NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Dicintai Manager yang dingin secara tiba-tiba padahal tidak mau buka hati buat siapa pun? Lalu dihantui oleh teror masa lalu sang kakak, bagaimana perasaan Ayuni selama bekerja di tempat barunya? Terlebih ternyata Manager yang perhatian dengan Ayuni memiliki rahasia besar yang membuat Ayuni hancur saat gadis itu telah memberikan hatinya. Bahkan beberapa teror dan hal tidak terduga dari masa lalu yang tidak diketahui terus berdatangan untuk Ayuni.

Kira-kira bagaimana Ayuni akan menghadapi semua itu? Dan masa lalu apa yang membuat Ayuni di teror di tempat kerjanya? Apa ada hubungannya dengan sang kakak?

Ikuti ceritanya untuk temukan jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28. BAIK-BAIK SAJA

..."Sebuah mimpi...

... dimana ia menghampiriku,...

...lalu meninggalkanku, dan menghilang....

...Aku kacau....

...Aku berantakan....

...Aku hancur.”...

Dua hari aku tak jauh beda layaknya mayat hidup, tak bergerak dari tempat tidurku, tak makan, hanya mengunci diri di dalam. Kuabaikan pekerjaan baru yang kudapatkan, dimana kemarin seharusnya aku sudah berada di lingkungan baru dengan orang-orang baru. Setelah menangis sejadi-jadinya sepulang dari rumah Mbak Hana, sejak itu pula air mataku tidak lagi keluar. Bahkan ketika aku memaksa ingin menangis agar suasana hatiku lebih baik, tapi tidak ada satu tetes pun yang tersisa.

Tak ada yang tahu tentang hal yang kudengar lusa kemarin kecuali dua orang, dan aku meminta kepada Mbak Hana agar tidak memberitahu apa pun kepada kakakku. Bahkan Rini dan Dini tidak kuberitahu, rasanya aku tidak ingin mereka ikut terseret dalam masalah ini. Tak ada yang bisa kuandalkan, tak ada yang membuatku menghentikan rasa sakit yang terus menohok dadaku.

Hari ini rekan-rekan kerjaku dulu di Queen ingin bertemu denganku dan makan siang bersama. Padahal belum ada dua minggu aku keluar dari sana, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun. Aku merindukan mereka.

Dengan wajah ceria yang kupaksa, aku ikut ajakan mereka semua. Tak ingin menolak pertemuan baik dengan orang-orang yang ingin kulihat parasnya. Dalam keadaan seperti ini memang sangat cocok merubah suasana, bertemu mereka bukanlah ide buruk.

Kuhabiskan waktu berharga dengan mereka, mendengarkan setiap candaan dan ejekan yang dilemparkan. Ingin rasanya aku kembali ke pekerjaan lamaku bersama mereka, namun sayang aku tidak akan pernah bisa kembali. Tidak setelah apa yang terjadi.

Andre terus menatapiku dari sudut matanya, memerhatikan setiap gerak-gerikku. Sekarang pria yang beda tiga tahun lebih tua dariku itu bersikap sesuai usianya kepadaku, tidak lagi kekanakan dan jahil—meski tidak seluruhnya. Aku berusaha untuk tidak beradu pandang dengannya, tidak ingin mendapatkan rentetan pertanyaan yang mungkin akan mengembalikanku lagi ke suasana muram.

"Lo bukan aktris yang baik. Nggak peduli sekuat apa lo sembunyiin, gue tahu ada hal yang terjadi lagi, kan," ucap Andre yang entah sejak kapan telah berpindah duduk di sampingku.

"Gue nggak mau omongin masalah apa pun di sini. Biarin gue happy happy aja untuk sekarang, please," pintaku pada Andre, berusaha untuk tersenyum yang kuyakin gagal.

Tepukan lembut kurasakan di pucuk kepalaku, bersamaan dengan dirinya yang menarikku ke tubuhnya. Tak terlalu tampak, tapi jelas Andre sedang menempatkanku di posisi yang ingin menghibur.

"Lo bisa ceritain apa pun ke gue kayak biasa. Jangan pendam sendiri, nggak baik. Sedih nggak cocok buat lo. Marah-marah terus teriak, lempar barang, hajar orang itu baru cocok," katanya dengan senyum iseng seperti biasa.

Aku mengangkat kepala untuk melihatnya, dahiku berkerut dalam menatapnya sebal. Seolah candaan benar-benar telah mendarah daging untuk pria satu ini.

