Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Putuskan
Mengatasnamakan ustadz, Zain berhasil mengecup sang istri tanpa rasa bersalah. Auranya sangat berbeda saat ini, terlihat lebih ramah hingga mahasiswa yang kali ini ikut kelasnya salah paham dan mengira bahwa senyum Zain untuk mereka, padahal bukan sama sekali.
Tidak lain dan tidak bukan, yang menjadi penyebab senyum Zain adalah Nadin. Dia tengah membayangkan posisinya fokus belajar di perpustakaan bagaimana, beberapa kali pria itu melihat pergelangan tangan kirinya.
Sejak awal masuk kelas, sebenarnya pikiran Zain sudah terbagi menjadi dua arah. Akan tetapi, demi professional kerja mana mungkin dia sampai meninggalkan kelas walau sebenarnya sangat ingin segera ke perpustakaan juga.
"Dia sendirian, apa tidak bosan di perpustakaan?"
Zain benar-benar kepikiran, padahal jauh dari dugaannya Nadin sama sekali tidak kesepian, tapi sebaliknya. Kepala Nadin seolah akan pecah berkat kedatangan kakak tingkat super posesif yang merasa sangat khawatir dengan keadaannya, Azkara.
"Jihan bilang kamu sakit, sudah sembuh?"
Nadin mengangguk, tatapannya kembali tertuju pada seikat mawar merah pemberian Azkara. "Sudah, Kak."
"Syukurlah, tapi kenapa nomor teleponmu belum bisa dihubungi sampai sekarang? Ganti atau kenapa?"
"Ah, itu ... ponselku hilang kak Azka," jawab Nadin berbohong, mana mungkin dia berani mengakui jika sesuatu telah terjadi padanya.
Respon Nadin masih sama, sangat amat seadanya sejak awal Azka nekat berkenalan enam bulan lalu. Bahkan, cenderung kurang menerima, tapi hal itu tidak membuat Azkara lelah sedikit saja.
"Nad."
"Iya, Kak?" Nadin mendongak, sejak tadi dia terlihat tidak begitu nyaman dengan kehadiran Azkara, dan jelas saja sangat kentara.
"Nikah yuk."
Mata Nadin membola, entah kenapa akhir-akhir ini banyak sekali yang mengajak menikah. Bahkan setelah dia resmi jadi istri orang sekalipun masih saja ada yang melamarnya. "Aku sudah hapal surah An-Naba," tambahnya lagi dengan begitu percaya diri hingga Nadin mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Ni-nikah?" Nadin khawatir salah dengar, karena itu dia memberanikan diri untuk bertanya lagi demi memastikan kebenarannya.
"Hm, katanya tidak mau pacaran ... kalau nikah gimana? Tetep tidak mau juga?"
"Ma-maaf, Kak, tap_"
"Shuut, jangan dijawab kalau cuma menolak ... jawab jika nanti kamu sudah siap jadi istriku," ucap Azkara seraya mengedipkan mata sebelum kemudian berlalu pergi meninggalkan Nadin yang kini memijat pangkal hidungnya.
Tidak di kost, tidak di kampus dia terus saja dipertemukan dengan orang-orang aneh yang kerap kali memaksakan kehendak. Nadin tidak mengerti kenapa para lelaki yang dia temui begini, apa mungkin semuanya begitu? Tapi, jika benar iya, Onad yang merupakan sahabatnya tidak begitu.
Dia belum selesai menjelaskan, sebenarnya bingung juga. Hendak jujur jika sudah punya suami, maka sama halnya bunuh diri. Namun, jika tidak, Azkara mungkin akan terus-terusan berharap padanya.
Sejak enam bulan lalu, pemuda kaya yang dia ketahui sebagai putra konglomerat itu mendekatinya. Tanpa basa-basi, pemuda itu mengatakan jika suka dan Nadin sudah menolaknya. Namun, Azkara tidak menyerah, beruntung saja caranya mendekati sedikit lebih sopan dan tidak membuat Nadin merasa terganggu.
Tepat hari ini, Azkara tiba-tiba datang dengan seikat bunga dan mengajaknya menikah dengan semudah itu, persis ngajak makan. Nadin yang berada di posisi serba salah, tiba-tiba terperanjat begitu sadar Zain justru sudah berada di hadapannya.
"Mas? Ngapain ke sini?" desis Nadin yang kini mendadak panik. Paniknya melebihi sewaktu Azkara datang, karena seperti yang Nadin ketahui perpusatakaan mulai ramai dan besar kemungkinan aksi nekat Zain justru menimbulkan masalah.
