Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sembilan belas
Baik Fabian maupun Laras, keduanya sama-sama merasa sedang berolahraga jantung saat ini. Kegilaan Tania kembali berlanjut dengan permintaan gadis itu yang menurunkannya di depan pagar rumah dan meminta mereka untuk tetap diam di mobil.
Fabian dan Laras pikir, Kania akan masuk melalui pintu utama seorang diri. Tapi jauh dari pemikiran mereka, garis remaja yang gila itu malah nekat memanjat seperti biasa. Bahkan kedua bersaudara itu sudah tidak bisa membayangkan rasa sakit yang sedang Kania tahan saat memanjat seperti itu.
Laras yakin, pasti besok gadis itu akan meringis kencang karena ulahnya malam ini. Tidak perlu menunggu besok. Bahkan sepertinya dalam beberapa menit kedepan Kania akan merasakannya.
"Taruhan yuk!" Laras mengeluarkan senyum jahilnya.
" Besok Kania sekolah atau enggak?"
"Sejuta, sejuta ya!"
"Deal!" Laras melebarkan senyumnya." Gue yakin dia pasti sekolah."
" Kalau gue si yakin, enggak," tambah Fanian tanpa melepaskan fokusnya pada Kania yang masih bergulat di atas atap miring rumah itu.
Sedetik kemudian senyum jahil Laras memudar begitu saja, matanya tetap memicing pada titik dimana Kania mulai memanjat jendela kamarnya.
"Menurut Lo apa yang kita gak tahu tentang Kania, Bi?" tanyanya kemudian. Karena ia yakin, bukan hanya dirinya yang tidak tahu jawaban itu. Bahkan Fabian, sahabat dekatnya pun juga tidak tahu.
Fabian mengulas senyum tipis." Banyak."
-----
Pemandangan pertama yang Laras dapat setelah memasuki kelasnya adalah keramaian yang tertuju pada satu arah. Satu arah yang membuat tatapannya kembali terlalu pada titik tersebut. Yang saat matanya menemukan alasan keramaian itu. Jujur, ia malu.
Memang bukan dirinya yang menjadi pusat perhatian. Tapi berhubung Ia adalah teman dari si pusat perhatian itu, ia ikut malu.
Langkah pasti membawanya cepat menuju tempat di mana kursinya berada. Ia malam kertasnya asal ke atas meja sebelum mereka cat pinggang yang kedua mata yang memperhatikan posisi Kania saat ini.
Empat kursi berbaris sejajar dengan kandungan yang tertidur atasnya. Benar-benar tertidur, bahkan Laras bisa melihat kabel earphone yang menjalar dari sakura kan ya sampai ke telinga gadis itu. Ya pantas saja Kania nyaman dengan posisi tidurnya.
Ia mendesah ulang sebelum matanya tertuju pada titik lain. Titik dimana perhatiannya teralih karena keanehan pada kaki Kania.
"Kania!" Laras spontan melepas penutup telinga gadis itu dan menatap Kania tajam.
Kania melenguh." Apa si-"
" Lo gila?!"
Kania berdecak pelan. Ia mengucek kedua matanya dengan mulutnya yang seketika menguap lebar." Apa?" gumannya seolah masih tidak sadar keadaan.
" Gipsnya Lo kemanain?"
" Ish!" Kania berdecak. Ia membuka matanya sebelah, seolah masih tidak menyukai sinar terang yang memasuki matanya itu." Berisik, Laras-"
"Bangun!" Laras memerintah." Lo liat kaki Lo udah kayak apa?!" gerutunya.
"Lo ngapain ke sekolah si?! Udah tau kaki lo masih kayak begit-"
" Berisik Laras!" desis Kania yang kemudian menarik jaketnya untuk menutupi wajahnya dari sinar terang juga tatapan galak Laras.
Tolonglah, Kania kekurangan tidur. Surat dari pulang tengah malam. Kalau berlanjut dengan dirinya yang hanya bisa tidur hanya satu jam setengah. Kemudian kembali berlanjut pada dirinya yang susah setengah mati udah siap ke sekolah karena pergelangan kakinya yang membengkak, lalu terlanjur pergi dengan dirinya yang nekat terangkat pukul lima pagi hanya untuk menghindari bertemu dengan anggota keluarganya. Sudahlah, intinya Kania butuh tidur.
"Anjir!"
Teriakan keras itu jelas menggema di seluruh ruangan sesaat setelah Kania merasa perih teramat pada kakinya. Ia menyibakkan jaket dari wajahnya dan memberikan tatapan nyalangnya pada laki-laki yang sedang tertawa pelan di depannya.
