Celsi harus menjalankan misi yang mengharuskannya berhadapan dengan pria berhati iblis—gelap seperti malam dan dingin bak es. Namun, semakin jauh langkahnya, ia terseret dalam pusaran dilema antara sang protagonis yang menarik perhatian dan sang antagonis yang selalu bermain cantik dalam kepalsuan. Terjebak dalam permainan yang berbahaya, Celsi mulai kehilangan kendali atas pilihannya, dan kenyataan semakin buram di tengah kebohongan dan hasrat tersembunyi
#rekomendasi viral
#kamu adalah milikku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwika Suci Tifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adu jotos
Xaviar menghempaskan tubuh Celsi ke ranjang, membuat kakinya menghantam sisi kasur.
"Aw..." Celsi meringis, memegang kakinya yang terasa nyeri.
"Sejak kapan lo kenal sama bajingan itu?" tanya Xaviar sambil mencengkeram dagu Celsi.
Celsi merasa takut saat Xaviar menatapnya dengan amarah yang begitu mengintimidasi.
"Dua minggu yang lalu," jawab Celsi jujur.
Xaviar mengertakkan giginya, wajahnya semakin tegang. Dia mendorong Celsi hingga terbaring, lalu menindihnya.
"Bagian mana yang sudah disentuh? Tangan ini? Atau bibir ini?" tanya Xaviar, menunjuk tangan Celsi, lalu merambat ke bibirnya.
"Urusan lo apa? Lo sendiri juga sering bareng pacar lo, tapi malah marah-marah ke gue. Padahal lo juga punya kekasih!" bentak Celsi tepat di depan wajah Xaviar, matanya menatap tajam.
"Lo milik gue. Yang boleh menyentuh lo hanya gue. Bahkan yang menentukan hidup dan mati lo juga gue. Ngerti?" ucap Xaviar dingin.
Xaviar mencengkeram kedua pipi Celsi, membuat bibirnya tertarik seperti ikan.
"Lo nggak boleh mencintai orang lain selain gue," tegas Xaviar sambil menunjuk dada Celsi.
"Untuk apa gue menaruh hati pada lo yang bejat, nggak punya perasaan, berhati batu, dan kejam. Lo nggak cocok buat gue," jawab Celsi sambil menunjuk dada Xaviar, menghindari tatapannya.
Celsi menggigit bibir bawahnya, hatinya terasa perih saat mengucapkan itu.
"Lo membohongi hati lo sendiri. Kita lihat apakah lo punya perasaan buat gue," ucap Xaviar tajam.
Xaviar mencium bibir Celsi dengan ganas, tak memberi celah baginya untuk bernapas.
"Eum..."
Celsi meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari ciuman itu. Namun, tanpa disadari, ada perasaan dalam dirinya yang mulai menikmati.
Setelah ciuman itu terlepas, Celsi menarik napas panjang.
"Lo nggak cocok buat gue. Gue nggak sudi disentuh lo. Sana, balik ke pacar lo aja," ucap Celsi sambil mencoba mendorong dada bidang Xaviar, tapi usahanya sia-sia.
Xaviar menggenggam kedua tangan Celsi erat-erat.
"Maka biarkan tubuh lo yang menerima gue," ucap Xaviar dengan senyum dingin.
Xaviar kembali mencium bibir Celsi, kali ini dengan penuh kelembutan. Kedua tangan Celsi yang digenggam Xaviar tetap berada di atas.
Namun anehnya, kenapa kali ini Celsi malah menikmati, bahkan membalas ciuman itu?
"Celsi, jangan terlena. Kenapa tubuh gue bereaksi sendiri?" batin Celsi.
Xaviar, yang tidak merasakan perlawanan Celsi, menghentikan ciumannya. Ia melihat bahwa Celsi sudah tertidur, napasnya tenang dan teratur.
"Kali ini lo lepas lagi," gumam Xaviar sambil menatap wajah Celsi. Dia menyelipkan anak rambut yang menutupi wajahnya dan mengusap pipinya dengan lembut.
"Gue nggak akan biarin lo pergi. Lo cuma milik gue. Kalau perlu, gue akan pakai cara keras supaya lo tetap di sini. Salah lo yang sudah mengusik hati gue. Salah mimpi itu yang terus menghantui gue. Kalau benar lo adalah orang dalam mimpi itu, gue nggak akan biarin lo menutup mata," bisik Xaviar di telinga Celsi, lalu mencium wajahnya dengan lembut.
Xaviar pun ikut tidur di samping Celsi, memeluknya dan menenggelamkan wajahnya di dada Celsi.
"Jangan pergi," gumam Xaviar sebelum jatuh tertidur, masih memeluk Celsi erat.
Keesokan paginya, Celsi terbangun terganggu oleh sinar matahari yang menyilaukan. Begitu membuka mata, pandangannya bukan pada kasur, melainkan wajah tanpa n Xaviar yang tertidur damai di sampingnya. Wajahnya terlihat tenang, meskipun aura dinginnya masih sedikit terpancar.
"Dug... dug... dug..."
Jantung Celsi berdegup kencang melihat Xaviar begitu dekat, sesuatu yang dulu tidak pernah terjadi. Tanpa sadar, tangannya mengelus pipi Xaviar.