"Siapa yang kasih?"
Alih-alih menjawab, Zain justru mempertanyakan hal lain kala menyadari seikat mawar merah di atas meja. Memang tidak sedang Nadin peluk, tapi dia tahu jika bunga mawar itu sudah pasti untuk istrinya.
"Kak Azka ... hadiah karena sudah sem_"
"Coklat ini juga?"
Nadin mengangguk lagi, seketika itu juga Zain menghela napas panjang dan menatapnya datar. Nadin yang sudah ketakutan jika sang suami akan marah, segera mencari jalan tengah yang sekiranya paling aman untuk saat ini. "Nanti aku kasih Onad, dia suka yang manis-manis."
"Teruskan belajarmu, aku cuma memastikan, kebetulan masih banyak pekerjaan."
Pertemuan mereka hanya sebatas itu, Zain berlalu pergi menyisakan bingung dan rasa bersalah dalam diri Nadin. Ingin Nadin kejar dan segera menyelesaikan masalah, tapi mengingat kelasnya sudah hampir dimulai dan Nadin tidak ingin pengalaman buruknya di mata kuliah Zain juga terjadi di dosen yang lain.
.
.
Kesalahpahaman itu berlangsung lama, hingga menjelang sore tepatnya. Zain masih tetap menjemputnya, kali ini dia mengalah karena Nadin mengatakan tidak mau pulang jika tindakan mereka membahayakan.
Kembali seperti setelan awal, wajah datar khas dirinya kembali terlihat nyata di mata Nadin. Sudah pasti permasalahannya akibat bunga yang dia ketakui pemberian seseorang untuk istrinya. Sedikit lebih baik, Zain tidak terlalu marah begitu sadar jika Nadin tidak membawa pulang bunga pemberian Azka, bahkan karena hal itu Zain sampai berani bicara pada sang istri.
"Putuskan."
"Heh?" Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba Zain bicara seperti itu. Jelas saja Nadin mengerutkan dahi karena bingung kemana arah yang dibicarakan sang suami.
"Apanya putuskan, Mas?"
"Hubunganmu," ucap Zain lesu, dia menatap lurus ke depan tanpa memerhatikan sang istri tengah menunggu kelanjutan ceritanya. "Dengan siapapun itu," lanjut Zain lagi.
Nadin yang merasa tidak memiliki hubungan dengan siapapun jelas saja menepis ucapan Zain. "Tunggu, maksudnya apa? Aku tidak merasa menjalin hubungan dengan siapapun, kenapa harus disuruh putus?"
"Lalu Azka?"
"Tidak ada yang spesial, hanya teman biasa."
"Teman tidak ada yang sampai ngajak nikah," celetuk Zain yang kemudian berhasil membuat Nadin tidak bisa berkata-kata.
Entah sebanyak apa yang Zain dengar, tapi besar kemungkinan hampir seluruhnya. Pria itu terus fokus mengemudi, dengan tatapan tak terbaca yang kemudian tiba-tiba menepi dan berhenti tepat di depan toko bunga.
"Mau ngapain? Kenapa berhenti di sini?"
"Tanggal lahirmu berapa?"
"Masih lama ulang tahunnya, delapan bulan lag_"
"Katakan saja tanggal lahirmu berapa, Nadin."
"27," jawab Nadin singkat, sendirinya saja bertanya tidak jelas, jadi wajar saja Nadin bingung.
Setelah bertanya juga dia turun tanpa mengucapkan apa-apa. Nadin yang tidak mengerti enggan memusingkan hal tersebut dan memilih untuk fokus dengan layar gawainya, wanita itu terkekeh membaca ucapan terima kasih Onad yang telah diberi modal untuk membujuk Jihan yang ngambek padanya.
Sebenarnya Nadin merasa bersalah, tapi demi menghargai kedudukan sang suami, dia tidak punya pilihan lain dan memberikan bunga serta coklat yang Azka kasih pada Onad, sahabatnya.
"Maafin aku, Kak Azka ... suatu saat aku akan bicara."
Baru saja Nadin menghela napas lega, dia kembali dibuat menganga lantaran Zain masuk dan membawa seikat mawar putih segar di tangannya. Tak hanya itu, tanpa banyak basa-basi Zain memberikan bunga tersebut pada sang istri.
"Mulai detik ini, jangan pernah terima pemberian dari pria lain, apapun alasannya."
"Termasuk hadiah?"
"Iya, semua itu tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengharapkan apapun dari orang lain, aku masih mampu membahagiakanmu."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"