Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
Lagi-lagi Iva tidak melanjutkan perkataannya. Ia justru mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana Mas, apakah kamu sudah melihat kebenaran tentang Mamahmu? Aku harap keyakinanmu tentang Mamah, benar ya Mas. Aku harus segera ke kantor karena ada urusan mendadak. Apakah kamu nggak apa-apa jika aku tinggal?" Iva agak sedikit ragu melihat kondisi sang kekasih yang sedang terkena musibah. Tapi di tempat lain, ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan dirinya.
Kini berbalik, Iva yang sedang berkeringat dingin bahkan tatapannya tak tentu hingga membuat Ben semakin yakin jika ada yang sedang di sembunyikan oleh Iva.
Ketika Ben membuka mulutnya ingin berbicara, mendadak aparat kepolisian yang sedari tadi berdiri berkata tegas. "Maaf Mas Ben, tolong di lihat dulu apakah benar itu mayat Ibu, anda? Karena saya sedang menunggu kepastian untuk di laporkan ke kantor perihal kasus ini."
"Oh ya Pak, saya mohon maaf."
Selagi Ben berbalik arah dan membuka kain kafan penutup jenazah tersebut. Iva segera berlalu pergi. "Maaf ya Mas Ben, ini sangat darurat sekali. Di luar sana juga ada seorang wanita yang sedang membutuhkan pertolonganku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya seperti yang telah menimpa Mamahmu," batin Iva.
Sementara Ben membuka kain kafan tersebut dan ia berkata. "Pak, sepertinya ini bukan mayat Mamah saya karena tubuh Mamah langsing, tidak gemuk seperti ini dan kulitnya juga tidak hitam seperti ini."
Sejenak Ben mengeluarkan ponselnya dan ia menunjukkan foto Diajeng pada aparat kepolisian tersebut.
"Oh ya memang beda, tapi kami menemukan kartu identitas ini ada di dalam tas. Baiklah, biar kami yang akan menangani kasus ini. Karena pada waktu kami menemukan jasad ini seperti tertabrak kendaraan yang melaju dengan cepat."
Ada rasa lega dalam hati Ben, karena mayat tersebut bukan mayat Mamah Diajeng. Hanya saja ia merasa heran bagaimana bisa kartu identitas Mamahnya ada di dalam tas mayat tersebut?
"Aneh, bagaimana bisa kartu identitas mamah ada di tas wanita itu ya? Lantas Mamah sekarang ada dimana ya? Semoga dalam kondisi baik-baik saja," batin Ben.
Sementara saat ini Iva sudah ada di sebuah jurang. Ia meminta bantuan kedua kakaknya untuk menolong seorang wanita paruh baya.
Sejenak kedua kakaknya terperangah pada saat melihat sosok yang tidak asing lagi baginya. "Astaghfirullah, ini kan Tante Diajeng. Bagaimana bisa dia ada di dasar jurang seperti ini?" ucap Cakra.
"Loh Kak Cakra kenal juga dengan Tante Diajeng?" Iva menatap tak percaya ke arah Cakra.
Namun jawaban yang ia dapat justru dari bibir Aditya. "Ya ampun, Iva. Masa iya kamu tidak ingat dengan Tante Diajeng? Dia itu Ibu mertuamu, Mamahnya Ben."
Sejenak Iva membekap mulutnya sendiri dan pada saat ia akan berkata. Cakra meminta untuk lekas membawa Diajeng ke rumah sakit.
"Sudah, berhenti dulu ngobrolnya yang terpenting saat ini menyelamatkan nyawa Tante Diajeng. Yuk segera bawa ke rumah sakit!" pintanya menatap ke arah Aditya.
Tapi Iva justru menahannya. "Tolong jangan dibawa ke rumah sakit karena sebelum Tante pingsan ia ingin di rawat di rumahku saja. Mungkin ada seseorang yang mengincar nyawanya. Ia takut keberadaanya di rumah sakit di ketahui oleh orang ja hat itu."
Tak menunggu lama lagi, Cakra dan Aditya membawa pulang Tante Diajeng ke rumah Iva. Sedangkan Iva segera menghubungi dokter pribadinya untuk memeriksa kondisi Tante Diajeng.
"Bagaimana Dok?" tanya Iva sedikit mencemaskan kondisi Tante Diajeng.
