah orang-orang itu.
"Jangan biarkan Tuan Muda pergi! Cepat, tahan beliau!" titah orang tersebut seraya berdiri dari duduknya.
Empat orang mendekat hendak membawa Denis, tapi laki-laki itu sudah terlatih. Mudah saja baginya mengalahkan mereka semua sekaligus. Keempat orang tersebut terkapar di jalan, lebam di wajah mereka akibat pukulan Denis.
"Jangan pernah memaksaku untuk menuruti kalian! Tidak ada yang bisa memerintah ku kecuali diriku sendiri," tegas Denis yang kembali mengayun langkah meninggalkan tempat tersebut.
Mereka tidak kehabisan akal, bagaimanapun caranya harus dapat menahan Denis sampai laki-laki tua itu datang.
"Tuan Muda, tolong jangan pergi dulu. Tuan Besar kami ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Anda malam itu. Beliau sedang menuju kemari. Tolong, dengarkan aku kali ini," ucap laki-laki tadi yang kembali duduk bersimpuh di belakang Denis.
Pemuda yang menutupi wajah dengan masker itu pun menghentikan langkah, mendengar kakek tua disebut jantungnya berdegup kencang. Entah ada apa dengan dirinya? Dia sama sekali tidak dapat menolak.
Sebuah mobil menderu, Denis tak berminat untuk berbalik. Dia hanya ingin segera pergi dari tempat tersebut, dan memberitahu Haris soal pernikahannya.
"Tuan Besar!" ucap mereka secara serentak.
Denis menghentikan langkah, berbalik ingin melihat siapa yang mereka sebut dengan tuan besar. Dari dalam mobil muncul sebuah tongkat yang familiar di matanya. Tongkat yang sama yang dikenakan laki-laki tua waktu malam itu.
Dia laki-laki tua yang malam itu Denis tolong. Tuan Jaya Kusuma Mahendra, pemilik perusahaan besar sekaligus kakek Denis sendiri. Hanya saja, Denis belum mengetahuinya. Ia berdiri di tempat, menunggu kedatangan laki-laki tua tersebut.
"Kakek, apa kau baik-baik saja?" tanya Denis tanpa segan. Ia tersenyum dibalik maskernya, tentu tak dapat dilihat oleh orang lain.
"Aku baik-baik saja, Nak, tapi apa kau sendiri baik-baik saja? Bagaimana dengan tanganmu? Kulihat tanganmu terluka malam itu," ucap sang kakek sembari melirik tangan Denis yang tertutup lengan bajunya.
Ia menarik kain tersebut memperlihatkan tangan yang ditutup sedikit plester. Luka yang tak seberapa besar memang, tapi cukup perih dan berdenyut nyeri.
"Hanya luka kecil, bukan masalah," sahut Denis sembari menghendikan bahu.
Laki-laki tua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. Ia memperhatikan seluruh tubuh Denis, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sungguh tidak mencerminkan seorang pewaris tahta dari sebuah perusahaan terbesar. Ia kembali menjatuhkan pandangan pada kedua manik Denis yang tajam.
"Bisakah aku melihat wajahmu lagi? Aku hanya ingin memastikan sesuatu," pinta laki-laki tua itu penuh harap.
Alis Denis berkerut, terlihat bingung dengan permintaan laki-laki tua itu.
"Tapi aku memiliki wajah yang tidak menarik. Aku hanya khawatir Anda tidak suka melihatnya," jawab Denis segan.
Kakek itu tersenyum maklum, menghela napas dalam. Sekilas saja melihat, dia seperti menemukan bayangan seseorang di dalam sorot matanya yang tajam.
"Tidak masalah, setiap orang memiliki kekurangan. Saya kira itu bukan suatu yang seharusnya kau sembunyikan. Percaya diri saja, takdir baik tidak pernah salah memilih," ujar laki-laki tua itu sambil tersenyum ramah.
Denis terenyuh, baru saja bertemu dengan seorang gadis yang menerimanya dengan tulus. Sekarang, laki-laki tua yang juga tidak mempermasalahkan tentang kekurangannya itu. Perlahan, Denis membuka masker. Bekas luka yang ia tutupi kembali terlihat.
"Benar. Ternyata itu kau. Kau yang sudah menyelamatkan aku," ucap Kakek tua sambil meraba wajah Denis.
"Hanya kebetulan saja, Tuan," sahut pemuda itu.
