Cinta 'Terkontrak'
...Proudly Present a Romance Story—Cinta 'Terkontrak'...
...Written by Luckygurl_...
...“Ini hanyalah cerita fiksi. Jika ditemukan kesamaan nama tokoh, latar belakang, jabatan, alur, ataupun konflik dengan realita, itu adalah kebetulan semata.”...
...WARNING!!!...
...⚠️ Mature, harsh word, imperfect and anti-hero main character, angst, family issues ⚠️...
...Please, kasih cinta dan dukungan kalian, serta menghargai author atas karyanya dengan cara follow akun author, like dan komen di setiap part, dan juga kasih ulasan ya. Dengan hal sederhana seperti itu, kalian sudah memberikan dukungan besar untuk author lebih semangat....
...Terima kasih 💋...
...Happy reading......
...****************...
Menjadi sekretaris dari Sadewa Pangestu, CEO Angkasa Corporation yang terkenal dingin, adalah tantangan yang tidak pernah benar-benar tidak bisa diatasi oleh Senja Maharani. Gadis yang akrab disapa, Maha, itu seperti berjalan diatas tali tipis setiap hari—satu langkah salah, dan ia bisa jatuh kedalam jurang. Pekerjaan selalu menumpuk dan bahkan sekedar menarik nafas panjang pun terasa seperti kemewahan.
Tapi hidup di ibu kota tidak memberikan banyak pilihan. Gaji di Angkasa Corporation cukup besar untuk menopang kebutuhannya, sesuatu yang sulit ditemukan tempat lain. Setiap kali keinginan itu berhenti muncul, Maha hanya perlu melihat angka-angka di slip gajinya. Demi bertahan hidup, ia rela menjadikan kewarasannya sebagai taruhan.
Pagi ini, Maha duduk di balik mejanya yang penuh dengan dokumen. Lokasinya yang persis di luar ruangan Sadewa hanya menambah beban mentalnya saja. Setiap kali pintu ruangan Sadewa terbuka, hawa dingin dari dalam seolah merambat keluar, menyelimutinya dengan tekanan yang tak kasat mata. Entah bagaimana, pria itu selalu berhasil membuat siapapun merasa kecil hanya dengan tatapan tajamnya.
Maha menyandarkan punggungnya di kursi, melepas kacamatanya dengan gerakan lelah. Tangannya yang dingin menekan pangkal hidungnya, mencoba meredakan ketegangan yang menggelayuti kepalanya sejak pagi. Matanya terpejam sesaat, seolah berharap kelelahan yang mendera bisa luruh begitu saja. Helaan nafasnya pun terdengar berat, di penuhi keputusasaan yang tertahan.
Beristirahat sejenak adalah hal langkah. Bahkan di hari libur, Sadewa tetap saja mengirimkan daftar tugas yang seakan tidak ada habisnya. Ditengah kelelahan yang semakin menumpuk, Maha hanya bisa bertanya dalam hati.
Sampai kapan aku bisa bertahan?
Dengan enggan, ia kembali mengenakan kacamatanya, menarik nafas panjang sebelum menatap tumpukan berkas di depannya. Matanya bergerak cepat, membaca baris demi baris data yang seakan tak berujung.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk, memecah keheningan, membuat Maha mengalihkan perhatiannya pada benda pipih yang tergeletak di meja. Ia melihat layar ponselnya yang menampilkan pesan baru. Senyum kecil seketika itu terbit di di wajah ayu Maha begitu membaca nama pengirimnya.
From: Mas Danu - Maha, ayo makan bersama di kantin.
Sejenak, rasa penat yang sejak tadi menghimpit nya seakan lenyap begitu saja. Maha menggenggam ponselnya erat, membaca pesan itu berulang kali. Seolah kata-kata Danu mempunyai kekuatan magis untuk menghangatkan hati yang lelah.
“Andai saja, Pak Sadewa, semanis Mas Danu,” gumamnya. “Mungkin aku rela disuruh-suruh, sekalipun itu bermalam di kantor.” kekehan kecil lolos dari bibirnya, membuat atmosfer yang sebelumnya berat kini terasa lebih ringan.
