Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada celah untuk menolak.
Di dalam cahaya redup lampu rumah sakit, Sadewa duduk di samping ranjang rumah sakit, matanya tertuju pada sosok yang terbaring tidak berdaya di atas brankar. Perasaan sesak memenuhi dadanya, saat pandangannya jatuh pada wajah yang sudah hampir dua tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran.
Keheningan malam seakan menambah berat beban yang ada di hati Sadewa. Setiap detik terasa begitu panjang dan seolah waktu pun berjalan lambat hanya untuk menyaksikan penderitaan yang tak terucapkan.
“Maafkan saya…” suara Sadewa terdengar sesak, terhenti di tenggorokan nyaris tertelan oleh kesedihan yang begitu dalam.
Setiap kali ia mengunjungi Shima, kata-kata itu yang selalu terucap. Tidak ada lagi kata yang bisa mewakili penyesalannya, kecuali kata maaf. Betapa besar rasa bersalah itu, hampir membelenggu setiap kali berdiri di sisi ranjang ini, menatap Shima yang seolah terjebak dalam dunia yang tidak lagi ia sentuh.
Sadewa menggenggam tangan Shima dengan lembut, seolah berharap dengan sentuhan itu ia bisa mengirimkan segala perasaan yang telah lama terpendam. “Saya tidak tahu harus bagaimana lagi.” gumamnya pelan, pun matanya basah oleh air mata yang mulai menetes tanpa bisa ditahan.
Namun, kenyataannya juga lebih keras dari yang bisa ia terima. Sebagai seorang pria yang terbiasa dengan kekuatan dan kontrol, sekarang Sadewa merasa benar-benar tidak berdaya. Dalam keheningan malam, ia hanya bisa berdoa agar Shima bisa mendengar kata-katanya, meskipun ia tahu kata-kata itu mungkin sudah terlalu terlambat.
Kecelakaan itu meninggalkan luka yang tidak terlihat, mengubah hidup Shima dalam sekejap. Kini, ia terbaring dalam keadaan vegetatif, tidak sadar akan dunia di sekitarnya. Meskipun tubuhnya terjaga, namun pikirannya terperangkap dalam keheningan yang tidak terjangkau.
Serebrum-nya yang dulu memunculkan tawa dan canda, kini hanya meninggalkan kekosongan yang hampa. Sementara bagian otaknya yang vital masih bekerja, memberi harapan kecil bahwa suatu saat Shima akan kembali.
Sadewa yang duduk di samping ranjang Shima, matanya tak lepas dari sosok yang terbaring tak bergerak. Hatinya sakit memikirkan betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya kebahagiaan bisa berubah menjadi kepedihan yang tidak terduga. Ia merasakan setiap detik berlalu begitu berat, seolah dunia ini berhenti hanya untuk mengingatkannya pada penyesalan yang mendalam.
“Tuan, ini sudah malam. Sebaiknya Anda pulang dan beristirahat. Besok, Anda ada pertemuan dengan klien besar,” suara Maya lembut memecah keheningan, mengingatkan Sadewa pada kenyataan yang tidak bisa ia elakkan.
Sadewa menghela nafas panjang, sekilas menoleh kearah Maya sebelum akhirnya ia berdiri dan melangkah menuju pintu. Tanpa sepatah kata, ia keluar dari ruang perawatan, berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkahnya mengingatkan pada betapa jauh jarak antara harapan dan kenyataan.
Sadewa menuju basement tempat mobilnya terparkir. Meskipun langkahnya tergesa, pikirannya masih terperangkap dalam kenangan. Tidak ada yang tahu betapa dalam luka yang disembunyikan oleh Sadewa, bahkan Abimana, sahabat yang selama ini selalu ada disisinya.
Mereka tampak seperti dua jiwa yang tidak terpisahkan, saling mendukung dalam suka dan duka, berbagi tawa dan cerita tanpa jarak. Namun, dibalik kebersamaan mereka yang tampak sempurna, Sadewa menyimpan sebuah rahasia yang tidak seorang pun pernah tahu.
