"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Haesung
Di tengah malam yang sunyi, terlihat sebuah apartemen dengan satu ruangan yang berantakan, seperti baru saja dilanda badai. Kursi-kursi berserakan, beberapa pecahan kaca berserakan di lantai, menambah kesan kacau yang menggantung di udara. Seolah ada sesuatu yang besar, sebuah insiden yang menghancurkan kedamaian di tempat tersebut.
Di sudut ruangan, seorang pria berdiri menghadap jendela kaca besar, dengan pandangan tajam menelusuri kerlip lampu kota di bawah sana. Sorot matanya menusuk, penuh dengan emosi yang sulit terbaca, seolah pikirannya sedang diburu sesuatu. Dari balik jendela, lalu lintas masih tampak sibuk, meskipun hari sudah larut, namun riuh rendah suara klakson dan cahaya kendaraan nyaris tidak masuk ke dunia sunyi yang sedang ia ciptakan di sana.
Tangannya yang kekar menggenggam erat sebuah gelas berkaki tinggi, di dalamnya ada cairan berwarna keemasan yang berputar pelan setiap kali ia menggoyangkannya. Sejenak, ia menatap isi gelas itu, seolah mencari jawaban yang tersembunyi dalam setiap tetesnya. Wajahnya yang keras terlihat termenung, bayangannya memantul di kaca jendela, memperlihatkan sosok yang rapuh di balik sikapnya yang dingin.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan, membuat tatapannya teralih sejenak. Dengan gerakan lambat, ia merogoh saku celananya, menarik keluar ponsel tersebut dan menatap layar. Nama yang tertera di layar tampak familiar, membuat sorot matanya sedikit berubah ada sesuatu di balik pandangannya yang terjaga. Meski malam telah jauh berlalu, panggilan itu seakan membawa pesan penting, sesuatu yang tidak bisa menunggu hingga pagi.
"Halo..." Suara seorang pria dari seberang sana membuat tatapan Haesung perlahan melembut.
"Iya... Hyung, ada apa?" jawabnya, mengenali suara Seonho di telepon.
"Hae-ah, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Seonho, nada suaranya terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.
"Aku baik, Hyung," ujar Haesung, berusaha menyembunyikan semua yang sedang terjadi dari saudaranya itu. Suaranya terdengar tenang, tetapi jauh di dalam hatinya, ada perasaan kacau yang tidak mungkin dia ungkapkan.
Haesung adalah tipe pria yang lebih memilih memendam semua masalahnya sendiri. Di antara semua saudara-saudaranya, dia memang tampak paling ceria, paling ringan menghadapi hidup. Namun, tanpa diketahui mereka, Haesung sebenarnya menyimpan banyak masalah yang tidak pernah dia ceritakan pada siapa pun, termasuk keluarganya. Baginya, mengatasi setiap masalah sendirian adalah caranya melindungi orang-orang yang ia cintai dan ia akan kembali hanya setelah semua selesai.
Seperti kali ini, dia sudah tidak pulang ke rumah selama berminggu-minggu. Semua orang beranggapan bahwa Haesung sedang sibuk dengan pekerjaan di luar kota, mengingat Namjin dan Yongki juga kerap bepergian lama karena urusan pekerjaan mereka. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Haesung tengah dilanda masalah besar salah satu butik yang menjadi tempatnya menjual pakaian hasil desainnya dibakar oleh orang tak dikenal. Hal itu membuatnya frustasi, tekanan yang ia rasakan begitu berat, namun ia tetap memilih menanggungnya seorang diri.
“Hae... kamu masih di sana?” tanya Seonho, mendapati adiknya yang diam di seberang telepon.
“Ah... iya, Hyung. Aku masih di sini,” jawab Haesung, tersentak sedikit mendengar suara kakaknya yang terdengar lembut namun tegas.
“Kapan kamu kembali?” Seonho bertanya lagi.