Namun baru beberapa detik, Celsi tersentak kaget saat pergelangan tangannya ditahan oleh tangan Xaviar yang kuat. Iris mata Celsi bertemu tatapan mata hitam Xaviar yang dingin, namun tajam.
"Udah puas liatnya, hmm?" ucap Xaviar dengan suara serak yang terdengar menggoda.
Celsi segera memalingkan pandangannya, malu karena ketahuan sedang memandanginya.
"Lepas, Xaviar..."
Celsi mencoba melepaskan diri dari rengkuhan hangat Xaviar.
"Cium dulu baru gue lepas," bisik Xaviar di telinga Celsi, sambil menggigit cuping telinganya perlahan.
"Ogah. Lepasin atau nggak?" Celsi meronta, memukul dada bidang Xaviar.
"Oke, kalau gitu biarin kita begini sampai malam, atau... sekalian buat anak? Ide bagus juga," ucap Xaviar dengan tatapan nakal.
Celsi terkejut mendengar ucapannya. Tanpa pikir panjang, dia mengecup bibir Xaviar sekilas, namun tangan Xaviar menahan kepalanya, memperdalam ciuman itu.
"Eum..."
Setelah beberapa saat, Xaviar melepaskan ciuman itu dengan senyuman kecil. Celsi segera beranjak dari tempat tidur, wajahnya memerah dan jantungnya berdetak cepat.
"Kalau di cerita Wattpad, keadaan kayak gini berarti gue suka sama Xaviar," gumam Celsi sambil berjalan cepat menuju kamarnya.
Celsi membuka pintu kamar, menutupnya dengan keras, dan berlari ke kamar mandi. Celsi menatap cermin, wajahnya tanpa k tidak percaya.
"Kenapa gue yang malah suka sama Xaviar sih? Bukannya Xaviar yang harusnya suka sama gue," gumamnya sambil memukul-mukul kepalanya pelan.
"Gue baru sadar sejak kemarin gue cemburu sama Mutia karena dekat dengan Xaviar. Sama banget kayak cerita di Wattpad," gumamnya lagi sambil menatap cermin.
Celsi membasuh wajahnya beberapa kali, dan setelah lebih tenang, ia mandi agar lebih segar.
Celsi lalu meminta Bi Inah untuk mengantar sarapannya ke kamar. Hari ini, Celsi merasa tidak ingin bertemu dengan Xaviar, dengan alasan ada tugas kampus via Zoom pukul 8 pagi.
Sejak tadi, Celsi sibuk di depan laptop hingga tenggorokannya kering. Saat melihat meja, ia sadar bahwa gelasnya kosong, dan ia harus turun ke bawah untuk minum.
Sementara itu, Xaviar yang sedang sibuk bekerja menerima sebuah paket. Sebelum membukanya, ia mengenakan sarung tangan dan masker, lalu membuka paket dengan hati-hati.
Isi kotak itu adalah beberapa foto yang membuat Xaviar mengepalkan tangan hingga berdarah. Dengan penuh amarah, ia meremas foto-foto itu, lalu menendang kursi di dekatnya dan merusak dinding sekitarnya. Langkahnya penuh dendam saat ia meninggalkan kantor yang sudah sepi.
Di rumah, saat menuju dapur, Celsi dicegat oleh seseorang di ruang tamu. Celsi memutar matanya malas saat melihat Mutia berdiri di depannya.
"Lepas!" perintah Celsi dengan nada tak bersahabat.
"Gue cuma mau bilang, lo lebih baik mati daripada merusak hubungan orang lain, dasar pelakor nggak tau diri!" ucap Mutia sambil mencengkeram lengan Celsi kuat-kuat.
"Orang tua lo pasti nyesel punya anak kayak lo, atau jangan-jangan emak lo juga pelakor?" ejek Mutia dengan sinis.
"Prak!"
Celsi menampar Mutia keras, membuat kepala Mutia tertoleh ke samping.
"Apa? Lo boleh hina gue, tapi jangan bawa-bawa ibu gue! Dan ngaca deh, lihat pakaian lo! Dari pagi sampai malam kelihatan kayak... pelakor, cuma pakai beha dan celana dalam. Habis ngejalang ya lo?"
"Xaviar suka sama gue, sedangkan lo apa? Pasti udah jebol sama banyak orang makanya Xaviar nggak peduli, lebih milih gue!" jawab Mutia sambil tersenyum sinis lalu menjambak rambut Celsi.
Celsi membalas dengan jambakan yang lebih kuat, bahkan menendang dan mendorong Mutia, hingga tanpa sengaja menarik beha Mutia.
"Ah..."
Mutia melemah saat matanya tak sengaja bertemu dengan Xaviar, yang kini berdiri di antara Celsi dan Mutia.
" Hiks...sakit kenapa Lo jahat sama gue ?, Kalau Lo mau Xaviar bilang ke gue hiks...hiks..."
Celsi menyegitkan alisnya tidak mengerti maksud Mutia, namu. Beberapa saat Celsi barulah mengerti.
Saat melihat Xaviar yang telah berdiri di antara Celsi dan Mutia.