Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 TIDAK MAU MENERIMA TAKDIR
Aku mencoba berbicara dengan mereka, menjelaskan situasinya, tapi mereka selalu menghindar. Aku merasa seolah-olah mereka tidak bisa menerima kenyataan ini.
Aku berdiri di depan rumah orangtuaku, merasa bimbang. Seharusnya mereka mendukung kami dalam masa-masa sulit seperti ini, tapi kenyataannya, mereka lebih memilih untuk menghindar. Hatiku terasa berat. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Bagaimana aku bisa membuat mereka memahami bahwa ini adalah anak mereka juga, meskipun dia tidak sempurna.
"Ayah, Ibu, tolong datanglah ke rumah sakit. Anakku butuh kalian, lihatlah, cucu yang kalian inginkan selama ini sudah lahir," kataku dalam hati, berharap mereka bisa merasakan kesedihan dan kebingunganku.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa mereka butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Mungkin ini adalah proses yang harus mereka lalui, dan aku harus memberikannya.
...****************...
Saat aku kembali ke rumah sakit untuk membawa keperluan Laras. Tiba-tiba langkahku terhenti saat melihat wanita sedang mengendong bayi dan juga 2 anak perempuanku yaitu Safira, dan Rani.
Aku merasa cemas, perasaan yang bercampur aduk. Melihat Aisyah dengan bayi yang baru lahir ini membuat hatiku semakin bingung. Apa maksudnya? Kenapa mereka ada di sini?
"Aisyah," kataku, mencoba memecah keheningan. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Aisyah juga terlihat terkejut saat melihatku. Wajahnya berubah seketika, dan aku bisa melihat kebingungannya. Kedua anak perempuanku, Safira dan Rani, berdiri di sampingnya, memandangku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Dia menatapku dengan sedikit keraguan di matanya. "Reza, kamu... kamu di sini?" suaranya terdengar pelan, seperti mencoba mencari penjelasan dalam situasi yang tiba-tiba berubah.
Aku merasa seperti kehilangan kendali atas situasi ini. "Aisyah... siapa bayi ini?" aku bertanya, suara hampir tak terdengar, meskipun aku berusaha menjaga emosi.
Saat aku ingin kembali bertanya. Tiba-tiba ayah dan ibuku datang. Mereka pun sama terkejutnya melihat Aisyah sedang menggendong bayi di tangannya.
Seakan-akan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Keheningan yang mencekam langsung tercipta di antara kami.
Ibuku adalah yang pertama kali membuka mulut, namun suaranya terdengar cemas, "Aisyah, apa... ke... Kenapa kamu di sini?" Ibuku berjalan maju, matanya terfokus pada bayi yang sedang digendong Aisyah.
Ayahku hanya diam, menatap dengan penuh tanda tanya, seolah kebingungannya tak bisa disembunyikan.
Saat ibuku maju mendekat, Aisyah mundur selengkah. Seakan-akan ia ingin menghindar.
"Aku harus pergi," katanya lirih, sambil mencoba melangkah pergi.
Namun, aku langsung menahan pergelangan tangannya. "Tunggu, Aisyah!" suaraku lebih tegas dari yang aku maksudkan. "Aku butuh jawaban. Bayi siapa yang kau gendong ini?"
Aisyah menoleh ke arahku, bibirnya sedikit bergetar seolah sedang menahan sesuatu. "Ini bukan urusanmu, Reza," ucapnya pelan namun penuh ketegasan.
Aku merasakan dadaku sesak. "Bukan urusanku? Aisyah, bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" Aku menatap bayi yang ada dalam gendongannya, perasaan tidak tenang semakin membanjiri pikiranku. "Jawab aku, Aisyah. Aku berhak tahu!"
Aisyah menundukkan kepalanya, tangannya semakin erat menggenggam bayinya. "Aku tidak bisa memberitahumu, Reza," katanya dengan suara bergetar. "Kumohon, jangan memaksaku."
Ibuku yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Aisyah, kami hanya ingin tahu kebenarannya. Jangan membuat semuanya semakin rumit," ucapnya dengan nada mendesak.