“Aku masih ada urusan di sini. Mungkin aku tidak akan pulang dulu, Hyung,” jawab Haesung sambil menarik napas panjang.
“Hae... kenapa kamu tidak pernah mau terbuka pada kakakmu ini?” Seonho bertanya, nada suaranya berubah serius, membuat Haesung terdiam sesaat.
“Apa maksud Hyung? Aku baik-baik saja,” balas Haesung, berusaha tetap tenang.
“Hyung tahu kamu sedang ada masalah, kan? Katakan, apa yang bisa Hyung bantu?” tanya Seonho lagi, penuh perhatian.
“Tidak ada, Hyung. Sudahlah, Hyung tidak perlu terlalu khawatir tentang aku. Aku sudah dewasa sekarang, dan aku tidak mau merepotkan kalian lagi. Hyung juga punya banyak hal lain yang lebih penting, kan? Jadi, lebih baik Hyung fokus pada urusan Hyung sendiri. Aku sudah bisa berdiri sendiri sekarang,” tutur Haesung, mencoba meyakinkan kakaknya, meski ada nada getir yang tak bisa ia sembunyikan.
Seonho terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada datar, dia tidak suka jika saudaranya menyembunyikan apapun dari nya, dalam pikiran Seonho dia berusaha membantu apapun itu semampu nya .
“Kamu ada di apartemen mana?” Ujar nya dengan nada kesal.
“Hyung...” suara Haesung terdengar lemah, seperti ingin menolak.
“Katakan, atau Hyung sendiri yang akan mencari tahu,” ujar Seonho, suaranya tegas.
“Tidak, jangan ke sini. Ini sudah larut malam. Aku tidak mau Hyung kenapa-kenapa,” ujar Haesung, khawatir dengan keselamatan kakaknya.
“Cepat katakan, kamu ada di apartemen yang mana?” Seonho tetap bersikeras.
“Aku mohon, jangan ke sini. Aku berjanji akan pulang besok pagi. Ini sudah larut malam, Hyung, aku benar-benar takut terjadi sesuatu padamu,” Haesung berkata dengan penuh kepedulian. Sejak kepergian ayah mereka, ia selalu menggantungkan rasa hormat dan kasihnya pada Seonho, sang kakak tertua yang kini menjadi figur pelindung keluarga.
“Baiklah... Tapi katakan, ada apa sebenarnya?” ucap Seonho menghela napas panjang, hingga pada akhirnya haesung mau menceritakan semua yang terjadi pada seonho.
“Salah satu butikku dibakar oleh orang tak dikenal. Aku sedang berusaha mencari pelakunya, dan itulah sebabnya aku belum bisa pulang,” jawab Haesung, dengan suara yang mulai terdengar jujur dan penuh beban.
“Kapan kejadiannya?” tanya Seonho lagi, berusaha memahami masalah yang dihadapi adiknya.
“Sudah seminggu yang lalu,” jawab Haesung. Dari nada suaranya, Seonho bisa merasakan kepedihan yang Haesung coba sembunyikan.
“Beritanya tidak masuk media?” Seonho penasaran, mengingat reputasi Haesung sebagai desainer terkenal.
“Aku membayar media agar tidak meliputnya,” ujar Haesung pelan.
“Kenapa?” Seonho terkejut mendengar hal itu.
“Ada beberapa klien penting yang pesanannya belum sempat ku selesaikan. Sekarang semua itu hilang jadi abu, dan tenggat waktunya sudah semakin dekat,” Haesung menjelaskan, suaranya mulai melemah. Bagi Haesung, ini bukan hanya soal kehilangan barang, tetapi reputasi dan kepercayaannya yang sedang dipertaruhkan.
“Tidak ada cara lain? Misalnya, menggambar ulang desainnya?” tanya Seonho, mencoba memberi solusi.