Akan tetapi, momen singkat itu tidak bertahan lama. Terlalu larut dalam pesan Danu, Maha sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri tegak beberapa menit yang lalu di mejanya. Sadewa Pangestu, pria itu menatap Maha tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada bibirnya yang terkatup rapat. Aura dingin tiba-tiba menyelimuti seakan menjadi alarm alami. Tatapan intens yang nyaris bisa dirasakan tanpa perlu melihat.
Maha menelan ludahnya, ia perlahan mengangkat kelapa dan detik itu juga, senyumnya menguap.
Sadewa berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, ekspresinya dingin seperti biasanya. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan ketegasan menatap langsung ke arah Maha tanpa berkedip. Rahangnya pun mengeras, seolah menahan ketidaksabaran yang mulai menipis.
“Apakah berkas saya sudah selesai kamu kerjakan?” Suara bariton Sadewa memecah keheningan, nadanya rendah tapi tegas—cukup untuk membuat Maha tersentak kaget.
“Astaga!”
Reflek, Maha hampir menjatuhkan ponselnya, jantungnya seakan ingin lompat dari tempatnya. “S-sudah, Pak Sadewa…” jawabnya dengan suara pelan dan terbata.
Wajahnya rasanya memanas, campuran rasa malu dan juga panik membuatnya buru-buru berdiri. Tangannya langsung sibuk mengacak tumpukan berkas di meja, mencoba mencari dokumen yang diminta Sadewa. Namun, karena gugup, pikirannya terasa kosong. Tangannya gemetaran saat memeriksa setiap tumpukan hingga akhirnya…
Bruk!
Beberapa berkas jatuh berserakan di lantai. Maha memekik kecil, tubuhnya membeku sejenak sebelum akhirnya menatap tumpukan kertas yang kini berantakan di sekitar kakinya. Panik langsung menyergapnya. Aduh, pakai jatuh segala, sih! Maha mendengus dalam hati, menahan rasa kesal yang mendesak di dadanya.
“Sebentar ya, Pak…” ucapnya dengan kaku sambil meringis, berusaha menutupi kepanikan yang jelas terpancar dari gerak-gerik nya. Sekilas, matanya melirik ke arah Sadewa—pria itu tetap berdiri tegak tanpa ekspresi, sama sekali tak terganggu oleh kekacauan di hadapannya.
Dia sebenarnya orang apa patung, sih? Apa urat wajahnya putus? Senyum dikit juga nggak bakal bikin dunia runtuh, kok! Gerutu Maha dalam hati sambil buru-buru menunduk, tangannya sibuk menyisir meja, mencari map yang diminta Sadewa.
Tangannya gemetaran, entah karena panik atau tekanan yang selalu ia rasakan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Tapi satu hal yang pasti, berkas itu harus ditentukan secepat mungkin.
Nah, ketemu! Maha berseru dalam hati dan membuat hatinya merasa lega. Senyum kecil muncul tanpa sadar di wajahnya. Namun, belum sempat ia berdiri dengan percaya diri, keberuntungan tampaknya benar-benar enggan berpihak padanya.
Bruk!
Kepalanya terbentur keras ke pinggiran meja. Maha meringis kesakitan, kedua tangannya pun reflek memegangi dahinya yang berdenyut nyeri.
“Aduh!” Pekiknya lirih. Matanya berair menahan sakit yang menjalar tajam. Bangsat! Maha mengutuk dalam hati. Rasa perih itu benar-benar membuatnya ingin menangis, tapi didepan Sadewa? Oh, jangan harap.
Sementara itu, Sadewa yang melihat kekacauan itu dari awal hanya memutar bola matanya, malas. Ekspresinya jengah seolah sudah terlalu sering menghadapi kejadian serupa.
“Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi, Maharani?” tanya Sadewa, suaranya terdengar rendah, tegas, dengan kesabaran yang jelas mulai menipis.