"Kenapa? Bener yang gue bilang, kan? Lo itu lebih cocok marah-marah, lempar barang, teriak, ngamuk, itu baru cocok. Sedih, nangis, galau, ihh .... jelek banget liatnya," celetuk Andre.

Kupukul dengan keras perut Andre, benar-benar perusak suasana sejati pria satu ini.

"Tuh, belum apa-apa udah kekerasan," protes Andre seraya meringis mengusap perutnya.

"Suruh siapa coba ngatain kayak itu. Nggak bisa sehari aja gitu lo serius dan dewasa," komentarku sebal.

"Yakin mau gue kayak gitu. Kalau gue kayak gitu lo harus sama gue loh. Nggak ada penolakan lagi. Nggak peduli siapa yang lo suka pokoknya lo milik gue," ucapnya tiba-tiba hingga membuatku terkejut mendengarnya.

Lagi. Kulihat lagi kilat tak biasa dari netra Andre setiap kali ucapan seperti itu muncul dari mulutnya. Seakan ia menatapku dengan cara yang ... seram. Entah itu perasaanku saja atau itu candaan yang sengaja ia buat untuk menakutiku. Tapi aku tidak nyaman ketika Andre melemparkan tatapan seperti itu padaku, tatapan layaknya predator ke mangsa.

"Bercanda. Serius amat jadi orang," kata Andre seraya menepuk pucuk kepalaku lagi, kemudian mengambil minum di depannya. Sesekali melirik ke arahku.

Namun, tak ada kata selamanya untuk apapun. Mereka semua harus kembali bekerja, termasuk kedua temanku. Padahal aku baru saja menikmati obrolan ringan ini, dan tahu kalau ini akan berakhir membuatku takut kalau-kalau aku akan kembali berada di jurang kesedihan.

Tempat makan kami tidak jauh dari Queen, mengingat mereka tidak punya waktu banyak untuk mencari tempat yang jauh. Hingga tanpa sadar aku mengikuti mereka menuju kantor, lupa kalau aku bukan lagi bagian dari bangunan besar itu. Mereka semua masuk ke dalam gedung, tanpa terkecuali mengingat jam kerja mereka sudah lewat beberapa menit. Andre, Rini, dan Dini memerhatikanku yang berdiri di luar gedung, seolah takut kalau-kalau aku menghilang ketika mereka berbalik. Dan akhirnya mereka masuk kembali ke kantor setelah kubilang aku akan pulang setelah ini.

Pemandangan tak mengenakan terlihat di depan mata. Sarah dan Bos Juna yang nampak akrab dan membicarakan sesuatu, berjalan ke luar dari bangunan. Sepertinya wanita cantik bernama Sarah itu punya andil dalam rencana Bos Juna untuk membuatku dekat dengannya. Lihatlah bagaimana mereka berdua berjalan beriringan, tidak terlihat penolakan dari sikap yang pernah ditunjukan Bos Juna pada Sarah di hari pertamaku berkerja.

Aku malu pada diriku sendiri saat sadar betapa bodohnya aku. Seperti yang Andre katakan kalau aku terlalu naif, dan tidak sadar jika sedang dipermainkan. Andre sudah berusaha memberitahuku sejak awal, aku yang salah tidak mendengarkannya. Seharusnya aku percaya akan kilatan marah dan penuh kebencian saat pertama bertemu dengan Bos Juna, yang jelas mengatakan kalau aku adalah musuhnya.

Bos Juna melihatku, ia nampak terkejut dengan kehadiranku di sini. Dan seperti terakhir bertemu, ia memasang wajah dingin, tak bersahabat.

Tapi yang membuatku terkejut adalah ia kini menghampiriku. Kukira ia akan berjalan pergi saat melihatku, rupanya sebaliknya.

“Mau ke taman? Ada yang ingin saya bicarakan,” ujarku saat Bos Juna sudah ada di hadapanku. Setidaknya aku yang duluan bicara sebelum ia memulai dan akhirnya pergi begitu saja.

Tanpa bicara ia mengajakku menaiki mobilnya, lagi-lagi tak kusangka kalau ia akan menerima permintaanku.

Suasana di dalam mobil amat berat, tidak ada yang bicara satu kata pun selama perjalanan menuju taman yang memang sangat dekat dengan kantor, tak sampai sepuluh menit. Aku langsung ke luar dari mobil setelah ia memarkirkan mobilnya, kemudian melangkah masuk dalam taman kota yang juga tempat dimana aku mendapatkan kabar mengenai kakakku dari pria paruh baya bernama Revan.

