Quinevere King Neutron, putri Nathan Ace Neutron bersama dengan Clementine Elouise King, kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis dengan kepribadian yang kuat. Tak hanya menjadi putri seorang mantan mafia, tapi ia juga menjadi cucu angkat dari mafia bernama Bone. Hidup yang lebih dari cukup, tak membuatnya sombong, justru ia hidup mandiri dengan menyembunyikan asal usulnya. Quin tak pernah takut apapun karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman kedua orang tuanya. Ia tak ingin menjadi pribadi yang lemah, apalagi lemah hanya karena cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU AKAN MENJAGANYA
“Steve, bantu aku untuk memberikan proposal rencana kerja sama kita pada Tuan Bone. Kita tak boleh menunggu terlalu lama. Perusahaan Bone adalah perusahaan besar, pasti akan mampu membantu perusahaan kita lebih berkembang dan akhirnya semakin besar,” pinta Fox pada sahabatnya.
“Kamu tak ikut?” tanya Steve.
“Aku baru ingat kalau hari ini adalah jadwal rutin untuk memeriksa kesehatan Grandma. Aku tak ingin sampai lalai,” ujar Fox.
“Baiklah, aku akan menemuinya.”
“Thank you, Steve.”
Steve akhirnya pergi seorang diri ke Perusahaan Bone. Namun, ia tak menyangka saat ia sampai di lantai di mana ruangan Tuan Bone berada, ia melihat seorang pria tengah berteriak sambil mengangkatvtangannya. Ia melihat pria itu memegang sesuatu di tangannya.
Mata Steve membulat saat mengenali alat yang dipegang pria itu. Ia pun melangkah pelan dan mengendap-endap agar tak terdengar oleh pria itu. Ia tak ingin gegabah yang mengakibatkan pria itu tahu, atau bahkan menekan tombol pada alat tersebut.
Bughhh Takk
Sebuah pukulan tepat di tengkuk Alvi, membuat pria itu langsung jatuh dan dengan cepat Quin meraih alat pemicu tersebut dengan sabetan tangannya.
“Hampir saja,” gumam Quin yang merasa lega karena alat pemicu tersebut tidak terjatuh ke lantai. Bisa bermasalah jika alat tersebut jatuh ke lantai tepat di tombolnya. Ia tak tahu berapa tingkat sensitivitas alat tersebut.
Setelahnya, Quin kemudian menoleh ke arah pria yang memukul Alvi tersebut. Ia menautkan kedua alisnya karena tak pernah melihat pria itu sebelumnya.
“Tuan Steve,” sapa Bone yang tentu saja mengenali asisten dari CEO DG Coorp itu. Sudah sejak pertemuan pertamanya dengan Fox, Bone terus saja mencari tahu tentang orang-orang yang berada di sekeliling pria itu.
“Selamat siang, Tuan Bone, Nona …”
“Quin,” Quin mengangkat tangannya untuk berjabatan dengan Steve. Steve sempat terpesona melihat senyum Quin, tapi sesaat kemudian ia tersadar.
“Quin adalah CEO perusahaan ini untuk menggantikanku. Nantinya, Tuan Steve bisa langsung menemuinya jika ada hal-hal yang berhubungan dengan kerja sama kita. Di mana Tuan Diggory?” tanya Bone.
“Maaf, Tuan. Saat ini Tuan Diggory sedang menyelesaikan beberapa hal hingga meminta saya yang mewakilinya. Ia mohon maaf atas hal ini,” kata Steve yang tak ingin salah bicara.
Steve sedikit gugup jika sampai Tuan Bone akan menolak rencana kerja sama ini karena Fox tidak datang sendiri menemuinya. Namun saat ini Fox harus menemani Grandma Stella untuk melakukan cek kesehatan rutin.
Saat melihat senyum Bone, hati Steve tampak sedikit lega, “tak apa, beri tahu pada Tuan Diggory bahwa aku menunggunya besok di perusahaan. Kita akan siap menjalankan kerja sama itu.”
“Benarkah, Tuan?” tanya Steve mencoba meyakinkan diri.
“Tentu saja.”
“Anda tidak ingin membaca proposal itu terlebih dahulu?”
“Aku tentu akan membacanya lagi, tapi secara garis besar aku sudah tertarik dengan ide yang ditawarkan oleh Tuan Diggory. Jadi, sepertinya kita tak perlu menunggu lama, karena cucuku ini juga harus segera memegang proyek pertamanya,” ujar Bone sambil menoleh ke arah Quin.
“Baik, Tuan. Terima kasih banyak. Kalau begitu saya pamit dan akan mempersiapkan segalanya.”
Steve pun pamit, sementara Quin segera menghubungi pihak kepolisian untuk menangkap Alvi. Rekaman CCTV akan menjadi barang bukti untuk menjeratnya dalam pasal pengancaman, percobaan pembunuhan, serta teror.