Denis tersenyum bingung melihat kedua mata laki-laki tua di hadapannya yang berkaca-kaca. Dengan tangan yang bergetar, dia memeluk Denis erat. Hanya beberapa saat saja, ia lalu melepaskan pelukan menatap sang pemuda dengan mata berseri.
"Malam itu aku melihatmu mengenakan sebuah kalung, bisa aku melihatnya lagi? Ah, maaf. Bukan apa-apa, aku hanya ingin memastikan sesuatu," ucap Kakek tersebut menatap manik Denis dengan lembut.
Tuan Muda, sewaktu tuan meninggal beliau menitipkan ini kepada saya untuk Anda kenakan. Beliau mengatakan kalung ini pemberian kakek Anda. Hanya kakek yang bisa mengenali kalung ini.
Denis terngiang ucapan Darwis beberapa tahun silam saat ia memberikan kalung tersebut kepadanya. Sebuah kalung yang terlihat biasa saja, berbandul batu giok berwarna hijau yang tidak mencolok.
Kata paman hanya Kakek yang mengenali kalung ini. Sepertinya tidak masalah menunjukkannya pada kakek ini.
Denis bergumam sembari menimbang apakah perlu menunjukkan benda peninggalan ayahnya tersebut.
"Bolehkah?" Suara serak Kakek itu membuyarkan lamunan Denis.
Mata elang Denis memindai wajah sang kakek, menelisik lebih jauh ke dalam manik tuanya. Kemudian, menghela napas memutuskan untuk menunjukkan benda tersebut. Ia mengeluarkan kalung yang selama ini selalu melingkar di lehernya itu.
"Hanya benda biasa, tidak berharga sama sekali," ujar Denis saat menunjukkan kalung tersebut kepada Kakek itu.
Mata tua di hadapannya membeliak, air menggenang di kedua pelupuk. Tangannya bergerak hendak menyentuh benda itu, tapi Denis segera memasukkannya kembali ke dalam baju.
"Kurasa sudah cukup, Anda sudah melihatnya tadi. Jika sudah tidak ada yang diperlukan lagi saya mohon undur diri," ucap Denis dingin, tubuhnya berbalik hendak pergi merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Namun, sebuah tangan mencekal lengannya. Mencegahnya untuk pergi. Denis menoleh, mendapati mata tua itu yang sudah berair. Tanpa berkata-kata, sang kakek memeluk Denis. Tubuh pemuda itu membeku, tak mengerti dengan situasi yang sedang dia alami.
"Cucuku! Ya Tuhan, setelah bertahun-tahun akhirnya cucuku kembali. Dia kembali. Terima kasih, Tuhan," lirih Kakek tua itu sambil menangis di pelukan Denis.
Mendengar hal tersebut, Denis semakin membeku. Hatinya menerka kemungkinan yang ada di dalam pikiran.
Hanya Kakek yang mengenali kalung ini.
Ucapan Darwis kembali terngiang, ia tersentak. Lalu, melepas pelukan menatap wajah basah sang kakek.
"Siapa Anda sebenarnya?" tanya Denis dingin.
Kakek itu mengusap air matanya sambil tersenyum.
"Apa kau anak Surya Mahendra?" tanya balik Kakek tersebut.
"Bagaimana Anda tahu nama ayahku?" Denis memicingkan mata.
Laki-laki tua itu tertawa.
"Ah, Surya! Kau meninggalkan anak yang sangat tampan. Sama seperti dirimu. Nak, jika benar kau anak Surya maka, aku adalah kakekmu. Aku Jaya Kusuma Mahendra--ayah Surya Mahendra, ayahmu," ucap Kakek tersebut sambil tersenyum lebar.
Denis tertegun, sungguh tak menduga akan berjumpa dengan sang Kakek secepat ini.
"Ka-kakek? Benarkah?"
Tuan Jaya mengangguk pasti.
"Paman Darwis mengatakan hanya Kakekku yang mengenali kalung ini karena ini hadiah darinya. Apa itu benar?" tanya Denis dengan jantung yang berdebar kencang.
Tuan Jaya kembali tertawa, manggut-manggut teringat pada saat di mana ia memberikan kalung itu sebagai hadiah.
"Benar. Itu aku. Aku yang memberikannya kepadamu saat kecil dulu. Tak ku sangka Surya masih menyimpannya," ucapnya terkenang sang anak.
"Setelah bertahun-tahun ... di mana ayahmu? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya.
Denis menunduk, menggeleng pelan. Tuan Jaya kembali memeluknya, menepuk-nepuk punggung sang cucu.
"Tak apa, kau masih punya Kakek," ucapnya.
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......