“Aku bisa menggambar ulang, tapi kalau harus mengerjakan semuanya sekaligus... aku tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Sedangkan klien-klien ini sudah pasti akan menuntut agar semua selesai sesuai jadwal,” jawab Haesung dengan nada frustrasi.
“Pulanglah besok. Kita pikirkan caranya bersama,” ujar Seonho, memberi ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh seorang kakak tertua.
“Baiklah, Hyung...” Haesung mengalah, perasaan hangat mulai menyelimuti hatinya.
"Emm.. jangan lupa makan mu Hae -ah, dan jangan terlalu banyak minum " ujar seonho.
“Terima kasih, Hyung,” ucap Haesung lirih.
“Ada apa denganmu? Terima kasih untuk apa?” ucap seonho bingung, mendengar penuturan sang adik.
“Untuk semuanya, Hyung. Hyung sudah banyak membantuku,” ujar Haesung dengan tulus.
“Aku melakukan ini karena aku kakakmu,” jawabnya sambil terkekeh.
“Bukan seperti itu, Hyung. Aku merasa bersalah padamu. Aku ini sudah dewasa, seharusnya bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Tapi nyatanya, aku masih sering bergantung padamu. Aku benar-benar minta maaf karena sejak dulu selalu membebani mu. Padahal aku tahu, kamu juga pasti punya masalah sendiri, tapi kamu selalu mengutamakan kami,” Haesung mengucapkannya dengan ketulusan yang dalam.
“Hahaha... Aku tahu kau sudah dewasa, terlihat dari ucapanmu itu. Tapi Hae-ah, dengarkan aku. Aku bisa menjaga diriku sendiri, jadi kau tidak perlu khawatir dengan masalahku,” ujar Seonho, tersenyum hangat.
“Kau selalu seperti itu, Hyung,” jawab Haesung, ada kekaguman dalam suaranya.
“Aku seperti ini demi kalian. Aku akan berhenti setelah memastikan semua adikku bahagia,” ujar Seonho dengan tulus.
“Terima kasih, Hyung,” ucap Haesung lagi.
“Sudahlah... sekarang kita tidur. Besok kita cari jalan keluarnya bersama. Jangan lupa untuk pulang, atau aku akan menyeret mu dengan tanganku sendiri. Kau tidak mau kan kalau sampai ada berita yang menulis, ‘Haesung, seorang desainer terkenal, masih takut pada kakaknya' ?” ujar Seonho, menirukan gaya pembawa berita sambil tertawa.
“Baiklah… baiklah… jaljayo, Hyung-nim,” ucap Haesung sambil tersenyum meski masih tampak lelah.
“Nado jaljayo, Hae-ah,” jawab Seonho, menutup telepon dengan napas yang sedikit lebih lega. Setelah meletakkan ponselnya di samping tempat tidur, ia memejamkan mata sejenak, merasa tenang karena tahu adiknya aman di sana. Seonho beralih menatap foto keluarga yang tergantung di atas dinding kamarnya
"Mommy, cepatlah kembali... Aku lelah," bisiknya lirih. Tatapannya tak lepas dari pigura besar yang menampilkan seluruh keluarganya , kecuali yoora yang tidak mungkin jika Seonho memajang foto adik bungsunya itu di kamarnya.
Setelah beberapa saat termenung, pandangan Seonho tertuju pada Jihwan, yang tertidur lelap di samping nya . Sejak siang tadi, Jihwan memang memintanya untuk tidur bersama, dan Seonho tak mampu menolak permintaan adik itu.
Ia menghela napas lembut, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan diri terasa seperti rutinitas biasa baginya . namun malam itu, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran dan rasa tanggung jawab yang menghimpit.
Selesai bersih-bersih, Seonho kembali ke samping adiknya yang masih berselancar di alam mimpi. Ia menyelimuti tubuh Jihwan dengan penuh kasih sayang sebelum akhirnya berbaring di sebelahnya. Dalam hati, Seonho berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu ada bagi keluarganya, apa pun yang terjadi.
...
Keesokan paginya, Seonho terbangun lebih dahulu daripada Jihwan, yang masih terlelap di sampingnya dengan wajah polos, memeluk pinggang sang kakak erat-erat. Seonho tersenyum tipis, melihat betapa damainya Jihwan dalam tidur, seperti tak ada beban yang perlu dia pikirkan.
“Ji… bangunlah, ini sudah pagi,” bisik Seonho sambil menggoyangkan bahu adiknya perlahan.
“Hm…,” gumam Jihwan, wajahnya masih menyembunyikan diri di bantal, jelas tak ingin diganggu.
“Ayo, bangunlah… jangan begini terus,” ujar Seonho sambil tersenyum geli, mencoba lebih keras membangunkannya.
“Lima menit lagi, Hyung… lagipula, aku kan tidak bekerja hari ini,” jawab Jihwan malas sambil menarik selimutnya lagi.
“Aku tahu, tapi kamu harus tetap bangun untuk mandi dan sarapan. Setelahnya, terserah kamu mau lanjut tidur atau tidak.” ucap seonho namun Jihwan hanya mengerang pelan, mencoba mengulur waktu.
“Tiga menit lagi, Hyung...,” tawarnya setengah tertidur, Seonho menggeleng sambil beranjak turun dari tempat tidur.
“Baiklah… kalau begitu, jangan tidur dengan aku lagi lain kali,” ujarnya setengah bercanda, sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Aih… baiklah, baiklah!” seru Jihwan yang akhirnya terpaksa bangun juga, takut dengan ancaman kecil dari kakaknya.
Dengan enggan, Jihwan turun dari ranjang dan menuju kamarnya sendiri yang hanya bersebelahan dengan kamar Seonho. Namun, saat membuka pintu, dia mendapati Yoora sudah berdiri di sana dengan wajah cemas, seperti menunggunya sejak tadi.
“Oppa… ayo turun untuk sarapan .. ” panggil Yoora dengan nada ragu.
Namun, Jihwan hanya meliriknya sekilas tanpa menanggapi. Ia memilih melengos pergi, melewati Yoora seolah kehadirannya tak berarti apa-apa. Wajah Jihwan tampak dingin, dan Yoora hanya bisa menunduk, menerima perlakuan kakaknya dengan perasaan sedih.
Yoora berdiri diam, menyaksikan kepergian Jihwan yang mengabaikannya. Ia menarik napas panjang, merasa berat dengan sikap dingin dari kakaknya. Tapi, seperti biasa, dia hanya bisa menuruti kemauan mereka. Setelah itu, Yoora mulai mengetuk kamar saudara-saudaranya yang lain untuk membangunkan mereka, lalu bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus.
“Good morning,” sapa Seonho yang baru saja turun dari tangga. Tanpa banyak bicara, ia langsung duduk di meja makan untuk sarapan bersama.
“Pagi,” sahut Yongki dan Jihwan serempak, melirik Seonho dengan tatapan tenang.
“Kemana yang lain?” tanya Seonho, memperhatikan suasana ruang makan yang terasa sepi. Hanya ada dirinya, Jihwan, Yongki, dan Namjin di sana. Tak tampak sosok Taehwan, Jungsoo, atau Haesung di meja makan pagi itu. Dan, tentu saja, Yoora tak pernah muncul di sini , memangnya sejak kapan dia diizinkan makan bersama di meja ini?
“Kan, Haesung belum kembali, Hyung,” jawab Yongki dengan tenang.
“Lalu, Taehwan? Jungsoo? Di mana mereka?” Seonho tampak sedikit bingung.
“Taehwan sudah pergi lebih pagi. Katanya, ada pekerjaan mendadak,” jelas Yongki sambil menuangkan teh ke cangkirnya.
“Kalau Jungsoo? Di mana anak itu?” tanya Seonho, masih penasaran.
“Sepertinya, masih tidur. Biarkan saja, nanti aku akan antar makanannya ke kamar,” kata Yongki, menenangkan.
“Huff… baiklah. Ayo makan,” ujar Seonho akhirnya.
Mereka semua makan dengan tenang. Tak ada percakapan yang berarti, hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring, membuat suasana pagi itu terasa agak dingin dan kaku. Ketika sarapan hampir selesai, tiba-tiba pintu depan terbuka, menampakkan Haesung yang baru datang bersama Jungsoo.
“Selamat pagi, I’m back!” ujar Haesung dengan senyum kecil, mencoba menampilkan wajah ceria meski tampak lelah. Dia berjalan menuju meja makan dan duduk bersama yang lain, sedangkan Jungsoo, tanpa menoleh, langsung berjalan melewati mereka menuju kamarnya, terlihat si bungsu kedua itu menenteng iPad di tangan nya .
“Brak!” Suara keras terdengar dari arah kamarnya, pintu yang baru saja ditutup Jungsoo menabrak dinding dengan kasar. Semua orang di meja makan menoleh, terkejut mendengar dentuman itu.
“Kalian dari mana? Kenapa bisa datang bersamaan?” tanya Yongki, memecah keheningan.
“Kami tidak datang bersama. Saat aku kembali, aku juga melihat Jungsoo turun dari mobilnya. Dia langsung masuk dan mengabaikanku,” jawab Haesung sambil meletakkan tasnya di meja, tampak sedikit bingung dengan sikap adiknya.
“Dia kenapa, Hyung?” tanya Jihwan dengan wajah penuh kebingungan. Selama ini, Jungsoo dikenal sebagai adik yang manja dan selalu mencari perhatian dari semua hyung-nya.
“Dia merajuk karena tidak diizinkan pergi ke New York,” jelas Yongki dengan nada tenang, seolah sudah terbiasa dengan sifat keras kepala Jungsoo.
“New York? Untuk apa?” Haesung mengernyit, tak paham alasan Jungsoo begitu ngotot ingin ke sana.
“Belum selesai aku cari tahu. Dia bilang ingin mengerjakan sesuatu dengan temannya. Tapi, dia enggan memberi tahu siapa temannya dan apa yang ingin dia lakukan,” ujar Yongki sambil menggeleng pelan, tampak sedikit frustasi.
“Biarkan saja. Hae-ah, makanlah dulu. Setelah itu, datanglah ke ruang kerjaku. Kau juga, Yongki,” ujar Seonho sebelum berdiri dan meninggalkan meja makan dengan tatapan penuh tanggung jawab, seolah ingin segera menyelesaikan segala urusan yang menumpuk.
Namjin, yang melihat kakak tertuanya sudah beranjak pergi, ikut bangkit dari kursinya dan meninggalkan meja makan. Semua orang di keluarga Lee tampak sangat sibuk akhir-akhir ini, tenggelam dalam dunia masing-masing, seolah ada beban berat yang harus mereka tanggung seorang diri.
••
Sesuai instruksi Seonho, kini Yongki dan Haesung sudah berada di ruang kerja Seonho yang memang terletak di mansion keluarga mereka. Seonho duduk di kursi besar di belakang meja, matanya menelusuri wajah kedua adiknya yang tampak muram, sebelum akhirnya ia memecah keheningan.
“Yongki... apa kamu sudah menemukan cara?” tanya Seonho, suaranya tenang namun penuh harapan, Yongki menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Tidak, Hyung. Sepertinya mereka benar-benar tidak mau diajak negosiasi lagi. Aku sudah mencoba semua yang Hyung sarankan, tapi mereka tetap bersikeras menolak.” Ucap nya dengan nada lemah, seolah putus asa.
“Hufff… Kita buntu, Hyung. Sudah aku bilang, situasi ini hampir mustahil untuk diperbaiki,” sela Haesung, wajahnya semakin terlihat lesu.