Ia mengikutiku, tak bicara, tak juga protes.

Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak di tengah taman, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara dengannya.

“Bukannya kamu ingin bicara?” tuntutnya, dan kurasa ia menghentikan langkahnya.

Kurasa aku tidak bisa mengulur waktu untuk sekedar menghilangkan rasa takutku. “Apa Anda sungguh yang membuat saya dan kedua teman saya kerja di Queen, bukankah pasti semua itu butuh banyak uang. Sepertinya Anda memiliki banyak uang sampai mau menghabiskannya untuk hal semacam ini.”

Ia mengangguk, namun tak mengatakan apa-apa—atau tidak ingin.

“Demi mendekati saya, Anda menggunakan banyak uang, dan memperlakukan saya dengan baik?” Ia menyahut kali ini, hanya satu kata yang membenarkan tindakannya. “Anda benar-benar luar biasa. Apa Anda belajar bagaimana memperlakukan wanita? Semuanya keliatan nyata... tapi ternyata palsu. Kenapa nggak bilang aja dari awal kalau semua yang Anda lakukan itu hanyalah permainan aja?” sambungku.

“Jika saya bisa melakukannya, saya pasti sudah melakukannya sejak awal,” sahutnya, lagi-lagi dengan wajah datar.

“Ah, benar. Anda pasti melakukannya,” gumamku tak jelas. “Apa yang Anda inginkan dari saya?” tanyaku akhirnya, menatap matanya untuk mencari jawaban.

“Membuat Indra merasakan apa yang kurasakan.” Pandangannya menyendu, tapi tetap terselip kebenaran dalam setiap katanya. “Demi sebuah jabatan di perusahaan besar, Indra rela membunuh temannya. Dia menghabisi nyawanya dan hanya mendapatkan hukuman penjara kurang dari tiga bulan, kemudian dia dibebeskan begitu saja karena kurangnya bukti. Kakakku adalah orang yang kuhormati, dia bekerja demi menghidupi keluarganya, demi menyekolahkanku agar aku menjadi orang berguna sepertinya. Dan kakakmu hidup dalam damai tanpa tahu apa yang terjadi pada keluarganya, merasa seolah ia tidak pernah melakukan kesalahan.”

Bisa kulihat tatapannya terkesan bengis, tidak senang dengan setiap kata yang ia ucapkan. “Jadi, Anda ingin balas dendam?”

Ia tertawa kecil, cenderung meremehkan ucapanku barusan. “Balas dendam? Bukan itu.”

“Terus untuk apa semua ini?”

“Kupikir akan menyenangkan, itu saja,” katanya yang amat sangat menohok dadaku, rasanya sakit. “Balas dendam juga untuk apa, itu tidak akan membuat kakakku kembali hidup. Aku hanya ingin melihat bagaimana sikap Indra ketika melihat adiknya dipermainkan, sebagaimana ia mempermainkan hidup orang lain.”

Mataku memburam karena air mata yang sudah menggenang. Aku tidak tahu kenapa setiap ucapan yang ia lontarkan barusan begitu menusuk, seakan selama ini ia menikmati jalanku menuju kehancuran. Aku benar-benar tidak bisa memercayainya, aku tidak ingin mendengar lebih jauh lagi dari ini.

“Apa Anda nggak merasa bersalah? Seenggaknya sama saya. Apa Anda nggak pernah sekali pun merasa bersalah karena udah ngelakuin hal ini ke saya?” tanyaku lirih, tatapanku sudah mengiba sekarang, berharap kalau ia tidak lagi mengatakan hal menyakitkan.

“Nggak. Kalau saya merasa bersalah, saya nggak akan pernah melakukan hal ini sejak awal,” tuturnya. Ia menatapku tajam, menunjukan kalau ia memang tidak main-main.

Kali ini aku benar-benar bungkam, tenggorokanku rasanya begitu tercekat mendengar penuturan dari pria di hadapanku ini. Bisa kurasakan tubuhku gemetar, mungkin karena aku menahan diri untuk tidak menangis kali ini tak peduli bahkan jika aku begitu ingin sekali berteriak untuk melepaskan rasa sakit ini.

