Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6 - Aku jadi kuat?
Rojak kini mencoba untuk memberanikan diri untuk masuk ke Sekolah. Tentu saja, Rojak di sini tampil beda. Dirinya sedikit kekar berotot, penampilannya tak lagi seperti kutu buku, dan tidak menggunakan kacamata. Ternyata, pada pagi tadi, Rojak melihat beberapa perbedaan pada tubuhnya. Itulah yang membuat semua orang kaget. Rojak yang cupu berubah menjadi sosok yang kekar berotot.
“Eh eh eh itu si Rojak yang cupu itu?”
“Kok beda banget? Kayak murid baru ga sih?”
“Gila ya, sekarang kekar banget! Jangan-jangan dia bolos gara-gara fitness lagi ya, hahaha!”
Ya, banyak sekali dari ujung sampai ujung yang membicarakan mengenai Rojak yang berubah sangat-sangat drastis. Rojak yang suka dibully, kini Rojak menjadi sosok yang kekar berotot bahkan sepertinya sama kuatnya dengan Rizal, sang juara kebanggaan SMA Sinar Pintar.
Tidak hanya semua orang-orang, Angie pun kaget karena Rojak berubah.
“Ro-Rojak? Dia kok beda?”
“Hah? Rojak? Abdurrazaq yang waktu itu lu marahin gara-gara jijay itu?”
“Iya. Kok dia beda banget ya, sekarang?”tanya Angie.
Di kelas Poppy, Poppy mendengar kabar tersebut dari teman-temannya jika kakaknya Poppy, si Rojak, kini berubah drastis.
“Pop! Pop! Itu abang lu, Kak Rojak kok dia berubah drastis ya? Dia jadi lebih sixpack begitu loh.”
“Oh.”Katanya singkat.
Poppy masih kelihatan tidak peduli karena kejadian kemarin yang disebarkan oleh anggota Spark Boys. Sementara itu, Rojak berjalan ke kelasnya. Semua murid-murid tiba-tiba terkejut. Pada saat Rojak duduk, beberapa orang menghampiri Rojak dan malah sok baik kepada Rojak. Mereka ingin mengajak Rojak masuk ke dalam gengnya.
“Hi Rojak! Gabung yuk!”
“Iya, Jak. Lu mending bareng dari pada sendirian mulu. Kan ngebosenin itu.”
Rojak yang kini berubah, dirinya tak percaya pada siapapun. Rojak dengan satu kata menolak mereka.
“Lebih baik aku sendiri. Kesendirian adalah teman terbaik gue.”Kata Rojak dengan dinginnya melebihi dingin Kutub utara.
Dirinya kemudian fokus pada apa yang ia lakukan.
Meskipun Rojak berubah secara fisik, hatinya tetap sama. Dia masih memiliki kenangan pahit tentang bagaimana orang-orang memperlakukannya sebelum ini. Di lorong sekolah, tatapan yang sebelumnya meremehkannya kini berubah menjadi kekaguman dan ketakutan. Beberapa murid perempuan berbisik-bisik melihat perubahan Rojak. Beberapa lainnya mencoba mendekatinya dengan penuh penasaran. Namun, Rojak tidak menggubris mereka. Dirinya sadar bahwa perubahan ini hanyalah di permukaan, sedangkan dunia di sekitarnya masih sama.
Ketika jam istirahat tiba, Rojak berjalan menuju kantin. Kali ini, tidak ada lagi yang berani mendorongnya atau menertawakannya seperti dulu. Justru, mereka memberikan jalan untuknya. Beberapa anak laki-laki yang dulu sering mengolok-oloknya kini menundukkan kepala. Rojak merasakan perubahan ini, tetapi ia tidak tertarik untuk membalas dendam. Yang ada di pikirannya hanyalah menjalani hari seperti biasa.
“Penuh kemunafikan.”Kata Rojak dalam hati.
Rojak kemudian duduk di tempat duduk biasanya. Ia tidak tertarik dengan sekitarnya. Rojak melakukan apa yang ia sukai, yaitu menggambar dengan khayalannya. Rojak kembali menggambar pahlawannya yaitu Regulus dengan beberapa zirah. Yang pertama, zirah Mars yang berfokus kepada kekuatan api atau pyrokinesis. Kemudian, zirah Jupiter yang berfokus pada kekuatan fisik. Zirah Saturnus berfokus kepada tebasan cakram yang terinspirasi dari cincin Planet Saturnus. Dan terakhir adalah zirah Neptunus yang berfokus kepada kekuatan es atau cryokinesis.
Namun, di tengah fokusnya, rasa haus tiba-tiba menyerangnya. Ia menatap botol minumannya yang sudah kosong, mendesah kecil sebelum bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai, ia menuju konter minuman, melewati kerumunan siswa yang sibuk dengan obrolan mereka masing-masing.