Dibawah meja, Maha mengepalkan kedua tangannya. Nafasnya berderu pelan, berusaha menahan emosi yang mulia membara di dada nya. Sabar, Maha, sabar! Ia menggigit bibir bawahnya, menekan rasa kesal yang hampir meledak. Tanpa menjawab, Maha berdiri perlahan. Sementara dahinya masih berdenyut nyeri, tapi ia mengabaikannya. Dengan ekspresi datar—meskipun jelas ada ketidaksabaran tersirat di wajahnya—ia menyerahkan map biru itu ke tangan Sadewa.
Sadewa, pria itu mengambilnya dengan gerakan santai, tapi tatapannya tetap terarah pada Maha. Sekilas, ada sesuatu dalam sorot matanya—entah itu penilaian, kejengkelan, atau hanya kebiasaan mengamati setiap detail. Namun, seperti biasa. Sadewa sulit untuk ditebak.
Tanpa sepatah katapun, Sadewa memutar tubuhnya dan berjalan santai kembali ke ruangannya. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, meninggalkan Maha yang masih berdiri di tempatnya.
“Ya ampun!” Maha mendesah keras, suaranya terdengar frustasi. “Dia nggak bisa ngomong ‘terima kasih’ atau apa gitu?!”
Meskipun mencoba menenangkan diri, wajahnya masih merona—entah karena malu, sakit, atau amarah yang menggelegak. Maha kembali duduk di kursinya sambil mendengus kesal, matanya melirik tajam ke arah pintu ruangan Sadewa.
Sumpah kalau bukan karena gaji, aku juga ogah bertahan dan kerja sama CEO dingin kayak Sadewa! Batin Maha kesal.
...****************...
Didalam ruang kerja yang luas, Sadewa Pangestu berdiri menghadap jendela. Tapi senyum kecil di wajahnya membuktikan bahwa pikirannya tidak sedang sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Baru saja ia masuk ke dalam ruangannya, namun telinganya masih bisa menangkap gerutuan samar dari luar.
“Lucu sekali.” gumamnya, nyaris seperti bisikan sambil menahan tawa kecil. Tangannya merapikan dasi dengan gerakan santai sebelum akhirnya duduk di kursi kerjanya yang empuk.
Sadewa tak bisa menahan senyumnya saat mengingat ekspresi Maha yang kesal dengan wajah memerah. Tatapannya geram dan bagaimana gadis itu saat terbentur meja. Bukan karena ia menikmati saat melihat orang terluka, tapi ada sesuatu yang menghibur dari tingkah ceroboh sekretaris cantiknya itu.
“Dasar gadis ceroboh.” desisnya, nada suaranya terdengar geli seraya jarinya mengetuk permukaan meja. Sementara matanya terpaku pada map biru yang baru saja diberikan Maha.
Sudah satu tahun, tanpa sadar Sadewa menemukan hiburan baru di balik kesibukannya—mengusik Senja Maharani, sekretarisnya yang cerdas dan menarik. Bagi Sadewa, Maha adalah kombinasi unik yang jarang ia temui. Gadis itu pandai berbicara didepan publik, teliti dalam pekerjaannya, dan meskipun sering terlihat kesal, ia tetap menjalankan tugasnya dengan baik.
Menarik.
Sadewa mengakui itu dalam hati. Bukan hanya karena Maha cerdas atau profesional dalam pekerjaannya, tapi ada sesuatu dalam cara gadis itu berusaha tetap tegar meskipun berada dibawah tekanannya. Entah bagaimana, melihat Maha berusaha menahan kesal justru semakin membuatnya ingin menguji batas kesabaran gadis itu.
Mungkin sudah saatnya saya menaikkan level permainan ini, sudut bibirnya sedikit terangkat lebih lebar, pikirannya mulai menyusun strategi baru. Namun, dibalik keisengannya, Sadewa tahu satu hal—Senja Maharani bukan sekedar sekertaris biasa dimatanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments