Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raja Kembali Ke Istana
Di kamar Ratu Athera.
Nara melangkah memasuki kamar yang sama untuk kedua kalinya. Aroma ruangan itu masih mengingatkannya pada nostalgia yang samar. Meski kali ini ia sudah tahu apa yang akan ditemuinya, ada ketegangan yang tetap mengendap di dalam dada.
Matanya langsung tertuju pada lukisan yang sempat membuatnya terkejut. Lukisan wajah Ratu Athera yang anggun dan misterius menyambutnya, seperti seorang ibu yang menyimpan terlalu banyak rahasia untuk diceritakan. Lukisan itu tampak berbicara padanya, mengundang namun juga menjaga jarak.
Yang Mulia Ratu Athera, kau adalah perwujudan dari rasa kegagalan ku selama ini kepada seseorang yang sangat mirip denganmu. Di dunia bayangan ini, aku akan berusaha lebih maksimal lagi agar tidak ada penyesalan selanjutnya. Maafkan aku yang sempat tidak fokus karena tergelincir perasaan terhadap Pangeran Arven. Namun, setelah ia memberi tanda, perasaan ku menjadi lebih tenang.
Yang Mulia Ratu, apakah engkau masih hidup atau sudah tiada? Di dunia nyata ku, client yang aku bela tersebut meregang nyawa disaat aku masih berusaha mencari cara untuk meringankan hukumannya. Aku yakin dia orang baik yang menjadi korban. Namun, di sini aku tidak tahu, aku menemukan mu dalam keadaan apa nanti? Hidup kah? Atau malah sebaliknya.
Jika engkau ditemukan sudah tiada, maka itu artinya cerita akhir antara di dunia bayangan ini akan sama dengan yang aku alami. Bedanya aku menegakkan keadilan dengan menghukum orang yang berada dibaliknya. Tetapi jika engkau masih hidup, aku tidak tahu apakah nantinya aku juga akan menyaksikan ketiadaanmu? Atau kau benar-benar memang terus hidup di sini? Entahlah akhir cerita ini akan sama atau tidak.
Ia menyentuh bingkai lukisan, jari-jarinya menyusuri ukiran rumit pada kayu. Sejenak, ia berhenti lalu memeriksa lebih dekat sudut-sudut lukisan. Namun, ia tidak menemukan apa pun yang mencurigakan.
Nara mundur selangkah, menenangkan pikirannya. Mungkin ia terlalu larut dalam spekulasi, atau mungkin ada sesuatu yang lebih tersembunyi di sini. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, mencari titik lain yang bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran.
Lalu, tatapannya kembali kepada lukisan itu. Ia merasa seakan-akan Ratu Athera memandangnya dengan senyuman tipis.
"Pangeran Arven," suara Nara terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Pangeran Arven yang diam-diam mengamati sekeliling. "Aku butuh tahu lebih banyak tentang keluarga Ratu Athera. Apa yang bisa kamu ceritakan tentang latar belakang mereka?"
Arven terdiam sejenak, matanya tak langsung bertemu dengan mata Nara. Ia menghela napas, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kisah yang sudah lama terlupakan.
"Keluarga Ibuku…" Ia akhirnya berbicara pelan, "Mereka bukan sembarang keluarga. Ratu Athera berasal dari keluarga kerajaan yang memiliki pengaruh besar, meski tidak sekuat kerajaan bayangan."
Nara mengernyitkan dahi, mencoba menyelami lebih dalam informasi yang baru saja didengarnya. "Jadi, mereka juga kerajaan?"
"Ya," jawab Arven, suaranya tertekan, "Namun kerajaan Athera bukanlah kerajaan yang terbuka seperti kita. Mereka lebih tersembunyi, dan lebih kecil. Kerajaan mereka berada jauh di luar jangkauan kekuasaan kita, di suatu tempat yang tidak banyak orang tahu."
"Kalau begitu, aku ingin kesana."
"Kerajaan itu tidak ada lagi. Keluarga Ibuku semuanya dihancurkan."
"Kenapa mereka dihancurkan?"
"Alasan sebenarnya… aku tak pernah tahu dengan pasti," katanya pelan, "Tapi ada yang mengatakan bahwa setelah Ratu Athera menghilang, pasukan misterius datang dan membantai keluarga kerajaan Athera hingga tak ads yang ditinggalkan."
