Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Balik Koper
Lift turun dengan cepat, tapi di dalam, Joko dan Deni masih terengah-engah, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Den,” Joko berbicara lebih dulu. “Lo lihat itu juga, kan?”
Deni tidak menjawab. Tangannya masih gemetar.
“Den!” Joko mengguncang bahunya. “Gue nanya, lo lihat itu juga, kan?!”
Deni menelan ludah dan mengangguk pelan. “Iya.”
Mereka terdiam sejenak.
“Mayat di koper itu…” Deni akhirnya membuka suara. “Siapa?”
Joko menggeleng. “Gue nggak tahu. Tapi…” Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi database penghuni apartemen.
Ia mencari Unit 515.
Tidak ada penghuni terdaftar.
Tapi yang lebih aneh…
Tidak ada catatan penyewa selama satu tahun terakhir.
Deni merasa tenggorokannya mengering. “Lalu… siapa yang tinggal di sana?”
Joko mengusap wajahnya. “Gue nggak tahu.”
Saat itu juga, lift berbunyi dan pintu terbuka ke lobi.
Suasana malam di Apartemen Sky Haven Residence terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di layar monitor ruang keamanan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Di luar, lampu-lampu jalan menerangi trotoar yang kosong, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas di kejauhan.
Di balik meja resepsionis, seorang pria berkaos hitam berdiri, membaca buku catatan penghuni.
Deni mengenal pria itu, tapi ekspresi wajahnya dingin dan serius.
Saat pria itu mengangkat kepala dan melihat mereka, ia menutup bukunya dan bertanya dengan suara dalam:
“Ada masalah di lantai lima?”
Deni masih duduk di kursinya, sesekali menatap layar CCTV yang menampilkan koridor lantai lima. Wajahnya masih sedikit pucat setelah kejadian barusan.
Joko, yang duduk di seberangnya, menyeruput kopi dari gelas plastik. “Lo masih kepikiran tadi?”
Deni melirik Joko, lalu mengangguk. “Banget, Jok. Itu tadi nyata, kan? Gue nggak ngelihat hal yang aneh-aneh sendirian, kan?”
Joko menyandarkan tubuhnya di kursi. “Iya, gue juga lihat. Tapi sekarang pertanyaannya…”
Raka duduk dan mencoba membuka layar CCTV. “…kalian lihat siapa?”
Deni menelan ludah. “Dan yang tadi ngomong dari dalam kamar itu… siapa?”
Hening sejenak.
Deni tiba-tiba bersandar ke meja dan mengacak rambutnya. “Ah, sial! Gue males banget kalau gini-gini.”
Raka menyeringai. “Sama, Den. Sama.”
Tiba-tiba, suara pintu geser di lobi berbunyi.
Mereka berdua refleks menoleh ke layar CCTV lobi. Seorang pria bertubuh agak kurus dengan jaket hitam dan celana jeans terlihat berjalan masuk. Kepalanya sedikit tertunduk, dan langkahnya terlihat terburu-buru.
Deni mengernyit. “Ini tamu?”
Raka menggeleng. “Nggak ada laporan tamu masuk.”
Deni mengambil walkie-talkie dan bersiap berdiri, tapi Raka menahannya dengan lambaian tangan.
“Biar gue dulu.”
Raka bangkit dan berjalan ke meja resepsionis. Saat pria itu semakin dekat, Raka bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Dia tampak lelah, ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan bibirnya sedikit pecah-pecah.
Pria itu berhenti di depan meja resepsionis dan menghela napas. “Kamar 515 masih ada?”
Raka menatap pria itu sejenak, lalu melirik layar di komputernya. Kamar 515 adalah salah satu unit kosong yang belum ditempati selama beberapa bulan terakhir.
“Mas penyewa unit lama?” Raka bertanya dengan nada profesional.
Pria itu mengangguk cepat. “Iya… saya Ari.”
Ada sesuatu yang aneh dari ekspresinya, tapi Raka memilih untuk tidak langsung berasumsi.
“Kalau Mas Ari penyewa lama, harusnya ada data di sistem. Bisa kasih lihat KTP atau kartu akses lama?”
Ari terlihat sedikit ragu, tapi akhirnya ia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan KTP. Raka melihatnya sekilas—nama di KTP memang tertulis ‘Ari Setiawan’. Umurnya 32 tahun, alamat di luar kota.
Raka memeriksa data di sistem, lalu mengangguk. “Oke, nama Mas Ari memang terdaftar. Tapi terakhir tercatat di unit 515 itu lebih dari setahun lalu. Mas baru balik lagi?”
Ari menelan ludah dan tersenyum tipis. “Iya… saya baru bisa pulang sekarang.”
Deni, yang sudah berdiri di belakang, ikut menyimak percakapan itu sambil sesekali melirik Ari dengan curiga.
“Kenapa baru balik?” tanya Deni, lebih blak-blakan.
Ari mengangkat bahu. “Ada urusan di luar kota.”
Jawaban yang terlalu singkat.
Deni melirik Raka dengan ekspresi ‘kayaknya ada yang aneh’.
Raka menekan beberapa tombol di komputer. “Baik, Mas Ari. Kalau mau pakai unitnya lagi, harus urus administrasi dulu besok pagi sama pihak manajemen. Untuk sekarang, kami nggak bisa langsung kasih akses.”
Ari terlihat sedikit kecewa, tapi mengangguk. “Oh… baik.”
Dia terdiam sebentar, lalu bertanya dengan nada sedikit lebih rendah.
“Tapi… ada yang tinggal di unit itu sekarang?”
Raka melirik layar komputer lagi. “Belum ada.”
Ari mengangguk pelan. Lalu, sebelum pergi, dia bertanya lagi.
“Kalian pernah dengar… sesuatu dari kamar itu?”
Deni dan Raka saling berpandangan.
Deni langsung merasa ada yang tidak beres. “Maksudnya, Mas?”
Ari tersenyum kecil, tapi matanya tidak tersenyum. “Nggak ada… cuma nanya.”
Lalu dia berbalik dan berjalan keluar dari lobi.
Deni langsung menoleh ke Raka. “Mas… aneh banget, kan?”
Raka masih menatap ke arah pintu keluar, pikirannya mulai berputar. “Banget.”
Deni mendekat ke komputer dan membaca data yang masih terbuka di layar.
“Jadi… dia pernah tinggal di unit 515. Terus ngilang setahun. Terus tiba-tiba balik dan nanya apakah ada yang tinggal di sana…”
Raka bersandar ke kursinya dan mengusap wajahnya. “Dan yang bikin gue lebih nggak nyaman… dia juga nanya apakah kita pernah dengar sesuatu dari dalam kamar itu.”
Deni meneguk ludah. “Menurut lo… ada sesuatu di unit itu?”
Raka terdiam.
Lalu dia menekan beberapa tombol dan membuka rekaman CCTV lama.
“Gue nggak tahu, Den. Tapi kita cari tahu.”
Deni menghela napas panjang dan duduk kembali di kursinya. “Ah, sial. Kayaknya malam ini bakal panjang…”
ke unit lantai 7