"Gila ya Lo?!" omelnya penuh emosi.
Fabian- si pelaku yang baru saja sengaja memukul pelan pergelangan kaki Kania itu kembali tertawa. Ia kemudian mengeluarkan dompetnya dari saku celana sebelum melemparnya pada Laras yang masih terlihat emosi.
" Sejuta doang ya-"
"Lo jadiin gue bareng taruhan lagi?!" Kania menyahut galak. Ia mulai mengubah posisinya untuk duduk yang kedua tangannya yang bertumbuh pada kursi lain di belakangnya, sebelum menangkap tajam Fabian dan Laras bergantian.
"Masuk UKS gak Lo?!" Laras mendelik tajam." Gue doain nggak usah bisa jalan lagi sekalian ya-"
" Jahatnya,," Kania menyahut sendu. Ia menurunkan perlahan kakinya kemudian memungut jaketnya yang terlempar ke lantai sebelum menatap Laras polos." Padahal aku begini karena kamu-"
"Gak usah berlebihan ya Lo!" ucap Laras tambah galak." Ke UKS gak Lo?! Gue bilangin Karel sekalian ya?!"
Kania mencebik." Bawel Lo!" gerutunya yang kemudian menyambar kotak rokoknya pada kolong meja dan mulai melangkahkan kakinya.
" Gak ngerokok Kania-"
"Ba-cot!" Kania menyahut jengah. Ia butuh ketenangan. Bukan cecaran lain yang mungkin akan ia terima jika kakinya melangkah menuju unit kesehatan sekolah.
"Bian-"
"Iya, gue yang liatin!" Fabian menyahut cepat seolah mengerti tatapan tajam Laras padanya.
Kalau bagian emosi Kania, Fabian jagonya. Kalau bagian hati Kania, Laras jagonya. Jadi, keduanya sudah punya masing-masing tugas untuk mengurus gadis yang tidak bisa diatur itu.
" Lo gak sakit apa, Nia?" Fabian meringis sembari memperhatikan kaki Kania yang hanya mengenakan sepatu sebelah saja.
"Menurut lo?!" cibir Kania galak.
"PMS ya Lo?!" tebak Fabian sejurus kemudian. Ini masalahnya Kania galak banget.
Langkahnya susah payah Kania jelas membawa Fabian menuju tempat ternyaman bagi gadis itu di sekolah ini. Dimana lagi kalau bukan taman belakang sekolah yang sempit namun jarang di kunjungi itu.
"Korek dong!" Kania memintanya.
Fabian berdesis. Ia merogoh saku celananya, mencari benda yang diinginkan Kania sebelum mengulurkannya pada gadis itu.
"Masih pagi udah ngerokok aja Lo!" cibirnya pelan.
Kania mendelik. Ia memicingkan kedua matanya pada Fabian sebelum menyalakan benda yang sudah terhimpit pada kedua bibirnya itu." Kenapa orang-orang pagi ini banyak omong banget sih?!" Omelnya.
"Lo yang lagi sensi-" Fabian tidak terima di salahkan." Pasti lo lagi PMS kan?" tebaknya belum menyerah.
"Baco-"
"Lo diem di sini." Fabian menyela seketika.
Kania tidak banyak bertanya. Lagi pula dia hanya ingin menghisap manisnya benda yang berada di tangannya saat ini sebelum akhirnya kembali tertidur dan menikmati rasa sakit di kakinya yang masih bengkak.
Sesuai dugaan Fabian. Ia memang sedang menjalani masa yang namanya menstruasi. Dan seakan mengetahui kebiasaannya, ia emang sering sekali berubah menjadi lebih sensitif saat masa-masa itu. Juga malam tadi ia kekurangan tidur. Bagaimana tidak emosi?
Tapi jika untuk Karel, hal itu tidak berlaku.
"Sini kaki Lo!"
Suara Fabian kembali memenuhi taman belakang itu membuat Kania menoleh padanya yang susah menggenggam perban elastis di tangannya.
Fabian berdesis pelan, ia melepas Hoodie hitamnya dan menyampaikan pada kedua bagian lutut Kania. Ia kemudian berjongkok di hadapan gadis itu dan meletakkan kaki Kania di atas pahanya.
Ia mendesah pelan." Udah tahu begini ngapain sekolah si, Nia?" Ia gemas sendiri.
Kania mengedikkan bahunya acuh.