Saat berjalan kembali ke tempat duduknya, takdir seolah memainkan peran. Rojak yang tengah sibuk membuka tutup botolnya, tidak memperhatikan jalannya dengan baik. Di sisi lain, seorang siswi juga tengah melangkah tanpa sadar bahwa jalurnya berpapasan dengan Rojak. Dalam sekejap, tabrakan tak terhindarkan.
"Ah!" seru siswi itu, tubuhnya hampir terjatuh ke belakang.
Namun, sebelum tubuhnya menyentuh lantai, Rojak dengan refleks menangkapnya. Tangannya yang kokoh memegang pinggang gadis itu, menahan agar tidak jatuh sepenuhnya. Beberapa detik berlalu dengan kedua mata mereka saling bertatapan. Gadis itu, yang ternyata adalah kekasih Daffa, salah satu anggota geng terkenal di sekolah, tampak terkejut.
Bisikan mulai terdengar di antara para siswa yang melihat kejadian itu.
"Wah, Rojak masih aja genit meski udah berubah penampilannya."
"Iya, dia nggak ada kapoknya."
Tapi Rojak tak menggubris semua ucapan itu. Ia hanya memastikan gadis itu baik-baik saja.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya datar namun penuh perhatian.
Gadis itu mengangguk pelan, masih sedikit terkejut dengan kejadian barusan. Namun, sebelum ia sempat menjawab lebih lanjut, suasana kantin tiba-tiba berubah. Dari arah lain, seorang pemuda dengan ekspresi penuh amarah berjalan mendekati mereka. Orang itu bernama Daffa. Salah satu anggota Spark Boys. Gadis yang ternyata adalah kekasih Daffa, dikiranya menggodanya. Padahal semua itu tidak benar.
Tatapannya tajam menatap Rojak, wajahnya memerah karena amarah yang mulai membakar dadanya. Ia melihat adegan tadi dengan mata kepalanya sendiri, dan baginya itu adalah bukti bahwa Rojak masih seperti dulu—seorang pencari perhatian yang selalu menggoda perempuan.
"Hei, Rojak!" suara Daffa menggema, memecah suasana kantin. Semua mata kini tertuju pada mereka.
"Lo masih aja kayak dulu, ya? Nggak bisa liat cewek dikit langsung godain!"
Gadis yang tadi ditolong Rojak buru-buru menggeleng.
"Bukan, Daffa, bukan gitu."
Namun, Daffa tidak mendengarkan. Emosinya sudah terlanjur meledak. Ia melangkah semakin dekat, menatap Rojak dengan penuh kebencian.
"Kamu bener-bener nggak berubah," lanjutnya.
"Masih pengecut yang sama!"
Mata Rojak yang sebelumnya tenang mulai berkilat. Ia bukan lagi anak yang sama seperti dulu, dan ia tidak suka diremehkan. Namun, ia masih menahan diri.
Tapi Daffa sudah kelewat batas. Dengan cepat, ia melayangkan tinjunya ke arah Rojak.
Refleks Rojak terlatih. Ia sedikit menggeser tubuhnya, membuat tinju Daffa meleset. Namun, bukannya mundur, Daffa justru semakin agresif. Kali ini ia mencoba menendang.
Namun sebelum kakinya mendarat, Rojak menangkapnya. Dengan satu gerakan cepat, ia melakukan sleeding yang membuat Daffa kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.
"GEDEBUK!"
Seluruh kantin terdiam.
“Gi-gila! Si Rojak...”
“Ngeri banget...”
Daffa yang dikenal sebagai petarung tangguh baru saja dipermalukan oleh Rojak yang selama ini mereka anggap sebagai pengecut.
Rojak menatap Daffa yang masih terduduk di lantai, lalu menarik kerah bajunya dan mendekatkan wajahnya ke pemuda itu.
"Jangan pernah remehin orang lain." katanya dengan nada dingin.
"Suatu saat nanti, lo sendiri yang bakal diremehin. Entah oleh siapa, entah kapan, tapi itu pasti terjadi."
Ia melepaskan kerah Daffa dan berdiri. Nafsu makannya sudah hilang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia kemudian berjalan menuju kelas. Tanpa sadar, ia tak sengaja meninggalkan buku sketsanya di Kantin karena kesalnya dengan Daffa yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya.
Suasana masih hening saat punggungnya menghilang di balik pintu. Sementara itu, Daffa masih terduduk, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Beberapa anggota Spark Boys yang tidak sengaja melihat itu menjadi kaget tidak karuan melihat Rojak yang dahulu sangat pengecut, mudah ditipu, dan semacamnya, kini menjadi sosok yang tidak bisa dianggap remeh lagi.