"Karena benturan yang cukup keras di kepalanya dan tubuhnya membuat seluruh tubuhnya untuk sementara alami kelumpuhan. Sebenarnya memang perlu di rawat intensif. Seharusnya di bawa ke rumah sakit supaya lebih gampang untuk mendapatkan penanganan medis. Dan perlu juga untuk terapi otot tubuh supaya seluruh fungsi tubuh yang saat ini tidak bekerja dengan baik bisa segera pulih," ucap Dokter pribadi Iva.
"Baiklah Dok, nanti saya konfirmasi dengan keluarga pasien. Terima kasih atas bantuannya."
Iva menyunggingkan senyumannya seraya menangkupkan kedua tangannya di dada.
Selepas Dokter pergi, Iva menatap ke arah Cakra dan Aditya. "Bagaimana ini Kak? Aku rasa memang ada seseorang yang ingin mencelakainya. Oh ya, tadi aku juga sedang ada di rumah sakit."
Sejenak Iva menceritakan semuanya pada Cakra dan Aditya.
"Aku tidak tahu jika Tante Diajeng yang kukenal justru Mamah mertuaku sendiri. Kecelakaan itu membuatku seperti orang pikun yang lupa segalanya. Aku juga heran, bagaimana bisa Tante Diajeng juga tidak mengenaliku?" gumamnya bisa di dengar oleh Cakra dan Aditya.
"Kamu itu aneh, Tante Diajeng kan ketemu kamu semasa masih remaja secara wajah remajamu dengan wajah sekarang kan sangat jauh berbeda jelas saja ia tidak tahu jika kamu
itu Iva yang di cintai anaknya," ucap Aditya tersenyum miring.
Iva tidak ingin membuang waktunya begitu saja. Ia segera menghubungi nomor ponsel Ben. "Astaghfirullah, nomorku kan sempat di blokir Tante Diajeng. Kak Cakra- Kak Aditya, aku benar-benar bingung. Secara Tante itu benci banget sama aku karena dulu aku kabur waktu pertunangan dengan Mas Ben. Tapi di samping itu, dia suka banget sama aku dan berharap aku menjadi pendamping Mas Ben karena dia tidak tahu aku ini Iva yang sama dengan Iva yang telah kabur."
Sejenak Cakra dan Aditya saling berpandangan satu sama lain. Bahkan mereka sempat menggelengkan kepalanya. "Hidupmu kok rumit banget sih Dek? Lebih aneh mamah mertuamu itu benci kamu tapi juga suka kamu," ucap Cakra sempat terkekeh-kekeh sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sudah nggak usah mikir yang itu dulu. Begini saja, kita panggil Dokter khusus untuk merawat di rumah saja karena memang di luar sana pasti ada orang yang menginginkan kematian Tante Diajeng. Aditya, kita bagi tugas. Aku nyari Dokter dan kamu temui Ben. Sedangkan Iva tetap berjaga di sini saja. Oh ya Iva, untuk saat ini nggak usah banyak pikiran dulu! Utamakan kesembuhan Tante Diajeng, Ok adikku tersayang."
Cakra mengusap surai hitam adik perempuan satu-satunya.
Sementara Aditya melirik sinis ke arah Cakra. "Hem, jadi cuma Iva adik kesayangan sedangkan aku bukan?" protesnya tersenyum miring.
Cakra justru mendorong kening Aditya dengan satu jari telunjuknya. "Huh begitu saja iri, cemburu. Sudah nggak usah ngomong lagi! Yuk kita bergerak cepat karena nyawa Tante Diajeng lebih berharga. Dan kamu Iva, nggak usah takut karena Kakak akan memerintahkan beberapa anak buah kakak untuk selalu waspada di sekitar rumah ini."
Iva mengangguk perlahan, sementara Cakra dan Aditya segera bergegas pergi untuk melakukan misi mereka masing-masing.
Sepertinya kedua kakaknya, Iva terus menatap wajah tua Diajeng. Dalam hati ia bergumam. "Bagaimana jadinya kelak jika Tante tahu kebenaran bahwa aku adalah Iva yang dia benci? Apakah dia akan tetap menyukaiku atau sebaliknya justru semakin membenciku?"
VISUAL
lanjut