“Bukan aku orang yang seharusnya kamu salahkan, dan kurasa kamu tahu harus menyalahkan siapa. Sayang sekali karena permainannya terlalu cepat berakhir,” kata Bos Juna dengan nada yang luar biasa dingin. “Saya juga ingin mengatakan kamu bisa kembali bekerja kalau kamu mau. Sebagai pimpinan saya cuma mau liat pekerjaan bawahan saya baik-baik saja, sepertinya mereka masih membutuhkan bantuan kamu di Queen. Mereka terus merengek agar kembali mempekerjakan kamu,” sambungnya.

Aku tertawa lirih mendengar ucapannya barusan. Katakan padaku bagian mana dari kata-katanya yang bernada peduli? Tidak ada. Bisa kulihat dengan jelas bagaimana jahat dan egoisnya pria yang berdiri di hadapanku saat ini. Bahkan di saat seperti ini ia masih memikirkan hal lain yang jauh dengan apa yang sedang dibahas. Bukankah ini lucu? Rasanya perasaan kacau dan sedihku berganti dengan amarah sekarang

“Kenapa? Saya hanya menawarkan pekerjaan karena nggak ingin kamu keliatan lebih menyedihkan lagi, berdiri di depan perusahaan seperti tadi,” tukasnya tanpa ampun.

Tidak, aku tidak ingin kembali ke perusahaan itu. Setidaknya itulah yang hatiku katakan, namun tidak dengan pikiranku. Wajah kakakku selalu terlintas dalam otak sejak aku tahu kebenaran akan pria di depanku ini. Berpikir setiap saat apa yang akan Bos Juna perbuat pada kakakku. Hanya hal itu saja yang membuatku tak tenang. Aku harus terus mengawasinya.

“Baik, saya terima kerjaan ini lagi. Lagi pula semua teman saya di kantor memang minta saya untuk kembali kerja. Dan saya nggak bisa keluar begitu aja dari kerjaan ini setelah banyaknya uang yang Anda pakai demi bisa masukin saya ke Queen,” kataku menerima tawarannya barusan, tak peduli pria itu akan berpikir apa tentangku. Orang menyedihkan? Tak tahu malu? Terlalu naif? Masa bodo.

Ucapannya tadi benar-benar membuatku tidak bisa menerima sikap egoisnya itu, membuat darahku mendidih karena kesal. Jika ia bilang tahu semua tentangku, maka ia salah besar. Rasa hancur, menjadi orang menyedihkan, sampai ingin menyerah terhadap hidup, bukanlah hal pertama yang kurasakan setelah tahu kebenaran atas tindakannya padaku. Aku pernah mengalaminya dan aku bisa melewatinya dengan baik. Yang kuperlukan hanya satu; waktu.

Kulihat pandangannya menajam menatapku, mungkin tidak suka dengan sikapku yang menerima apa yang ia tawarkan dengan cara mengejutkan sepertinya.

“Ah, satu lagi,” kataku saat ia hendak pergi dari tempatnya berpijak dan melanjutkan, “selamat ... karena udah berhasil buat saya jatuh sedalam ini. Saya jatuh cinta sama Anda. Saya jatuh cinta sampai saya sendiri merasa sesak karena perasaan itu. Selamat karena udah buat saya jadi orang bodoh untuk yang kedua kalinya karena jatuh cinta sama orang yang sepertinya lagi-lagi nggak ada rasa untuk saya. Anda membuktikan kalau cinta itu memang lelucon. Tenang aja, detik ini juga saya menghentikan rasa cinta itu ke Anda.”

Bisa kulihat dengan jelas, netranya melebar menatapku seolah tak menyangka aku akan mengatakan hal barusan.

Tapi tak ada alasan bagiku lagi untuk tetap memandangnya terlalu lama, bahkan aku tidak akan pernah bisa lagi memandang pria yang telah memermainkanku habis-habisan ini dengan pandangan yang sama. Ia tidak perlu tahu betapa besar rasa cinta yang tumbuh dalam diriku karena dirinya. Ia pun tidak perlu tahu betapa hancurnya diriku karena rasa cinta itu saat tahu kalau semuanya hanyalah lelucon baginya untuk bersenang-senang. Aku bahkan tidak yakin kalau kali ini waktu bisa menyembuhkan rasa sakit ini seperti dulu. Bahkan sepertinya luka ini akan terus ada, berdenyut dengan rasa sakit yang tak akan pernah memudar. Tapi tak masalah.

Aku akan baik-baik saja, aku janji.

1
Amelia Putri
cerita x berptur tentang itu2 saja.tidak ada ujung pangkal x.dan permasalahan pun tidak ada jalan keluar x.seakan ceritanya stak di tempat
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!