Jauh didalam hati Sadewa, ia merasa hancur. Ia terperangkap dalam perasaan bersalah yang mendalam, melawan kenangan yang tidak bisa ia lupakan dan menyembunyikan luka yang tidak bisa sembuh. Meski tak terlihat oleh mata Abimana, luka itu tetap ada, meresap dalam setiap langkah yang diambil Sadewa dan terkadang menambah beban di pundaknya.
Sadewa tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan siapapun tahu tentang beban ini. Ia takut jika rahasia itu terbongkar, akan menghancurkan hubungan yang telah dibangunnya dengan orang-orang sekiranya. Bahkan Abimana yang selalu menatapnya dengan penuh pengertian, tak bisa memahami apa yang sebenarnya menggerogoti dirinya. Mereka memang sahabat, tapi ada batas yang tidak bisa dilampaui, sebuah tembok tebal yang tidak terlihat yang memisahkan dunia mereka.
Sesampainya Sadewa di mobil, ia duduk sejenak, merasakan dinginnya bangku penumpang yang menyentuh punggungnya. Meskipun tubuhnya sudah berada di mobil, hatinya tetap tertinggal di ruang rumah sakit, terjebak bersama Shima yang kini hanya bisa menjadi bayang-bayang diri sosok yang ia kenal dan cintai.
“Maya… bagaimana kabar Shima? Apa kata dokter Bagas mengenai kondisinya?” Tanya Sadewa dengan suara rendah.
Maya menoleh sejenak. “Dokter Bagas belum memberikan pernyataan lebih lanjut, Tuan,” jawabnya hati-hati.
Sadewa mengusap wajahnya kasar, merasakan kepenatan yg semakin menekan dadanya. Ia tahu kata-kata Dokter Bagas yang terngiang-ngiang di kepalanya, bahwa harapan untuk kesembuhan Shima semakin memudar.
“Jika kondisi vegetatif ini berlangsung lebih dari beberapa bulan, kemungkinan besar Shima tidak akan pulih seperti sebelumnya. Bahkan jika ia pulih, penderita mengalami cacat yang berat.” ucap dokter Bagas dalam ingatan Sadewa.
Kata-kata itu terus berputar di benak Sadewa, seolah memadatkan seluruh perasaan kesedihan, penyesalan, dan ketidakberdayaan yang ia rasakan. Tangannya yang tadi terlipat kini mulai meremas. Rasa sesak semakin menggulung di dadanya. Ia ingin menangis dan berteriak, tapi semua ini hanya tersimpan didalam dirinya.
“Tuan, malam ini Anda akan pulang kemana? Kediaman Nona Maharani atau Golden House?” Tanya Maya.
Mendengar nama Maha disebut, tubuh Sadewa seolah berhenti sejenak. Tanpa disadari, ia teringat akan perlakuannya siang tadi yang terasa begitu kasar dan tak seharusnya. Rasa bersalah mulai merayapi hatinya, meski ia berusaha untuk tetap tegar.
“Tuan?” Maya melanjutkan, melihat Sadewa dari bangku depan yang tampak ragu sejenak.
“Antar saya ke unit Maha.” Jawab Sadewa, tegas. Seolah memaksa dirinya untuk menanggalkan semua keraguannya.
Sadewa memang dikenal dingin dengan sikap yang tidak mudah terbaca. Akan tetapi, dibalik sikapnya yang keras, tersembunyi sisi lembut yang jarang ditunjukkan, bahkan kepada orang-orang terdekatnya sekalipun. Terlebih ketika menyangkut Maha yang kini tak hanya menjadi bagian dari pekerjaannya, tapi juga sosok yang perlahan ia anggap spesial dalam hidupnya.
Mobil melaju dengan tenang, tapi dalam hati Sadewa ada kegelisahan yang sulit ia sembunyikan. Ia tahu, harus ada yang ia perbaiki terutama sikapnya terhadap Maha. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kerja yang ingin ia jaga.
...****************...
Sudah pukul 21.30, waktu dimana Maha biasanya sudah terlelap di kamarnya. Namun, malam ini berbeda. Gadis itu tidak berbaring ditempat tidurnya, melainkan di sofa dengan televisi menyala didepan mata yang tampak lelah.