“Besok persiapkan dirimu secantik mungkin, sayang. Grandpa akan mengenalkanmu pada seorang pria tampan,” ujar Bone dengan setengah tertawa.
“Grandpa, jangan mencoba untuk menjodohkanku,” gerutu Quin.
“Apa kamu sudah memiliki kekasih? Atau kamu sudah memiliki pria impian? Beri tahu Grandpa, nanti Grandpa akan menyelidikinya lebih dulu. Apakah dia pantas mendampingi cucu Grandpa yang cantik dan luar biasa ini,” ujar Bone kemudian kembali tertawa.
Jika memang Arden Fox Diggory memiliki hubungan dengan dirinya, maka Bone berniat menjodohkannya dengan Quin. Bukankh dengan begitu, Quin akan benar-benar menjadi cucunya. Ia tak akan lagi sendiri, ia tak ingin kesepian di masa tua-nya.
Sementara Quin yang mendengar ucapan Bone hanya bisa tersenyum tipis. Sejujurnya ia belum memikirkan pria lagi sejak ia memutuskan hubungan dengan Elon. Ah tidak, terakhir ia bukan memikirkan Elon, tapi memikirkan Fox.
Di mana-kah kamu sekarang, Fox? Apakah kamu baik-baik saja? - batin Quin.
Tak ada sekalipun rasa benci dari Quin untuk Fox. Ntah mengapa Quin tak merasa benci pada Fox, karena ia tahu Fox mengatakan hal yang menyakitinya, justru untuk melindunginya.
Bagi Quin, Fox adalah salah satu pria yang selalu ada di sampingnya. Pria itu adalah temannya, pelindungnya, dan …
Malam itu, malam di mana terakhir kali ia bertemu dengan Fox, ia sempat melihat Fox berbicara dengan seseorang setelah kepergiannya. Fox pasti tak akan mengetahuinya karena Quin bersembunyi di balik sebuah dinding. Ia tak mendengar pembicaraan keduanya, tapi dari tatapan tajam yang diberikan Fox, Quin yakin ada masalah di antara keduanya.
Keesokan harinya,
“Hart!” Quin melihat keberadaan sepupunya di Mansion Neutron pagi itu. Tak hanya sendiri, tapi juga bersama dengan Rea, sahabatnya.
“Rea!” Quin langsung menghambur memeluk Rea. Ia sangat merindukan sahabatnya itu.
“Quin,” sapa Rea dengan senyum yang terukir di wajahnya.
Kecelakaan sebelumnya, membuat Rea kehilangan ingatannya. Hingga saat ini, tak sedikit-pun Rea mengingat masa lalu-nya. Namun, Quin tak masalah dengan itu, ia akan membantu Rea menciptakan memori baru yang tentu saja menyenangkan dan membahagiakan bagi sahabatnya itu.
Ia bahkan sudah berencana untuk mengangkat Rea menjadi sekretarisnya. Quin akan mengajari Rea perlahan dan memastikan sahabatnya itu merasa nyaman bekerja bersamanya.
“Kapan kalian datang? Mengapa tak menghubungiku?” tanya Quin dengan wajah yang cemberut meskipun hatinya sangat senang.
“Kemarin sore dan aku langsung membawa Rea ke hotel untuk beristirahat,” jawab Arthur, “ehmmm, apa aku bisa menitipkan Rea padamu untuk sementara waktu, Quin?”
“Tentu saja! Ia akan tinggal di sini bersamaku. Maaf karena aku banyak merepotkanmu, Hart.”
“Kamu akan pergi?” tanya Quin lagi karena melihat Arthur yang sepertinya terburu-buru.
“Aku ada seminar di luar kota.”
“Tak ingin sarapan dulu?”
“Aku akan makan di jalan saja nanti,” kata Arthur.
Namun saat Arthur hendak melangkahkan kakinya, Rea memutar tubuhnya kemudian langsung memeluk lengan Arthur.
“Jangan pergi, jangan meninggalkanku,” pinta Rea dengan wajah sendunya.
Arthur tersenyum kemudian melepaskan tangan Rea, lalu memegang kedua bahu sahabat sepupunya itu.
“Kamu akan aman di sini, aku akan segera kembali,” kata Arthur dengan sangat lembut.
“Benarkah?” tanya Rea.
“Ya.”
Sejak ia membuka matanya dan melihat keberadaan Arthur di sampingnya, Rea sudah menganggap Arthur sebagai pribadi yang baik dan tak akan menyakitinya. Oleh karena itulah ia merasa aman jika berada di dekat Arthur.
“Pergilah, Hart. Aku akan menjaganya,” kata Quin dan merangkul Rea.
🌹🌹🌹