"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 07
“Gue nervous banget sumpah,” ucap Mita setelah mereka mengantar CV ke pihak HRD.
Gadis ber bando pink itu berkali-kali menyeruput es matcha-nya dan mengipasi wajah yang memerah, padahal AC mobil menyala kencang membuat perempuan di sebelahnya tertawa geli.
“Baru mengantar CV kamu udah segitunya belum nanti wawancara dan mulai kerja, bisa pingsan,” canda Gladys yang tengah menyetir, sesekali dia menatap Mita dan terkekeh lagi.
"Siapa yang enggak nervous coba kalo lamar magang ke Serenova,” sahut Mita kembali menyeruput matcha yang sisa esnya saja.
"Yah, habis, Dys. Singgah ke kafe, yuk, beli minum,” ajak Mita.
"Boleh, sekalian aku juga mau ketemu sama seseorang.”
“Siapa?” tanya Mita menoleh pada Gladys penasaran.
“Kamu ingat George?” Mata Mita memicing berpikir, sedetik setelahnya membulat dan dia mengangguk.
“Pelukis itu?” Gladys mengangguk, matanya fokus pada jalan raya.
Kemarin malam George menghubunginya, mengatakan jika lukisan kemarin sudah selesai dan meminta untuk bertemu di kafe itu lagi hari ini.
Gladys tersenyum cerah membayangkan lukisan potretnya sudah selesai, pasti sangat indah mengingat bagaimana hebatnya kemampuan melukis George saat di museum dan kafe semalam.
“Cepat juga perkembangan hubungan kalian,” komentar Mita melihat gurat ceria di wajah sahabatnya.
“Sudah pacaran kah?” tanya gadis itu lagi.
"Ngawur kamu, kita hanya teman kok,” ucap Gladys membantah. Ia membelokan mobil ke kiri menuju kafe yang ia kunjungi minggu lalu.
Ia memarkir mobilnya tepat di depan Kafe lantas mengajak Mita untuk turun, sesampainya di dalam kafe kedua gadis muda itu mendapati George sudah sampai lebih dulu dan duduk di dekat jendela.
"Hai, George, ketemu lagi kita,” sapa Mita mendekat lebih dulu lantas duduk di kursi depan George.
George menoleh mengulas senyum manisnya pada gadis ber bando pink yang selalu tampak ceria itu.
“Halo, Mita kan? Kalian datang berdua?” George melemparkan pandangan pada Gladys yang menyusul duduk di samping Mita.
“Kami dari kantor Serenova mengajukan magang, setelah itu langsung ke sini,” beritahu Gladys.
“Serenova, ya? Saya tahu perusahaan itu,” ucap George meneguk teh di atas mejanya.
Tentu tahu, sangat tahu.
“Gladys yang mau magang ke sana, gue sih ikut dia aja.”
“Mau lihat lukisannya sekarang?” tanya George, Gladys mengangguk.
Pria itu kemudian membawa keduanya naik ke lantai atas, di sana ada dua orang pelukis lain yang sedang fokus pada kanvas masing-masing.
George sedikit berdebar ketika menunjuk sebuah lukisan buatannya yang berada paling ujung, Gladys lebih dulu mendekat, menatap saksama potret wajahnya, ia pun mengulas senyum manis.
“Indah sekali,” gumam perempuan muda itu mengusap lukisan di atas frame easel tersebut.
“Kamu menyukainya?”
“Sangat suka, terima kasih, George,” ucap Gladys tulus, ketika mata cantiknya menyipit membentuk bukan sabit di situlah George merasakan getaran hebat di dadanya.
“Cantik,” gumam pria itu tanpa sadar.
Mita yang melihat interaksi keduanya dari belakang diam-diam cemberut, tahu begini dia tidak mau ikut naik tadi lihat, sekarang dia malah jadi obat nyamuk.
***
Setelah melewati tahap wawancara dan dinyatakan lulus, Gladys dan Mita langsung memulai magang di hari ini. Sesampainya di kantor mereka bertemu dengan beberapa mahasiswa lain yang juga magang di sana.
Salah satu dari mahasiswa itu adalah Fellycia gadis yang mereka temui saat mengantar CV, Fellycia adalah saingan berat Gladys saat sekolah. Mereka dulu sering berselisih paham bahkan bermusuhan memperebutkan peringkat pertama.
“Hai, Gladys. Kita bertemu lagi,” sapa Fellycia tersenyum sombong, matanya menilai Gladys atas ke bawah.
"Makmur ya sekarang,” sindir gadis berambut bob warna merah itu tertawa.
Mita yang juga mendengar ejekan itu mengepalkan tangannya geram dia maju hendak menegur Fellycia, tetapi Gladys sudah lebih dulu menahan dan menggeleng pada sahabatnya itu.