Di meja, secangkir kopi masih utuh. Kini dingin, tanda bahwa ia tidak sempat atau mungkin tidak ingin menyentuhnya. Sedangkan di lantai, berserakan beberapa tisu bekas, bukti bahwa air matanya telah tumpah lebih dari sekali, malam ini.
Sementara itu, Sadewa yang sudah masuk kedalam unit Maha, pun melangkah masuk dan disambut oleh suara televisi yang cukup keras, memecah keheningan malam. Ia berhenti sejenak, membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar televisi.
Suasana hening dan gelap memberikan kesan yang sepi dan dingin. Tanpa banyak bicara, Sadewa berjalan pelan menuju ruang televisi, seraya melepas jasnya dengan gerakan yang perlahan.
Langkah Sadewa terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Maha yang terungkap di sofa, matanya terpejam, seolah dunia yang berat akhirnya menyerahkannya pada tidur yang tidak tenang. Ruangan itu pun tampak kacau dengan tisu-tisu yang berserakan di lantai, menjadi saksi bisu dari ruangan yang baru saja mereda.
Apakah Maha menangis? Pikir Sadewa, hatinya mencubit pelan.
Pelan, ia melangkah mendekati Maha. Setiap langkahnya terasa berat, seolah setiap inci mendekatkannya pada rasa bersalah yang ia abaikan. Sadewa berjongkok, menatap wajah damai Maha yang tampak lelah. Wajah itu masih menunjukkan jejak-jejak kesedihan yang belum sepenuhnya pudar.
Perhatiannya kini tertuju pada tangan Maha yang menggantung di sisi sofa, jari-jarinya yang lentik tampak lemah, seperti menyerah pada berat beban yang ia pikul sendiri.
“Maha, apakah tadi rasanya sakit? Hm?” Tanya Sadewa lirih, jarinya menyentuh lembut tangan Maha yang terkulai.
Sentuhan lembut itu mengejutkan Maha, membuatnya terbangun dengan mata yang perlahan membulat. Dalam sekejap, ia sadar akan kehadiran Sadewa yang menatapnya dengan intens. Membuat jantungnya berdegup kencang saat ia buru-buru bangkit, merapikan penampilan yang mungkin berantakan karena air mata yang baru saja ia hapus.
“Maaf, karena saya mengganggumu,” Ucap Sadewa.
Maha mengerutkan kening, tidak bisa menyembunyikan kekehan kecil yang terdengar remeh. “Maaf? Untuk apa, Pak? Itu tidak perlu,” jawabnya, berusaha menciptakan jarak.
Namun, Sadewa cepat menahan pergelangan tangannya, membuat Maha tetap ditempat. “Kamu marah?” Tanyanya, suara itu terdengar lebih dalam, penuh dengan penyesalan yang tidak mampu ia sembunyikan.
Maha menatap Sadewa tanpa ekspresi, matanya kosong namun penuh arti. Kejadian siang tadi kembali terbayang di benaknya, membuat hatinya kembali terasa perih. Ia menghempaskan tangan Sadewa dengan kasar, tanpa ragu.
“Pak, saya lelah. Jadi, tolong biarkan saya istirahat, meskipun hanya sebentar,” ucap Maha dengan suara yang nyaris memohon, suaranya bergetar.
Sadewa terdiam sejenak, menatap wajah lelah Maha yang tersirat kesedihan. “Maha, saya tahu tindakan saya tadi siang begitu kasar. Tapi, saya benar-benar tidak bermaksud untuk menyakitimu. Sungguh,” ungkapnya dengan nada yang lebih lembut, mencoba meraih pengertian.
“Iya, saya tahu kok, Pak. Saya bersalah dan tidak mendengar ucapan Anda. Saya ingat betul mengenai kontrak itu, sangat ingat, Pak,” kata Maha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Maka dari itu saya minta maaf karena tidak profesional. Tapi tolong… biarkan malam ini saya beristirahat. Sungguh, saya lelah, Pak Sadewa…” suaranya semakin bergetar, menunjukkan betapa hancur hatinya saat ini.