“Kayaknya kita ga bisa lagi kerjain si kampret itu.”kata salah satu anggota.
“Ah lemah lo! baru begitu doang lu sudah ciut!”kesal salah satu dari mereka.
“Tahu. belum lagi berhadapan sama si Rizal. Langsung koid dia.”
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Rojak menggambar lalu merilis di insta story miliknya tanpa memikirkan apapun lagi.
Bel pulang sekolah menggema di seluruh gedung, menandakan akhir dari satu hari yang melelahkan. Di dalam kelas yang mulai lengang, Rojak mengemasi barang-barangnya dengan santai. Jemarinya merapikan buku dan memasukkan alat tulis ke dalam tas, tanpa menyadari bahaya yang sedang mengintainya.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Dua anggota Spark Boys tiba-tiba masuk ke dalam kelas. Dengan langkah cepat dan ekspresi penuh amarah, mereka langsung menghampiri Rojak.
Tanpa peringatan, salah satu dari mereka meraih kerah seragam Rojak dengan kasar.
"Ikut kami!" bentaknya.
Rojak menyadari ada yang tidak beres. Ia berusaha menarik tubuhnya, mencoba melepaskan cengkeraman mereka. Namun, genggaman mereka terlalu kuat. Insting bertahannya muncul, dan dengan cepat ia melayangkan pukulan ke salah satu dari mereka, membuatnya terhuyung mundur. Ini kesempatan untuk kabur!
Rojak berusaha lari ke luar kelas, tetapi semua sudah diantisipasi oleh Spark Boys. Begitu ia mencapai ambang pintu, seseorang yang berjaga di luar langsung menyodokkan kakinya ke pergelangan kaki Rojak.
“Bruk!”
Rojak terjatuh keras ke lantai. Sebelum sempat bangkit, genggaman kasar kembali menangkap tubuhnya. Kini, ia diseret keluar kelas. Siswa lain yang masih berada di koridor hanya bisa melihat tanpa berani berbuat apa-apa. Tidak ada yang ingin terlibat dengan Spark Boys, geng yang selama ini menguasai lingkungan sekolah.
Mereka menyeret Rojak melewati lorong, tangga, dan akhirnya sampai ke lapangan bola. Di sana, sekelompok besar siswa sudah berkumpul. Mayoritas adalah anggota Spark Boys dan siswi-siswi yang mendukung mereka. Sorot mata mereka tajam, penuh ekspektasi.
Di tengah-tengah lapangan, berdiri seorang pemuda dengan tangan bersedekap. Wajahnya menunjukkan ekspresi dingin dan penuh wibawa serta tatapan tajam yang ingin menerkam dan mencabik-cabik mangsanya. Ya, dia adalah Rizal, sang ketua geng terbesar di Spark Boys.
Pemimpin Spark Boys itu sudah menunggu kedatangan Rojak. Saat Rojak dilemparkan ke tanah di hadapannya, ia melangkah maju, menatapnya dengan tajam.
Rojak mengangkat wajahnya, mengusap sedikit debu di pipinya sebelum mendongak menatap Rizal.
"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya dengan nada kesal.
Rizal mendengus.
"Jangan pura-pura bego lu, Jak. Kau masih belum menyadari kesalahanmu, ya?"
Rojak menyipitkan mata.
"Kesalahan? Kesalahan apa?"
"Cih. Ga tampang culun, ga tampang kekar, sama saja begonya.”
Rizal mulai menjelaskan.
“Lu berani-beraninya menyakiti Daffa." Rizal menjawab dengan suara dingin.
"Lu tahu siapa dia? Dia salah satu dari kami, dan lu mempermalukannya di depan umum."
Mendengar itu, Rojak mendengus sinis.
"Daffa yang mulai duluan. Gue hanya membela diri. Kalau dia tidak nyerang gue, ya... Gue juga nggak bakal melawan."
Daffa yang berdiri di antara kerumunan langsung menyela.
"Omong kosong! Lo yang sleding gue!"
Rojak menggeleng.
"Gue cuma bereaksi atas apa yang dia lakukan. Kalau lo main pukul, jangan salahkan orang lain kalau lo kena balasan."
Rizal menghela napas, lalu menatap Rojak dengan sorot mata yang sulit ditebak.
"ARRGGHH! Banyak alasan lo, brengsek! Persetan dengan omong kosong lu. Yang jelas, lo harus menerima akibatnya."
Rojak menyadari bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan seseorang seperti Rizal. Ia sudah memutuskan bahwa Rojak bersalah, dan tidak ada kata-kata yang bisa mengubah pikirannya.
Rizal mengepalkan tangannya, bersiap untuk menyerang. Semua orang menahan napas, menunggu aksi selanjutnya.
Pertarungan tak terelakkan.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bersambung