Fellycia anak seorang menteri, ia memiliki background yang kuat Gladys sadar jika orang-orang biasa seperti mereka tidak akan mampu melawannya.
“Hai, Felly. Apa kabar?” sapa Gladys balik menampilkan wajah ramahnya tapi gadis sombong itu memilih berlalu begitu saja tanpa mengindahkan sapaannya.
Gladys mengusap dada sabar, baru hari pertama magang dia tidak boleh emosi dan membuat kekacauan.
***
“Halo, saya Mike, wakil manager umum yang akan menjadi penanggung jawab bagi kalian selama magang di perusahaan ini,” sapa seorang pria berumur tiga puluhan.
Wajahnya bulat dengan postur tubuh pendek menggunakan kacamata tebal. Pria itu tersenyum melihat wajah-wajah cantik para anak magang yang kebetulan tahun ini perempuan semua.
“Kalian akan di bagi menjadi dua tim, tim pertama di tempatkan pada bagian Finance dan tim kedua di Marketing, untuk sekarang saya akan membawa kalian berkeliling mengenal lingkungan kantor,” jelas Mike membawa mereka berkeliling.
Mike menjelaskan seluk-beluk kantor dengan seksama saat tiba di bagian ruangan Direktur, Gladys terkejut melihat seorang wanita dengan baju dan lipstik berantakan keluar dari sana, ruangan Gustav.
Gladys mengepalkan tangan, hatinya seperti di tusuk-tusuk oleh ribuan duri, dia ingin menghampiri wanita kurang ajar itu dan menamparnya di depan semua orang tapi akal sehat segera menyadarkan akan posisi.
Sadar Gladys! Kamu tidak berhak marah karena sejatinya kamu juga hanya mainan Gustav. Batinnya sesak.
Gladys mengangkat wajahnya agar air matanya tidak jatuh kemudian melanjutkan langkah mengikuti Mike dan rombongan yang sudah agak jauh.
***
Fellycia, Gladys dan Mita di tempatkan pada departemen finance, Mike mengantar ketiga gadis itu ke ruangannya untuk diperkenalkan pada karyawan yang bekerja di sana.
Ada empat karyawan berada di departemen finance, Vivi, Julian, Rere dan Dimas, mereka semua baik-baik dan ramah si penglihatan Gladys.
“Gladys, kamu duduk di meja samping abang ya, biar abang yang arahin kamu,” kata Julian menunjuk meja kosong di sebelahnya.
“Iya, bang.” Gladys langsung saja duduk di meja itu, Mita duduk di antara Vivi dan Dimas, sedangkan Fellycia gadis sombong itu memilih meja ujung dekat jendela yang agak jauh dari mereka semua.
“Felly, di sini saja, kamu biar aku yang ajarin,” ajak Rere, ada kursi kosong di samping mejanya, Rere sudah bersihkan dari debu agar Fellycia bisa duduk nyaman.
“Gak perlu, saya bisa sendiri,” ucap gadis itu ketus tanpa menoleh membuka komputer di depannya.
Keempat karyawan senior di sana termasuk Gladys dan Mita memandangnya terkejut.
“Belagu banget anak magang,” desis Vivi menggeleng heran.
“Maklum anak Menteri,” bisik Dimas menyenggol lengan Vivi.
“Memang gitu dia dari dulu, Kak. Sombong, apa-apa maunya sendiri,” sahut Mita yang berdiri di tengah mereka berdua.
“Teman kamu?”
“Bukan, kenal karena satu sekolah.”
Fellycia yang mendengar itu tidak menghiraukan mereka membicarakan dirinya, matanya fokus merapikan barang-barang di atas meja juga mulai mengerjakan laporan yang diberikan padanya barusan.
Begitulah Fellycia, dia hanya fokus pada diri sendiri tanpa peduli sekitarnya, setelah penolakan itu tidak ada seorang pun lagi yang mengajaknya berbicara sampai jam pulang kantor.
***
Seorang gadis pulang dengan wajah lelah, dia menghampiri sang ibu yang berada di teras rumah sedang membaca buku ditemani segelas teh kamomil.
“Aku pulang, Ma,” sapa gadis itu mencium pipi sang ibu lantas duduk di kursi sampingnya.
“Gimana hari pertama magang?” tanya Mama gadis itu menurunkan buku yang dia baca ke atas meja.
“Lancar, seperti biasa.” Mama mengangguk, menghirup dan meneguk tehnya.
“Mama ingat dengan Gladys?” sang ibu mengerutkan dahi lalu mengangguk.
“Anak malang yang orang tuanya meninggal kecelakaan itu?”
Gadis itu tersenyum miring. “Benar, Mama tahu tidak sekarang dia jadi simpanan pengusaha kaya.”
Lihat berapa lama dia bisa menyembunyikan kebusukannya itu!