Sadewa merasakan sesak di dadanya ketika melihat Maha yang biasanya kuat kini tampak begitu rapuh, membuatnya merasa semakin bersalah. Sadewa terdiam, mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan Maha.
Panggilan ‘Pak’ yang kembali digunakan oleh Maha, terasa seperti duri yang menusuk hatinya. Sebelumnya, Maha sudah memanggilnya dengan sebutan ‘Mas,’ sebuah sapaan yang terasa lebih akrab dan hangat. Kini, sebutan itu menghilang, digantikan oleh jarak yang terasa semakin lebar.
Apakah Maha benar-benar membenci saya setelah kejadian tadi? Pikirnya penuh dengan rasa bersalah yang menghantui. Ia memandangi punggung Maha yang menjauh, meninggalkannya dalam diam yang menyesakkan. Langkah Maha terasa ringan, namun meninggalkan jejak yang berat dihati Sadewa.
Hati Sadewa yang bergemuruh tidak mampu lagi ia kendalikan. Dengan langkah cepat, ia menyusul Maha yang tengah meraih kenop pintu kamar. Tanpa berpikir panjang, Sadewa buru-buru meraih tangan Maha, menariknya lembut dan membawanya ke dalam pelukan hangat yang penuh penyesalan.
“Maha, maafkan saya.” Bisik Sadewa dengan suara bergetar.
Pelukannya erat, seolah takut kehilangan gadis itu selamanya. Ia sedikit menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan Maha, kemudian menenggelamkan wajah di ceruk leher Maha, mencari ketenangan di dalam kehangatan yang Maha miliki.
Sementara Maha, ia tetap diam. Tubuhnya kaku dalam dekapan Sadewa. Ia tidak membalas pelukan itu, membiarkan dirinya terperangkap dalam keheningan yang berat. Matanya menatap lurus kedepan, pikirannya berkelana antara lelah dan luka yang masih membekas.
“Saya hanya bingung harus berbuat apa saat rasa cemburu menguasai hati saya,” ujar Sadewa lirih, sambil mengeratkan pelukannya.
Apa, cemburu? Sadewa cemburu dengan ku? Pikir Maha bingung dan tidak percaya.
“Iya, Pak. Sudah jangan seperti ini. Saya tidak apa-apa, sungguh.” Balas Maha, mencoba tegar meski hatinya masih bergejolak.
Sadewa perlahan melonggarkan pelukannya, memberikan ruang bagi Maha untuk bernafas. Ia menatap Maha dengan penuh penyesalan, matanya mencari jawaban dalam pandangan Maha yang terlihat lelah.
“Matamu sembab, Maha. Kamu selepas menangis? Katakan, siapa yang membuatmu menangis? Hm?” Tanya Sadewa penuh kekhawatiran.
Kamu lah, siapa lagi emangnya?! Pakai nanya segala! Maha merutuki dalam hati, merasa kesal namun juga tersentuh oleh perhatian Sadewa. Namun, ia menggeleng pelan, memilih untuk menyembunyikan perasaannya.
“Tadi saya nonton drama Korea, Pak. Jadi kebawa perasaan,” jelas Maha berdusta, mencoba mengalihkan perhatian Sadewa.
“Oh,” jawab Sadewa, lalu melepaskan tangannya dari lengan Maha. “Ya sudah, kalau begitu saya mau mandi. Tunggu saya di kamar,” lanjutnya dengan nada datar.
“Pak, untuk apa saya harus menunggu Anda di kamar?” Tanyanya, setengah pekik.
“Tidur, apalagi?” Balas Sadewa, matanya melotot dengan tatapan tajam.
Suasana mendadak tegang lagi, seakan ada jarak yang tidak terlihat di antara mereka. Namun, tanpa mengatakan apapun lagi, Sadewa berbalik dan berjalan menuju kamar sebelah untuk membersihkan diri sebelum beristirahat.
Maha merasa campuran kesal dan bingung dengan sikap Sadewa yang sulit dipahami. Dengan jengkel, ia menghentakkan kakinya ke lantai untuk melampiaskan sedikit rasa frustasinya.
“Ada ya orang kayak, Sadewa. Gila!” Gumamnya pelan, matanya memandang ke arah pintu kamar yang baru saja ditutup Sadewa.