"Tajam sedikit!" Fabian memerintah sebelum mulai mengitari pergelangan kaki Kania menggunakan perban elastis yang ia bawa dari UKS.
" Jangan terlalu banyak digerakin kakinya, nanti makin lebar bengkaknya." Ia berucap pelan." Dengar gak?! lanjutnya dengan galak.
Kania terkekeh pelan, kemudian mengangguk. Percayalah, mendengar Fabian emosi adalah hiburan tersendiri baginya. Memang laki-laki itu bisa sekali menaikkan suasana hatinya yang buruk.
"Makasih." ujarnya ketika Fanian mengembalikan kakinya ke posisi semula.
"Korek," Fabian bersuara sesaat tangannya sudah merogoh saku celananya untuk mengambil benda kesayangannya itu.
"Korek Lo mana?" Sahut Kania pada nyatanya tetap memberikan benda itu pada Fabian.
"Barusan Lo pinjem, Kania!" Fabian menggerutu.
"Dengar-dengar Lo udahan di antariksa." Fabian kembali membuka topik setelah bokong nya beristirahat pada tumpukan batu berwarna abu-abu tua.
Kania menjawab dengan anggukan. Ia sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk menceritakan hal itu. Jadi, ia malas untuk kembali membuka mulut hanya untuk menjelaskan apa yang membuatnya berhenti dari tempat Dewa.
"Duit Lo udah banyak lagi?" Kekeh Fabian yang kemudian menghisap rokoknya.
Kania menggeleng lemas." Gue aja lagu bimbang. Mending beli makan siang atau kotak baru."
"Gue beliin rokok Lo." Fabian menyahut tanpa beban." Lo beli makan aja. Jangan sampai gak makan-"
"Baiknya!" Kania seketika melebarkan senyuman cerah. Ini bukan kali pertama Fabian menawarkan hal-hal seperti ini. Dan ini tidak akan menjadi kali pertama juga ia menerima dengan senang hati.
"Tapi gue batasin!" lanjut Fabian.
"Idih! Gak ikhlas!"
"Mending rokok atau makan-"
"Rokok!" Kania membalas cepat." Gak makan seharian gak bakal-"
"Lo gak makan dua hari dan berakhir di rumah sakit juga gak beras akan, Nia?" Ucap Fabian sinis berhasil membuat Kania menyengir lebar.
Kejadian ketika kelas sepuluh masih membekas di otak Kania adalah kejadian dimana ia melupakan kenyataan bahwa perutnya sama sekali tidak menerima asupan makanan selama dua hari penuh dan membuatnya berakhir di UGD karena bantuan Fabian. Kejadian di mana perang dingin di rumahnya mulai terjadi dan membuatnya memilih untuk mogok makan. Bisa diakui, Fabian dan Laras memang teman yang paling perhatian.
"Sehari gak ngerokok bisa gak?"
"Coba tanya diri Lo sendiri," Kania membalas. " Jawaban gue bakal sama kok," lanjutnya.
Fabian tidak membalas laki-laki itu lebih memilih kembali menghirup rokoknya dan mencari objek lain untuk untuk menjadi pusat perhatiannya. Ia tidak berniat memberi jawaban untuk pertanyaan Kania yang seakan menyetujui kelakuan gadis itu saat ini.
"Tapi kalau gue udah kepaksa dan Bang Dewa- butuh banget, gue udah bilang siap di-call kapan aja." Kania berkata dengan tenang.
Fabian tersenyum tipis sebelum mengangguk. " Sebenarnya apa tujuan Lo saat ini sih, Ni?" Ia berucap dengan nada serius.
"Maksud Lo?"
Ia mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah batang itu sebelum memerhatikan Kania dalam diamnya. Jujur, selama hampir lima tahun mengenal Kania, Fabian ingin sekali mengetahui banyak tentang kehidupan gadis itu.Fabian ingin mengerti keluh kesah Kania, Fabian ingin menjadi seseorang yang selalu ada untuk Kania dan ingin dipercayai oleh gadis itu untuk memegang semua rahasianya. Tapi kenyataannya, untuk semua hal itu Fabian sulit untuk mendapatkannya.
Kepalanya menggeleng pasti sebelum memilih bangkit berdiri." Balik ke kelas. Makan siang gue yang bayar." Ucapnya yang kemudian beranjak pergi meninggalkan Kania di taman belakang.
Tidak,dia tidak memiliki perasaan apapun pada gadis itu. Entah kata tidak itu terus berlanjut atau bisa berubah seiring berjalannya waktu.