Nara terdiam, perasaan aneh merayapi dirinya. "Pasukan misterius?" tanya Nara, mencoba memegang kendali atas perasaannya. "Lalu apa yang dilakukan Yang Mulia Raja saat itu?'
"Ayah selalu bilang kalau dia berusaha keras menguak peristiwa itu, tapi tidak pernah ada hasilnya. Aku yakin, Ayah hanya berucap omong kosong demi menghibur diriku yang masih kecil."
Senyap sejenak mengisi ruangan itu, suara hanya terdengar dari napas mereka yang bergema dalam keheningan.
Namun, ketika keduanya terdiam, suasana di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Ada suara pergerakan yang terdengar dari sudut kamar. Nara mendongak, matanya beralih cepat, mencoba menangkap sumber suara itu.
Tiba-tiba, sekelebat bayangan melintas dengan cepat di luar jendela yang terbuka. Bayangan itu begitu cepat, hampir seperti kilat.
"Siapa itu?" Gumam Nara dengan hati berdegup kencang. Ia memandang Arven, yang wajahnya tiba-tiba mengeras. Sinar kewaspadaan menyeliputi matanya.
"Ada yang mengintai." Seru Arven. Ia langsung gerak cepat mengejar si penguntit. Nara yang tisak bisa meniru gerakan Arven terbang ke udara, hanya bisa berlarian dengan mata yang tak lepas memperhatikan pengejaran. Ini masih wilayah Istana, tetapi orang mencurigakan seperti ini bisa-bisanya berkeliaran. Nara menarik kesimpulan kalau musuh sebenarnya adalah orang Istana.
...****...
Raja Veghour kembali ke istana setelah perang panjang yang menguras tenaga dan pikirannya. Langit malam yang dipenuhi bintang tak mampu menyembunyikan suasana suram yang menyelimuti rombongan yang mengantar sang Raja. Tubuhnya tampak lemah, langkahnya tertatih meski dipapah oleh Kasim kerajaan. Baju Zirah yang biasa ia kenakan dengan gagah kini lusuh, dan wajahnya pucat.
Di ambang pintu istana, Para petinggi menyambut Raja Veghour dengan hormat, namun tak dapat menyembunyikan ekspresi cemasnya.
"Yang Mulia, biarkan hamba memanggil tabib," bisik Kasim, Raja pun mengangguk setuju.
Di dalam istana, berita kembalinya Raja segera sampai ke telinga Ratu Baily. Wanita itu menghentikan aktivitasnya, rasa lega dan khawatir bercampur menjadi satu. Ia bergegas menuju kamar sang Raja, tempat ia berharap dapat bertemu sang suami. Di sana, ia mendapati Raja yang tampak tak berdaya, dengan Kasim di sisinya. Wajah Ratu Baily menegang saat melihat kondisi Veghour.
"Yang Mulia," panggilnya lembut, "apa yang telah terjadi?"
Namun, respons Raja di luar dugaan. Ia mengangkat tangan, meminta Ratu untuk berhenti mendekat. "Aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri." Perkataan itu membuat Ratu Baily terhenti di tempatnya. Mata wanita itu membulat, tak menyangka akan ditolak.
Ratu Baily hanya bisa terdiam, menatap Kasim yang tanpa banyak berkata-kata mempersilahkan dirinya untuk keluar. Namun Baily bersikukuh untuk dapat bertahan di sana. Akhirnya, Raja Veghour menyuruh semua yang ada di sana keluar, menyisakan dirinya dengan Baily.
"Baily, aku ingin bertanya sesuatu padamu tapi kau jawab dengan jujur."
"Apa itu suamiku? Katakanlah, aku akan menjawabnya dengan jujur."
"Apakah kau sangat mencintai ku Baily, hingga membutakan mata hatimu?"
Ratu Baily tercekat, tidak menyangka Raja akan bertanya seperti itu. Sementara itu, Kasim datang membawa berita yang mendesak.
"Ada apa Arx?"
"Ampun Yang Mulia, Pangeran Raze telah membuat kegaduhan di halaman Istana."
.
.
Bersambung.