Namun, Aisyah tetap bergeming. Ia hanya menatapku dengan sorot mata penuh luka, lalu menarik tangannya dari genggamanku dengan perlahan. "Aku harus pergi," katanya lagi, kali ini lebih tegas.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, membawa bayi itu bersamanya. Begitu juga dengan kedua putriku. Di dalam kepalaku, hanya ada satu pertanyaan yang terus berulang—apakah mungkin bayi itu adalah anakku?
Ibuku menatapku tajam, ekspresi wajahnya penuh kecurigaan. "Reza, apakah Aisyah sudah menikah lagi?" tanyanya dengan nada dingin.
Aku terdiam, menelan ludah dengan sulit. Pertanyaan itu juga berputar di kepalaku sejak tadi. Jika memang Aisyah sudah menikah lagi, kenapa aku tidak pernah mendengarnya? Kenapa bayi itu terlihat begitu familiar?
"Aku… aku tidak tahu, Bu," jawabku akhirnya, masih tak lepas menatap ke arah Aisyah yang kini menghilang di keramaian rumah sakit.
Ayah ikut bersuara, kali ini dengan nada lebih tenang. "Kalau dia sudah menikah lagi, wajar saja dia punya anak lagi. Kita tidak punya hak untuk ikut campur dalam hidupnya."
"Tapi kenapa dia tidak mau menjawab?" Ibuku tampak tidak puas. "Kalau memang anak itu bukan urusan kita, seharusnya dia bisa menjawab dengan mudah, kan? Tapi kalau pun dia menikah lagi, apa mungkin secepat itu dia melahirkan seorang bayi?"
Aku menghela napas berat. "Aku juga tidak tahu, Bu… Tapi aku akan mencari tahu. Kalau dipikir secara logika, tidak mungkin Aisyah menikah secepat itu setelah cerai denganku. Aku yakin, pasti ada yang disembunyikan oleh Aisyah."
Perasaan tidak tenang semakin menguasai pikiranku. Apakah mungkin… bayi itu adalah anakku?" Aku jadi ingat, saat hari terkahir Aisyah pergi dari rumah setelah masa iddah selesai. Bentuk tubuh Aisyah seperti lebih berisi walau pun ia tertutup rapat.
Aku masih berdiri mematung, pikiranku berkecamuk. Mana mungkin Aisyah menikah lagi? Aku baru bercerai dengannya lima bulan yang lalu. Bahkan jika dia menikah tepat setelah masa iddahnya selesai, tidak mungkin dia sudah punya bayi sekecil itu.
Jantungku berdegup kencang. Jangan-jangan… anak yang digendong Aisyah tadi adalah anakku?
Aku menoleh ke arah ibu dan ayah, mereka masih tampak bingung. Aku bisa melihat di wajah ibu ada ketidakrelaan—bukan hanya karena Aisyah bisa saja sudah menikah lagi, tapi juga karena kemungkinan lain yang kini memenuhi kepalaku.
Aku menghela napas panjang. "Bu, Yah… aku harus bicara dengan Aisyah."
Ibuku mendengus. "Untuk apa? Dia sudah bukan istrimu lagi. Lagipula, kalaupun itu anakmu, kenapa dia tidak bilang dari awal?"
Aku menggigit bibir. Itu juga yang membuatku bingung. Jika benar bayi itu anakku, kenapa Aisyah merahasiakannya? Apa dia sengaja tidak ingin aku tahu? Atau… ada alasan lain?
Tanpa pikir panjang, aku mengambil ponselku dan mencari kontak Aisyah. Aku harus mendapatkan jawaban.
Aku mencoba menelepon Aisyah berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponku?
"Apa aku harus mendatangi rumahnya?" gumamku pelan.
Ibu mendelik tajam. "Untuk apa, Reza? Dia sudah bukan istrimu lagi! Jangan buat masalah!"
"Tapi, Bu, aku harus tahu kebenarannya. Kalau benar bayi itu anakku, aku berhak tahu!"
Ayah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara, "Mungkin memang lebih baik kau tanyakan langsung, Reza. Tidak ada salahnya memastikan. Kalau pun itu anakmu, kamu juga berhak atasnya, walaupun kalian sudah menikah. Apalagi bayi itu terlihat sangat sempurna."
Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/