“Jangan bicara seperti itu. Aku sedang berusaha mencari cara lain, kamu bisa mulai mengerjakan apa yang bisa dikerjakan sedikit demi sedikit, ” ujar Seonho, suaranya tegas namun tetap berusaha menenangkan.
“Aku mungkin hanya bisa menyelesaikan beberapa desain klien saja. Tidak mungkin aku menyelesaikan desain untuk semua proyek dalam waktu satu minggu, Hyung. Ini terlalu berat.” ucap Haesung memijat keningnya, tampak frustasi.
“Menurutmu, siapa yang mungkin punya masalah denganmu, Hae-ah?” ucap Yongki mencari kemungkinan yang ada .
“Aku benar-benar tidak tahu, Hyung, mungkin saja sainganku hanya mereka yang bisa aku curigai saat ini , aku juga sudah meminta bantuan dari detektif Han tapi dia belum menemukan apapun ” jawab Haesung, nada suaranya terdengar putus asa.
“Itu keterlaluan, kenapa mereka sampai melakukan hal sekeji itu, bahkan sampai membakar tempatmu?, bukan kah cara seperti itu sangat ke kanak - Kanakan . Jika memang mereka merasa tersaingi oleh mu harus nya mereka introspeksi diri bukan malah menyalahkan kesuksesan orang lain " gumam Yongki, wajahnya mencerminkan ketidakpercayaan.
Seonho menatap kedua adiknya dengan mata tajam, mencoba menenangkan suasana yang semakin memanas.
“Namanya juga saingan seonho terkekeh pelan Kadang, ketika seseorang merasa terancam, mereka bisa kehilangan akal sehat dan mengambil jalan yang kelam. Anjing yang kelaparan tidak akan bisa membedakan mana daging, mana tulang . Asalkan mereka bisa makan , maka mereka akan memakan nya,” jawab seonho.
Di tengah pembahasan itu, suara ketukan di pintu membuat ketiganya terdiam dan langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu.
“Masuklah,” ujar Seonho dengan nada datar.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Yoora yang sudah rapi dengan pakaian yang tertata rapi. Di tangannya terdapat setumpuk dokumen dan barang-barang lainnya. Namun, begitu Yoora masuk, ekspresi ketiga saudara itu berubah menjadi dingin, menciptakan suasana yang membuat gadis itu tampak sedikit gemetar.
“Maaf, Oppa, Tadi ada seseorang yang mengantar ini untukmu. Dia bilang kamu harus segera melihatnya, " ucap Yoora pelan sambil menunduk, berusaha menghindari tatapan tajam ketiga kakaknya.
“Siapa yang mengantar ini?” tanya Haesung dengan nada datar.
“Sekretaris mu, katanya,” jawab Yoora, berusaha menjaga suaranya tetap stabil meskipun terasa gemetar.
“Baiklah… taruh di sini,” ujar Haesung, menunjuk meja di depannya. Yoora mengangguk pelan, kemudian meletakkan dokumen-dokumen itu di tempat yang ditunjuk, sambil melirik ke arah ketiga kakaknya yang masih memandanginya tanpa ekspresi.
Setelah selesai, Yoora berniat meninggalkan ruangan, namun langkahnya terhenti ketika Seonho memanggilnya.
“Bawakan minuman untuk kami,” ucap Seonho dengan nada perintah yang tegas, seolah Yoora hanyalah seorang pelayan, Yoora terdiam sejenak, merasa sakit hati, namun ia memilih untuk menundukkan kepala dan mengiyakan perintah itu.
“Baik, Oppa.” Dengan langkah pelan, ia berbalik dan berjalan keluar ruangan, Sebenarnya, ia harus segera berangkat ke kampus, namun seperti biasa, ia tidak ingin menambah masalah dengan menolak permintaan kakaknya.
lanjut Thor🥺🥺🥺