Maha menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri meski hatinya kesal. Ada sisi lain yang membuatnya tidak bisa benar-benar marah. Mungkin, dibalik sikap dingin dan tsundere itu, ada perasaan yang tidak diungkapkan Sadewa dengan mudah.
...****************...
Malam yang melelahkan, ditambah dengan hati yang terasa berat, pun membuat Maha segera terlelap begitu tubuhnya menyentuh kasur empuk. Kepalanya tenggelam di bantal, tanpa memikirkan lagi ucapan Sadewa sebelumnya. Baginya, kata-kata itu hanya angin lalu, sekadar bualan yang tidak perlu ditanggapi.
Namun, dalam keheningan malam, kehangatan yang tiba-tiba muncul membuat Maha terjaga. Sebuah tangan kekar perlahan melingkar di perutnya, menghadirkan kehangatan yang tidak disangka. Maha tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik tangan itu. Tersangkanya tidak lain adalah Sadewa.
Pria itu menarik tubuh Maha hingga menempel sempurna pada dirinya, menghadirkan kehangatan yang begitu dekat. Hembusan nafasnya terasa di leher Maha, membuat gadis itu yang semula terlelap kini terjaga dengan mata membelalak. Kejutan dari kedekatan yang tanpa jarak ini membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Jangan melawan. Saya juga lelah dan butuh kamu untuk mengisi ulang daya saya.” Bisik Sadewa, suaranya rendah dan penuh keletihan.
“Pak, tapi ini terlalu dekat,” ujar Maha, suaranya bergetar.
“Ini baru permulaan, Maha. Anggap ini sebagai latihan. Nanti akan ada hal-hal lain yang membuat kita semakin dekat.” Balas Sadewa, suaranya serak penuh dengan nuansa menggoda.
Apa maksudnya? Apakah ini berkaitan dengan hubungan seksual? Pertanyaan itu melintas di benak Maha, menyebabkan dirinya berdecak tanpa suara, seolah kesadaran dan ketidakpastian saling beradu di dalamnya. Diguncang antara rasa ingin tahu dan kecemasan, Maha merasakan setiap detik menariknya kedalam keadaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
“Tenang saja, saya tidak akan meminta jatah saya sekarang. Meskipun saya sangat ingin malam ini. Saya bisa menahannya, karena saya tahu kamu lelah. Jadi, beristirahatlah. Selamat malam.” Kata Sadewa, memejamkan matanya sambil tersenyum sambil mempererat pelukannya di pinggang Maha.
Sementara Maha, tubuhnya yang menempel pada Sadewa, pun merasakan ada sesuatu yang bulat di bawah sana, terlebih ia tidak bisa bergerak. Sehingga, membuat jantungnya berdegup kencang, campuran rasa nyaman dan cemas terus menerus bergulat di dalam dirinya. Dengan tubuh Sadewa yang hangat dan kuat memeluknya, Maha merasa terjebak dalam situasi yang baru dan membingungkan.
Gila, jadi Sadewa menganggap hubungan kita ini benar-benar seperti sepasang kekasih? Dan apa tadi dia bilang? Dia menahannya meskipun ingin? Sialan, Sadewa! Batin Maha dipenuhi dengan frustasi dan kebingungan.
Dalam lelahnya, hati Maha tidak ingin melawan. Terlebih lagi saat ia mendengar dengkuran halus Sadewa di belakangnya. Suara yang menenangkan itu membuatnya, mau tak mau, harus menyerah pada keadaan. Ia merasakan kehangatan dan meskipun pikirannya melawan, tubuhnya seolah terikat dengan nyaman di sana.
Akhirnya, Maha memutuskan untuk mencoba terbiasa dengan situasi yang aneh ini. Dengan menutup mata, ia memilih untuk tidur dan membiarkan semua pikiran liar menjauh, berharap bahwa saat bangun nanti segalanya akan lebih mudah dipahami. Maha berusaha merelakan diri, menyelubungi dirinya dalam keheningan malam, berdoa agar mimpi-mimpi tidak membawanya lebih dalam ke dalam kekacauan perasaannya.